HTI

Fokus (Al Waie)

Kebobrokan Hukum Sekular

Kulo mboten pengen dihukum, Pak Hakim, kulo pengen bebas (Saya tak mau dihukum, Pak Hakim, saya ingin bebas).”

Dengan suara terbata-bata, Mbah Minah mengungkapkan isi hatinya kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, Jawa Tengah, pertengahan November 2008. Nenek berusia 65 tahun ini harus menjadi pesakitan gara-gara mencuri tiga buah kakao (coklat) senilai dua ribu rupiah.

Perempuan warga Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, itu sendirian. Tak ada pengacara atau pembela yang mendampinginya. Pleidoi atau pembelaan terpaksa ia lakukan sendiri. Dalam pleidoinya, yang disampaikan dalam bahasa Jawa Banyumasan, nenek yang buta huruf dan tak paham bahasa Indonesia ini memohon agar tak dihukum. Dia mengaku bersalah telah memetik tiga buah kakao milik perkebunan PT Rumpun Sari Antan 4 tanpa izin dan berjanji tak akan mengulanginya.

Majelis Hakim yang dipimpin Muslich Bambang Luqmono pun menjatuhkan hukuman 1,5 bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan. Sebelumnya, jaksa menuntut penjara 6 bulan. Hakim menilai nenek ini terbukti bersalah mencuri kakao milik PT Rumpun. Beruntung nenek ini tak harus masuk jeruji.

Nasib yang sama dialami Basar Suyanto (47 tahun) dan Kholil (50 tahun). Kedua warga Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kediri, Jawa Timur, itu harus menjalani hidup di balik terali besi gara-gara memakan satu buah semangka tanpa izin pemilik kebun. Padahal harga satu semangka itu tak sampai lima ribu rupiah.

Tragedi ini terjadi ketika Basar bersama Kholil tengah merayakan Idul Fitri pada September lalu. Siang yang sangat panas itu membuatnya haus. Kebetulan di sawah banyak semangka. Keduanya mengambil dan langsung memakannya. Saat itulah ia ketahuan adik pemilik ladang, yang juga seorang polisi.

Permintaan maafnya tak digubris polisi ini. Bahkan ia kena ‘permak’ beberapa kali. Keduanya pun dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II-A Kediri untuk menunggu disidang. Keduanya dituntut 2 bulan 10 hari. Majelis Hakim memvonis keduanya masing-masing 15 hari dan percobaan 1 bulan.

Lain lagi nasib yang dialami empat warga Desa Kenconorejo, Kecamatan Tulis, Batang, Jawa Tengah. Keempatnya—Manisih, 40 tahun, Sri Suratmi (19), Juwono (16) dan Rusnoto (14)—ditahan di Rumah Tahanan Rowobelang, Batang, dengan tuduhan mencuri 14 kilogram kapuk randu.

Kisah mengenaskan itu berawal ketika keempatnya tertangkap tangan membawa sekarung kecil buah randu seberat 14 kilogram di perkebunan milik PT Segayung di Desa Sembojo, Tulis, pada awal November lalu. Warga setempat, termasuk keempat orang tersebut, beranggapan, mengambil rontokan randu merupakan hal yang lumrah, jauh dari kesan mencuri.

Namun, mandor perkebunan menganggap-nya sebagai pencurian. Selanjutnya, keempat warga itu ‘dititipkan’ di Rumah Tahanan Rowobelang. Mereka dikenai Pasal 363 KUHP tentang pencurian dan pemberatan, yang ancaman hukumannya lima tahun penjara. Padahal rontokan randu yang dikumpulkan keempat tersangka hanya seberat 5 kilogram, yang hanya akan menghasilkan kapas sekitar 2 kilogram. Harga perkilogram kapas hanya empat ribu rupiah. Belum lagi keluar tahanan, Manisih mengaku keluarganya didatangi oknum penegak hukum yang meminta uang Rp 3 juta sebagai uang ganti pembebasannya. Oknum itu hanya diberi Rp 1,5 juta saja karena memang tak punya uang.


Paradoks

Apa yang dialami oleh empat warga itu, juga Minah, Basar, dan Kholil bukanlah kasus besar. Namun, aparat penegak hukum tampak bersemangat untuk menanganinya. Ini bertolak belakang dengan para koruptor yang masih leluasa berkeliaran. Banyak konglomerat pengemplang uang rakyat dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai lebih dari Rp 600 triliun tak dijerat oleh penegak hukum.

