HTI

Hiwar (Al Waie)

KH Shiddiq al-Jawi: Koruptor Bisa Dihukum Mati

Pengantar

Indonesia sudah lama dicengkeram mafia hukum. Mafia ini tak seperti mafia bandit bersenjata ala mafia di Italia atau Yakuza di Jepang, namun merupakan suatu jaringan pihak-pihak tertentu—baik dari dalam maupun dari luar lembaga penegak hukum—yang berkonspirasi dan merekayasa jalannya proses hukum baik di lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan demi memperoleh imbalan materi secara ilegal. Mafia hukum yang selama ini dianggap sebagai dugaan belaka, memperoleh konfirmasi dan buktinya ketika Anggodo Widjojo mengaku telah menggelontorkan uang Rp 6 miliar ke berbagai pihak, terutama pimpinan KPK. Apa faktor-faktor yang menyebabkan maraknya mafia hukum? Bagaimana cara Islam memberantasnya baik secara preventif maupun kuratif? Bagaimana pula mekanisme kontrol praktis terhadap sistem hukum/peradilan Islam?

Untuk menjawabnya, berikut ini wawancara redaksi Al-Waie dengan KH M. Shiddiq al-Jawi, salah seorang Ketua DPP HTI.

Kiai, saat ini mafia peradilan yang dulu baru dugaan sekarang terbukti ada, bahkan bergentayangan di pucuk tertinggi institusi penegak hukum negeri ini. Bagaimana Kiai melihat fenomena ini?

Ini sangat mengerikan. Bagi saya mafia peradilan ini adalah musibah di atas musibah. Musibah pertama adalah sistem hukum Indonesia yang menurut saya sistem hukum syirik. Di Indonesia kan berlaku pluralisme sistem hukum, ada sistem hukum Islam, sistem hukum adat dan sistem hukum Barat. Secara normatif, sistem ini haram hukumnya menurut Islam. Bukankah dalam al-Quran Allah sudah berfirman: Lâ yusyrik fî hukmihi ahad[an].” Artinya, Allah tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum. (QS al-Kahfi: 26). Secara politik, sistem ini adalah warisan penjajah kafir yang semestinya dihapuskan. Jadi, melaksanakan sistem syirik ini bagi saya sama saja dengan melanggengkan penjajahan di negeri ini.

Musibah kedua adalah mafia peradilannya itu sendiri. Bagi saya mafia peradilan hanyalah sekumpulan manusia-manusia berkualitas sampah yang rakus akan kehidupan duniawi. Dalam al-Quran orang yang rakus diumpamakan seperti anjing yang selalu menjulurkan lidahnya. Kata Allah, “Famatsaluhu kamatsalil kalbi,” Mereka yang rakus itu tak ubahnya seperti anjing (QS al-A’raf: 176). Jadi, sudah sistem hukumnya syirik, masih diperparah lagi dengan kelakuan manusia-manusia yang berkepribadian anjing. Na’ûzhubillâh

Mengapa mafia peradilan itu muncul dan merajalela?

