Soal:
Bagaimana hukum menjadi pengacara yang membela orang-orang yang dizalimi? Bagaimana dengan praktik suap yang terpaksa harus dilakukan oleh pengacara dalam mendapatkan hak orang-orang yang dizalimi? Juga bagaimana hukum menjadi anggota atau pengurus asosiasi advokat?
Jawab:
Pertama: Menjadi pengacara yang membela orang yang dizalimi, boleh dan tidaknya, dikembalikan pada status pembelaannya terhadap hak orang tersebut. Jika hak orang yang dizalimi tersebut merupakan hak yang ditetapkan oleh syariah—contoh: seorang pengemban dakwah, khatib atau ulama yang menyampaikan dakwah, kemudian ditangkap dan dipenjara—maka dengan tegas Islam menyatakan orang tersebut harus dibela dan dikeluarkan dari penjara, karena kebebasan untuk menyampaikan dakwah dan kalimat al-haq adalah hak yang ditetapkan oleh syariah. Dalam kasus seperti ini, pembelaan yang dilakukan oleh pengacara untuk menghilangkan kezaliman dan membebaskannya dari penjara merupakan pekerjaan yang bukan saja dibolehkan oleh syariah, tetapi hukumnya juga wajib.
Contoh lain, ketika ada orang yang menjadi korban pencurian atau perampokan, dengan tegas Islam menetapkan bahwa harta orang tersebut yang dicuri harus dikembalikan. Karena itu, jika seorang pengacara membela orang seperti ini dalam rangka menuntut haknya, maka profesi dan tindakan pengacara dalam membela kasus seperti ini merupakan profesi dan tindakan yang dibolehkan.
Contoh lainlagi, ada orang yang menjual rumahnya kepada seseorang, dengan pembayaran di muka, sisanya dicicil. Si pembeli rumah tersebut membayar sebagian, sementara sisanya tidak dibayar, alias mangkir. Pada saat yang sama, rumah tersebut telah dibeli dan ditempati. Dalam hal ini, Islam menetapkan, bahwa hak penjual dari pembeli rumah tersebut harus dibayar. Karena itu, jika ada pengacara yang membela si penjual agar bisa mengambil haknya yang tidak dibayar oleh si pembeli tersebut, maka hukum pembelaan tersebut dibolehkan. Sebab, hak-hak tersebut merupakan hak yang telah ditetapkan oleh syariah sebagai hak pemiliknya, sehingga profesi dan tindakan pengacara yang membela pihak yang dizalimi agar haknya kembali kepada dirinya adalah tindakan yang dibenarkan oleh syariah.
Namun, jika hak tersebut merupakan hak yang ditetapkan oleh hukum atau perundang-undangan buatan manusia, bukan hukum dan perundang-undangan syariah, maka profesi dan tidakan pengacara yang membela hak seperti ini tidak dibolehkan. Sebagai contoh, ada seorang investor yang berinvestasi pada PT atau Koperasi yang jelas akadnya batil, kemudian pada saat pembagian deviden, orang tersebut merasa bagiannya kurang dari hak yang semestinya dia dapatkan, maka jika seorang pengacara membela hak seperti ini, profesi dan tindakannya dalam kasus ini tidak dibolehkan. Sebab, hak tersebut pada dasarnya bukan merupakan hak yang ditetapkan oleh syariah, karena PT atau Koperasi tersebut, termasuk devidennya, merupakan perseroan yang batil, tidak diakui oleh syariah, dan harus ditinggalkan oleh seorang Muslim.
Contoh lain, ada nasabah yang menyimpan dananya di bank ribawi, dengan kadar bunga tertentu. Namun, ketika bank memberikan bagiannya, dia hitung ternyata kurang dari hak yang semestinya dia dapatkan. Dalam kasus seperti ini, hukum pembelaan yang diberikan oleh pengacara agar hak nasabah tersebut bisa diambil, jelas tidak dibenarkan.
Begitulah, profesi dan tindakan pengacara yang membela hak yang ditetapkan oleh syariah, juga untuk menghilangkan kezaliman, maka profesi dan tindakan tersebut dibolehkan. Sebaliknya, jika hak tersebut tidak ditetapkan oleh syariah, tetapi oleh hukum dan perundang-undangan buatan manusia, maka profesi dan tindakan pengacara dalam membela kasus tersebut tidak dibolehkan.
Kedua: Adapun hukum suap yang dilakukan oleh pengacara sebagai sarana untuk mengambil hak, yang secara syar’i memang menjadi hak pemiliknya, maka tindakan tersebut tetap haram, sekalipun tujuannya untuk mengembalikan hak kepada pemiliknya, dan karenanya tidak dibolehkan. Sebab, nas yang mengharamkan suap tidak disertai ‘illat (alasan hukum), baik untuk merealisasikan kemaslahatan yang batil, atau yang haq. Sebaliknya, nas-nas tentang larangan suap tersebut bersifat umum, sebagaimana tampak dengan jelas pada nas-nas sebagai berikut:
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الرَّاشِيْ وَالْمُرْتَشِيْ
Laknat Allah kepada orang yang menyuap dan menerima suap (HR Ahmad).
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الرَّاشِيْ وَالْمُرْتَشِيْ وَالرَّائِشِ يَعْنِي الَّذِيْ يَمْشِيْ بَيْنَهُمَا
Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, menerima suap dan menjadi perantara, yaitu orang yang mengantarkan keduanya (HR Ahmad).
Hadis-hadis ini bersifat umum, meliputi semua bentuk suap, baik untuk menuntut hak yang haq maupun hak yang batil. Hadis-hadis ini juga tidak menyatakan keharaman suap dengan ‘illat tertentu, ataupun ada nas lain yang bisa digali dari sana ‘illat atas keharaman suap tersebut. Karena itu, tidak boleh seorang pengacara (advokat) melakukan suap meski tujuannya untuk memudahkan pengembalian hak kepada pemiliknya, karena hak tersebut sulit dikembalikan, jika tanpa suap.
Ketiga: Adapun asosiasi pengacara atau ikatan advokat adalah organisasi yang mengurus urusan (ri’âyah syu’ûn) anggotanya, serta memperhatikan hal ihwal (an-nadhr fî umûr) mereka. Dalam pandangan Islam, tugas mengurus urusan dan memperhatikan hal ihwal tersebut adalah kewajiban penguasa. Karena itu, tidak boleh ada yang lain, selain penguasa mengurus dan memperhatikan hal-ihwal mereka. Sebab, dengan tegas, Nabi saw. menyatakan dengan jumlah al-hashr, yaitu: wahuwa mas’ûlun] (hanya dialah yang menjadi penanggung jawab). Dengan logika jumlah al-hashr ini, maka yang lain sama sekali tidak berhak.
Hanya saja, dalam praktiknya, seorang pengacara atau advokat tidak akan diberi izin praktik jika dia tidak menjadi anggota asosiasi pengacara atau ikatan advokat, maka dalam kondisi seperti ini menjadi anggota untuk mendapatkan izin tersebut diperbolehkan. Namun, hanya sebatas itu. Dia tidak boleh menjadi pengurus, mengikuti pemilihan sebagai pengurus, dan sebagainya. Sebab, selain faktor ri’âyah as-syu’ûn yang tidak dibolehkan, juga karena tugas dan fungsi asosiasi atau ikatan tersebut pada dasarnya mempertahankan sistem sekular yang ada. Wallâhu a’lam. []