Pluralisme didefinisikan sebagai paham yang mengakui adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Pluralisme sering dibedakan menjadi dua, pluralisme agama dan pluralisme dalam konteks kemasyarakatan (sosiologis).
Dalam Wikipedia, The Free Encyclopedia (1 Februari 2008) pada entri Religious Pluralism dituliskan: Pluralisme agama secara mudah adalah istilah bagi hubungan-hubungan damai antara beragam agama atau pluralisme agama menggambarkan pandangan bahwa agama seseorang bukanlah satu-satunya dan secara eksklusif menjadi sumber kebenaran, dan karenanya pluralisme agama meyakini bahwa kebenaran itu tersebar di agama-agama yang lain.
Kemunculan ide pluralisme, terutama pluralisme agama, didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan truth claim (klaim kebenaran) yang dianggap sebagai pemicu munculnya konflik yang akan hilang jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar (lenyapnya truth claim).
Pandangan Islam
Secara normatif, pluralisme agama bertentangan secara total dengan akidah Islam. Sebab, pluralisme agama menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Sebaliknya, dalam pandangan Islam agama satu-satunya yang benar hanyalah Islam. Al-Quran juga menegaskan bahwa agama yang diridhai di sisi Allah SWT hanyalah Islam:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam (QS Ali Imran [3]:19).
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja mencari agama selain Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi (QS Ali Imran [3]: 85).
Pada tempat yang lain, Allah SWT menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nasrani, Zoroaster dan lain sebagainya. Al-Quran telah menyatakan masalah ini dengan sangat jelas (Lihat: QS al-Baqarah [2]:165; at-Taubah [9]: 30, 31; al-Maidah [5]: 72).
Koreksi atas Argumentasi Kaum Pluralis
Para pengusung gagasan pluralisme berusaha dengan keras mencari pembenaran dalam teks-teks agama agar paham ini (pluralisme) bisa diterima oleh kaum Muslim. Alasan-alasan yang sering mereka ketengahkan untuk membenarkan ide pluralisme tersebut di antaranya sebagai berikut:
a. QS al-Hujurat ayat 13.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah (QS al-Hujurat [49]:13).
Pada dasarnya, ayat ini sama sekali tidak berhubungan dengan ide pluralisme agama yang diajarkan kaum pluralis. Ayat ini hanya menjelaskan keberagaman (pluralitas) suku dan bangsa dan bukan pembenaran terhadap semua agama (pluralisme). Ada baiknya kita menyimak kembali penjelasan para mufassir yang memiliki kredibilitas ilmu dan ketakwaan dalam masalah ini.
Dalam kitab Shafwât at-Tafâsir, Ali ash-Shabuni menyatakan, “Pada dasarnya, umat manusia diciptakan Allah SWT dengan asal-usul yang sama, yakni keturunan Nabi Adam as. Tendensinya, agar manusia tidak membangga-banggakan nenek moyang mereka. Kemudian Allah SWT menjadikan mereka bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal dan bersatu, bukan untuk bermusuhan dan berselisih.”
Syaikh Zadah berkata, “Hikmah dijadikannya kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar satu dengan yang lain mengetahui nasabnya. Dengan begitu, mereka tidak menasabkan pada yang lain….Namun, dengan semua itu tidak ada yang lebih agung dan mulia, kecuali karena keimanan dan ketakwaannya.’”
b. Islam tidak memaksa manusia untuk masuk Islam.
Ayat lain yang sering digunakan dalil untuk membenarkan ide pluralisme adalah ayat berikut:
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, siapa saja yang mengingkari thâghût dan mengimani Allah, sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang amat kuat dan tidak akan putus (QS al-Baqarah [2]: 256).
Ayat ini sering dieksploitasi untuk membenarkan ide pluralisme. Mereka menyatakan, Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk ke dalam Islam, bahkan mereka dibiarkan tetap dalam agama mereka. Ini menunjukkan bahwa Islam mengakui kebenaran agama selain Islam (pluralisme), tidak hanya sekadar mengakui pluralitas (keragaman) agama.
Sesungguhnya ayat ini tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk membenarkan ide pluralisme. Ayat ini hanya berbicara dalam konteks “tidak ada pemaksaan bagi penganut agama lain untuk masuk Islam”. Sebab, telah tampak kebenaran Islam melalui hujjah dan dalil yang nyata. Bahkan ayat ini telah menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa kebenaran itu ada di dalam agama Islam, sedangkan agama yang lain jelas-jelas batil.
Imam Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya menyatakan, “Sesungguhnya seorang Muslim tidak boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Sebab, kebenaran Islam telah terbukti berdasarkan hujjah yang terang dan gamblang.”