Banyak faktornya. Pertama: kualitas SDM yang rendah baik secara intelektualitas maupun spiritualitas. Secara intelektual, mereka yang menjadi hakim, misalnya, bukan berasal dari yang terbaik ketika lulus SMU. Anak-anak SMU yang pintar kan umumnya pingin masuk fakultas sains seperti kedokteran atau teknik. Dari segi spiritualitas, juga tak kalah rendahnya. Mafia peradilan itu kumpulan manusia yang tidak takut dosa, tidak takut neraka. Kedua: pengawasan yang ada sangat lemah. Memang sudah ada lembaga-lembaga pengawasan baik internal maupun eksternal. Di kepolisian ada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), di Kejaksaan ada Komisi Kejaksaan, di Pengadilan ada Komisi Yudisisal (KY). Tapi pengawasan hampir-hampir tidak berjalan. Contohnya pada masa Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan, KY telah mengajukan 28 hakim untuk dijatuhkan sanksi terkait pelanggaran. Namun, rekomendasi tersebut tidak ada satu pun yang ditindaklanjuti. Di era kepemimpinan Harifin A. Tumpa, dari 11 hakim yang direkomendasikan untuk dikenakan sanksi, baru dua yang ditindaklanjuti. Ketiga: rendahnya integritas pimpinan. Ini bisa ditunjukkan misalnya dengan besarnya rasa kasihan pimpinan terhadap bawahan yang melanggar. Akhirnya, bawahan yang melanggar dibiarkan, atau diberi sanksi yang sangat ringan. Jelas ini indikasi bobroknya kualitas pimpinan. Sebab, hanya pimpinan bersih saja yang tak takut menjatuhkan sanksi kepada bawahan yang melanggar. Ketua MA Bagir Manan (waktu itu), misalnya, menghalang-halangi KPK untuk memeriksa semua hakim agung yang menjadi bawahannya di MA terkait dengan suap kasasi Probosutejo. Kalau bawahannya bersih, mestinya Ketua MA sebagai pimpinan tidak menghalangi. Keempat: tidak adanya sanksi yang berat bagi mafia peradilan. Contoh, mantan hakim pengadilan tinggi Harini Wijoso, yang menjadi pengacara pengusaha Probosutedjo. Dia yang telah terbukti menyuap dengan uang 400 ribu dolar AS dan Rp 800 juta, hanya divonis 2 tahun di tingkat pengadilan banding. Kelima: birokrasi peradilan yang panjang dan berjenjang. Kalau dari pengadilan negeri seorang terdakwa tak puas, dia bisa mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Kalau masih tak terima juga, bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Panjangnya birokrasi peradilan ini memberi banyak celah bagi mafia peradilan untuk merajalela.

Adanya mafia peradilan ini menunjukkan kerusakan sistem atau sekadar kerusakan aparatur pelaksana sistem?

Dua-duanya rusak. Sistemnya rusak, begitu juga pelaksananya. Jadi peradilan di kita itu sistemnya bobrok, di tangan manusia yang tidak amanah dan tidak becus. Sempurna sudah kehancuran negeri ini…

Lalu bagimana dampaknya bagi negeri ini dan rakyat secara umum?

Wah, banyak sekali dampak negatifnya. Yang utama: Pertama, hilangnya kepercayaan masyarakat pada sistem hukum yang ada. Baru-baru ini di Media Indonesia (11/12) disebutkan hasil survei, bahwa tingkat distrust (ketidakpercayaan) publik terhadap kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sangat tinggi; mencapai angka 90 %. Luar biasa. Dari 10 orang, hanya 1 orang yang menganggap peradilan kita kredibel. Kedua, rusaknya segala tatanan kehidupan di negeri kita. Bayangkan, mestinya tatanan kehidupan bisa tegak kalau para penegak hukumnya baik. Di kita kan tidak. Baik itu kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan semuanya bobrok dan mengalami pembusukan sistemik akibat dirusak oleh mafia peradilan. Kalau penegak hukum rusak, segala tatanan kehidupan jadi amburadul semua. Ketiga, hilangnya hak masyarakat untuk memperoleh keadilan. Coba lihat, seorang nenek Minah di Purwokerto divonis 1,5 bulan hanya karena mencuri 3 buah kakao seharga Rp 1500 saja, sedangkan Anggodo yang dalam rekaman jelas-jelas mengaku menyuap Rp 6 miliar kepada para penegak hukum dibiarkan bebas berkeliaran. Lalu di mana letak keadilan itu? Keempat, suburnya korupsi dan suap menyuap. Sebab, mafia peradilan ini modusnya ya seperti itu. Menyuap hakim, menyuap polisi dan seterusnya. Selama mafia peradilan ini masih ada maka korupsi, suap-menyuap, gratifikasi dan sejenisnya akan tetap tumbuh subur di negeri ini.

Kalau dalam sistem Islam, adakah kemungkinan mafia peradilan itu muncul?