Mereka justru diberi surat lunas. Padahal rakyatlah yang harus membayar utang itu dalam jangka panjang, yakni hingga tahun 2033. Mereka pun diterima oleh Presiden di Istana Negara laksana orang yang telah berjasa bagi negara. Beberapa di antaranya yang sudah divonis bersalah justru ‘dibiarkan’ melarikan diri ke luar negeri.

Ada juga yang divonis bersalah, tetapi dengan hukuman yang tergolong ringan dibandingkan dengan para pencuri sandal atau semangka. Direktur Bank Century Robert Tantular, misalnya. Ia terbukti bersalah dalam kasus pengucuran dana Century, tetapi hanya dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp 50 miliar. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebutkan vonis yang diterima pemilik PT Bank Century Tbk Robert Tantular tidak sebanding dengan kerugian negara yang ditimbulkannya. Sebab, Pemerintah harus merogoh kocek yang cukup dalam untuk penyelamatan Bank Century, yaitu Rp 6,7 triliun.

Hukum seolah mudah dimainkan oleh mereka yang punya uang. Kasus pembicaraan telepon Anggodo Widjojo, adik tersangka koruptor Anggoro Widjojo, dengan para penegak hukum, membuktikan betapa jajaran aparat penegak hukum tidak steril dari intervensi para pemilik modal.

Anggodo yang sudah demikian gamblang mengaku mengeluarkan uang untuk menyuap KPK pun tak ditangkap dengan alasan tidak cukup bukti. Pencatutan nama SBY oleh Anggodo pun seolah diampuni.

Kasus itu juga kian menegaskan adanya mafia kasus (markus) di lembaga hukum sejak di tingkat penyidikan hingga pemutusan perkara. Suap-menyuap seolah suatu yang lazim. Itu tidak hanya melanda para penegak hukum di tingkat pusat, tetapi juga para penegak hukum di tingkat bawah; artinya terjadi di semua level. Munculnya berbagai komisi yang bertugas mengawasi aparat penegak hukum nakal tak pernah berhasil menghentikan mafia tersebut.

Sudah menjadi rahasia umum, uang bisa menentukan hasil akhir dari sebuah perkara. Siapa yang mampu membayar, merekalah yang akan diuntungkan. Munculnya berbagai komisi yang bertugas mengawasi aparat penegak hukum nakal tak pernah berhasil menghentikan mafia tersebut.

Ini pula yang tergambar di penjara-penjara di Indonesia. Ada perlakuan yang berbeda antara narapidana/tahanan orang miskin dan orang kaya. Orang kaya bisa ‘menyewa’ tempat yang lebih layak di penjara. Sebaliknya, orang miskin harus rela tidur tanpa alas di ruang yang sempit serta harus rela makan seadanya seusai jatah.

Kasus-kasus di lapangan pun menunjukkan betapa banyak maling/penjahat kecil yang harus rela menerima perlakuan kasar. Sebaliknya, orang-orang kaya mendapatkan penghormatan. Mereka mendapatkan berbagai fasilitas yang tidak mungkin bisa dinikmati oleh rakyat jelata. Kasus terbaru menimpa JJ Rizal, alumni Universitas Indonesia, yang dihajar oleh lima orang polisi karena dianggap penjahat. Padahal ia tak tersangkut masalah kejahatan.

Sementara itu, banyak orang yang seharusnya diproses secara hukum, malah tak tersentuh. Tak mengherankan bila banyak kalangan mengatakan ada tebang pilih dalam penegakan hukum di Indonesia. Misalnya, Presiden tidak mengeluarkan surat izin bagi para penguasa di daerah yang terlibat kasus hukum untuk diperiksa KPK karena mereka kader partainya.

Kendati ada jargon ‘hukum sebagai panglima’, kenyataan menunjukkan, masyarakat belum merasakan dampak dari penerapan hukum yang ada. Banyak orang dihukum, tetapi kejahatan tetap saja berlangsung. Kualitas dan kuantitasnya justru kian meningkat.

Tidak ada rasa jera bagi para narapidana. Jumlah mereka kian banyak. Data tahun ini menyebutkan jumlah narapidana di Indonesia ada lebih dari 67.000 orang. Sebegitu banyak mereka yang dipenjara, nyatanya tak mengurungkan niat bagi yang lainnya untuk tidak berbuat jahat/kriminal.