Kemungkinan itu ada. Karena peradilan Islam pun tetap dijalankan oleh manusia, bukan oleh malaikat. Dalam sebuah hadis, Nabi saw. bersabda, “Hakim itu ada tiga macam; satu masuk surga, dua masuk neraka. Yang masuk surga, hakim yang mengetahui kebenaran lalu dia memutuskan berdasarkan kebenaran itu. Adapun hakim yang mengetahui kebenaran lalu curang dalam memutuskan, maka ia masuk neraka. Demikian juga hakim yang memutuskan perkara di antara manusia atas dasar kebodohan, maka ia pun masuk neraka.” (HR Ibnu Majah). Jadi hadis ini mengisyaratkan bahwa dalam sistem Islam dimungkinkan pula ada mafia peradilan, misalkan hakim yang memvonis secara curang, mungkin karena suap, hadiah dan sebagainya. Namun, perlu diingat, meski demikian, Islam mempunyai seperangkat langkah jitu untuk memberantas mafia peradilan.

Bagaimana sistem Islam mencegah munculnya mafia peradilan?

Secara preventif paling tidak ada 7 langkah sistemik untuk mencegahnya. Pertama: rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifâyah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi saw. pernah bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR al-Bukhari).

Kedua: negara wajib melakukan pembinaan kepada aparatnya. Khalifah Umar bin al-Khaththab selalu memberikan arahan dan nasihat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari, “Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk….”

Ketiga: negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi saw., “Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).

Keempat, larangan menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud).

Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi saw. berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR Ahmad).

Kelima, melakukan perhitungan kekayaan. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.

Keenam, adanya teladan dari pimpinan. Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Sebaliknya, kalau memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.

Ketujuh, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Umar bin al-Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar.”

Jika mafia peradilan itu ada, bagaimana Islam mengatasinya?

Kalau memang telah terjadi, Islam mengatasinya dengan langkah kuratif, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk orang yang terlibat dalam mafia peradilan masuk kategori ta’zîr, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan.

Bagamaina Islam menyikapi rekayasa kasus dan vonis hasil rekayasa seandainya itu terjadi?

Rekayasa kasus dan vonisnya hakikatnya adalah tindak kejahatan negara (jarîmah ad-dawlah). Kalau terjadi, yang berhak menangani adalah Mahkamah Mazhalim, yakni lembaga peradilan yang diberi kewenangan untuk mengadili kejahatan negara, baik yang dilakukan oleh kepala negara (Khalifah), maupun aparat di bawahnya seperti para hakim dalam lembaga peradilan Islam (al-Qadha‘). Masyarakat dipersilakan mengadukan dugaan rekayasa kasus ini kepada Mahkamah Mazhalim disertai bukti-bukti dan saksi-saksinya. Mahkamah Mazhalim pun berhak melakukan apa yang kini disebut eksaminasi, yakni menguji sejauh mana ketepatan pasal-pasal suatu undang-undang terhadap fakta hukum yang muncul dalam persidangan. Kalau terdapat ketidakcocokan, vonis dapat dibatalkan oleh Mahkamah Mazhalim. Kalau hal ini terjadi karena kesengajaan atau rekayasa, Mahkamah Mazhalim akan mengadili semua aparat negara yang terlibat dan menjatuhkan sanksi ta’zîr yang tegas.

Bagaimana mekanisme praktis dalam sistem Islam untuk mengontrol proses hukum sehingga menjamin rasa keadilan bagi masyarakat?

Secara umum mekanisme kontrolnya dapat dijalankan melalui empat jalur. Pertama: melalui lembaga Majelis Umat yang memang mempunyai kewenangan mengawasi jalannya pemerintahan oleh Khalifah dan aparat di bawahnya, termasuk para hakim. Majelis Umat dapat mengadakan sidang dengan menghadirkan Khalifah atau Qâdhi Qudhât (pemimpin lembaga peradilan). Ini semacam Rapat Dengar Pendapat di DPR sekarang. Kedua: melalui partai-partai politik yang dapat menyampaikan kritiknya baik melalui Majelis Umat maupun melalui media massa kepada publik. Ketiga: melalui individu-individu umat secara langsung, misalnya lewat ulama atau tokoh masyarakat. Mereka dapat secara langsung menyampaikan laporan kepada Khalifah atau Mahkamah Mazhalim. Keempat: melalui Mahkamah Mazhalim, yang memang berwenang untuk mengawasi dan mengadili kejahatan yang dilakukan aparat negara.

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*