Sebagian mantan narapidana tambah merajalela begitu keluar penjara karena seolah telah mendapatkan ‘pendidikan’ kejahatan yang lebih baik dari sesama narapidana di dalam penjara. Yang lebih parah lagi, belakangan banyak penjahat narkoba beroperasi dari dalam penjara.

Para koruptor tak lagi takut penjara. Buktinya korupsi merajalela. Jumlah anggota DPR yang masuk penjara terus bertambah dari waktu ke waktu. Demikian juga para birokrat dan mantan pejabat. Tidak hanya dilakukan sendiri, korupsi seolah telah menjadi pekerjaan bersama sehingga muncul istilah ‘korupsi berjamaah’. Pungutan liar alias pungli menjadi budaya sehari-hari. Larangan negara seolah tak pernah ada.

Aturan hukum sangat mudah dipermainkan. Dalam kasus Bank Century, misalnya. Bank Indonesia mempunyai aturan bahwa bank yang boleh memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) adalah bank yang memiliki rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 8 persen. Nyatanya, demi Century, aturan itu diubah. Bank yang mempunyai CAR positif boleh mendapatkan FPJP. Karena itulah, Bank Century mendapatkan kucuran dana yang demikian besar.

Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid dalam suatu kesempatan menyatakan hukum tidak berjalan di negeri ini. Hukum hanya berlaku bagi orang-orang tertentu dan terkait kepentingan-kepentingan politik. Kondisi itu tidak terlepas dari banyaknya undang-undang, perda dan aturan lain yang bertentangan satu dengan yang lain. Setidaknya terdapat 3.159 undang-undang (UU) yang dianggap bermasalah. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie menyebut ada problem besar dalam penegakan hukum dewasa ini.

Temuan terakhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) awal Desember 2009, mengungkapkan, tahun 2009 pelanggaran HAM banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum. Menurut Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, di antara pelanggaran HAM oleh aparat, polisi mendominasi.

Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming, Senin (7/12), membeberkan laporan pelanggaran HAM terkait dengan polisi. Antara lain, penembakan brutal di areal PTPN VII Cinta Manis Kabupaten Ogan Ilir (OI), Sumsel, kasus penangkapan nenek Minah yang dituduh mencuri tiga butir kakao di Banyumas, kasus Manisih dkk yang dituduh mencuri kapuk randu di Batang, Jateng, dan kasus Agus Tanjung yang dituduh mencuri listrik karena men-charge ponsel di Jakarta. Lalu ada juga kasus Basar dan Kholil yang dituduh mencuri semangka di Kediri, Jatim, serta kasus pencurian pisang oleh Mbah Klijo Sumarto di Sleman, Yogyakarta.

Menurut Saharuddin, kasus-kasus di atas terbilang tidak rasional serta dinilai sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan hukum. Komnas HAM menilai polisi cenderung membela korporasi dan pemilik kekuasaan saat menjalankan tugas penegakan hukum.

Saharudin mengkritik bahwa polisi sekarang jarang memihak rakyat kecil. “Ini kecenderungan baru yang kian mengemuka dan harus segera ditertibkan. Sebab, mereka (polisi) adalah penegak hukum,” ujarnya.


Relativisme Hukum Pasti Tak Adil

Munculnya ketidakadilan hukum yang diterapkan di negeri ini sebenarnya wajar, mengingat proses pembuatan hukum itu sendiri tidak dilandasi oleh pijakan yang kuat. Hukum lahir dari sebuah konsensus sejumlah pihak pada waktu tertentu dan masa tertentu. Kelahirannya dipengaruhi oleh kondisi ketika hukum itu dirumuskan. Tidak mengherankan bila hukum yang dihasilkan tidak bisa lepas dari situasi yang terjadi dan hanya pas pada situasi tersebut. Hukum ini tidak mampu menjangkau masa berikutnya, baik yang dekat maupun masa yang jauh ke depan. Begitu situasi berubah, hukum menjadi tidak relevan.

Inilah salah satu kecacatan hukum sekular ini. Akal manusia yang menjadi sumber pijakan penentuan hukum sangat terbatas. Otak manusia tak bisa menjangkau hal-hal yang terjadi jauh ke depan. Di sisi lain, manusia memiliki interest (kepentingan), baik pribadi maupun kelompok. Atas dasar ini, wajar bila hukum yang dihasilkan oleh rekayasa pemikiran manusia semata akan menghasilkan ketidakadilan. Sebab, sejak awal hukum itu dibuat untuk menguntungkan si pembuatnya; minimal tidak menjadi bumerang baginya.

Walhasil, hukum sekular menjadi sangat relatif. Hukum sangat bergantung pada siapa yang berkuasa dan kepentingan-kepentingan yang dibawa. Persamaan di depan hukum menjadi tidak ada, sebab sejak lahirnya memang hukum itu tidak diperuntukkan bagi semua.

Apa yang terjadi di DPR bisa menjadi bukti nyata. Lihatlah beberapa hukum dan peraturan negara sering sekali berubah dan berganti setiap ada pergantian wakil rakyat. Mengapa? Karena wakil rakyat memiliki kepentingan yang harus diakomodasi—khususnya kepentingan partai. Mereka merasa mempunyai hak untuk itu karena demokrasi memegang prinsip ‘vox populi vox dei’ (suara rakyat adalah suara tuhan). Padahal belum tentu aspirasi mereka adalah suara rakyat yang sebenarnya, kecuali hanya klaim.

Prinsip sekular, yakni memisahkan agama dari kehidupan, inilah yang menjadi biang bercokolnya hukum yang tidak adil. Prinsip-prinsip hukum sangat mudah berubah, tergantung kekuatan, kekuasaan dan modal. Tidak ada pijakan. Kalaupun ada pijakan, hal itu sangat mudah dirobohkan. Dengan paham relativisme hukum ini, tidak ada kebenaran yang hakiki. Semua bergantung pada kondisi dan kepentingan. Inilah cacat hukum sekular yang sejati. [Mujiyanto]

Suplemen

Orang Kecil Jadi Sasaran

Berikut ironi-ironi yang menimpa rakyat jelata:

23 Oktober 2002: Hamdani bin Ijin, seorang buruh pabrik sandal PT Osaga Mas Utama, divonis hukuman kurungan selama 2 bulan 24 hari oleh Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Hamdani dituduh mencuri sandal bolong milik perusahaan. Awal kasusnya, pada 4 September 2000, Hamdani hendak menjalankan salat Asar. Seperti biasanya, Hamdani bersama rekan buruh lainnya secara bergantian menggunakan sandal apkiran, yang tersimpan di sebuah gudang, untuk mengambil air wudu.

Anehnya, manajemen pabrik melaporkan Hamdani kepada Kepolisian Sektor Jatiuwung, Tangerang, dengan tuduhan mencuri. Padahal kebiasaan meminjam sandal sebelum salat juga kerap dilakukan karyawan di pabrik itu. Selama ini, Hamdani dikenal sebagai pengurus serikat buruh di Karya Utama dan aktif memperjuangkan hak-hak karyawan di pabrik sandal yang terletak di Kilometer 5 kawasan Tangerang, Banten, itu.

Maret 2009: Empat anak sekolah dasar di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, terpaksa berurusan dengan polisi karena mencuri ayam. Mereka terancam hukuman tujuh tahun penjara.

Mei 2009: Yaminah, 57 tahun, seorang nenek warga Abadi Jaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, terpaksa mendekam di balik terali besi Pengadilan Negeri Depok. Yaminah dijebloskan ke penjara dengan kasus yang amat sepele. Dia ditangkap petugas Polsek Sukmajaya karena dituduh mencubit pangkal tangan kiri pembantunya pada Mei lalu.

29 Mei 2009: Sepuluh anak penyemir sepatu berusia 11-14 tahun ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten. Mereka dituduh melakukan judi permainan tebak gambar mata uang koin. Pada 27 Juli 2009, majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang menyatakan 10 anak lelaki itu bersalah melakukan perjudian. Sebagai hukuman, anak-anak itu dikembalikan kepada orangtua mereka untuk dibina di bawah pengawasan Departemen Sosial.

November 2009: Tabriji, 47 tahun, warga Desa Mancaya, Kampung Gardu Kisalam, Carenang, Serang, Banten, oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Serang pada 11 November lalu dihukum tujuh bulan penjara karena terbukti mencuri dua ekor bebek milik tetangganya. [MJ]

One comment

  1. koruptor harus dihukum, maling semangka harus dihukum sesuai kadar perbuatannya. tidak bisa gara-gara karena jumlahnya sedikit terbebas dari hukum. mengambil sesuatu yang bukan miliknya tetap melanggar syriat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*