Islam tidak mengakui sama sekali truth claim agama mereka. Bahkan kaum Muslim diperintahkan untuk mengajak orang-orang kafir masuk ke dalam agama Islam dengan hujjah dan hikmah (Lihat: QS al-Hajj [22]: 67).
c. QS al-Maidah ayat 69 dan al-Baqarah ayat 62.
Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang Mukmin, Yahudi, Nasrani dan Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar mengimani Allah, Hari Akhir dan beramal salih, maka tidak perlu ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati (QS al-Maidah [5]: 69).
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ
Sesungguhnya orang-orang Mukmin, Yahudi, Shabiin dan Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar mengimani Allah, Hari Akhir dan beramal salih, maka mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka (QS al-Baqarah [2]: 62).
Kaum pluralis menyatakan, dua ayat ini dengan sangat jelas menyatakan bahwa Islam mengakui kebenaran agama-agama selain Islam, bahkan mereka juga memiliki peluang yang sama untuk masuk ke dalam surga-Nya.
Sesungguhnya kedua ayat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan penganut agama lain yang ada pada saat ini. Sebab, topik yang diperbincangkan ayat tersebut adalah umat-umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad saw. diutus. Ayat-ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa umat-umat terdahulu—baik Yahudi, Nasrani, Shabiin—yang taat pada ajaran agama dan Rasul-Nya akan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT.
Dua ayat di atas tidak menunjukkan pengertian bahwa pemeluk agama lain yang ada pada saat ini juga memiliki kesempatan yang sama untuk masuk ke dalam surga-Nya, seperti halnya pemeluk agama Islam. Sebab, nash-nash al-Quran dan as-Sunnah dengan jelas menyatakan, bahwa setelah pengutusan Muhammad saw. seluruh manusia diperintahkan untuk meninggalkan agama mereka. Bahkan Islam telah menjelaskan kesesatan dan kekafiran semua agama yang ada pada saat ini; baik agama Yahudi, Nasrani maupun agama kaum musyrik (Budha, Hindu, Konghucu, dan lain-lain).
Ada baiknya kita menyimak penuturan ahli tafsir berikut ini. Menurut as-Sudi, ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 62) turun berkenaan dengan para sahabat (para pendeta) Salman al-Farisi tatkala ia menceritakan kepada Nabi saw kebaikan-kebaikan mereka. Tatkala Salman selesai memuji para sahabatnya itu, Nabi saw. bersabda, “Salman, mereka termasuk ke dalam penduduk neraka.”
Selanjutnya Allah SWT menurunkan ayat ini. Lalu hal ini menjadi keimanan orang-orang Yahudi; yaitu, siapa saja yang berpegang teguh terhadap Taurat serta perilaku Musa as. hingga datangnya Isa as (maka ia selamat). Ketika Isa as. telah diangkat menjadi nabi, maka siapa saja yang tetap berpegang teguh pada Taurat dan mengambil perilaku Musa as., namun tidak memeluk agama Isa as., dan tidak mau mengikuti Isa as., maka ia akan binasa.
Demikian pula orang Nasrani. Siapa saja yang berpegang teguh pada Injil dan syariat Isa as. hingga datangnya Muhammad saw., maka ia adalah orang Mukmin yang amal perbuatannya diterima oleh Allah SWT. Namun, setelah Muhammad saw. datang, siapa saja yang tidak mengikuti Nabi Muhammad saw. dan tetap beribadah seperti perilaku Isa as. dan Injil maka ia akan mengalami kebinasaan.”
Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Setelah ayat ini diturunkan, selanjutnya Allah SWT menurunkan surat (yang artinya): Siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima dan da di akhirat termasuk orang-orang yang merugi (QS Ali Imran [3]: 85).”
Ibnu Abbas menyatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satu pun jalan (agama, kepercayaan, dll) ataupun perbuatan yang diterima di sisi Allah, kecuali jika jalan dan perbuatan itu berjalan sesuai dengan syariah Muhammad saw. Adapun, umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad diutus, selama mereka mengikuti ajaran nabi-nabi pada zamannya dengan konsisten, mereka mendapatkan petunjuk dan memperoleh jalan keselamatan.”
Selain itu, Rasulullah saw. bersabda, “Demi Zat Yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari manusia yang mendengar aku—Yahudi ataupun Nasrani—kemudian mati, sedangkan ia tidak mengimani apa saja yang diturunkan kepadaku, kecuali ia menjadi penghuni neraka.” (HR Muslim dan Ahmad).
d. Ayat tentang kalimatun sawâ’.
Para pengusung ide pluralisme juga menggunakan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang kalimatun sawâ’. Allah SWT berfirman:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Katakanlah, “Hai Ahlul Kitab, marilah kita berpegang pada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kalian, yakni bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah dan kita tidak mempersekutukan Dia dengan apa pun; tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” (QS Ali Imran [3]: 64).
Para pengusung gagasan pluralisme mengatakan bahwa agama Yahudi, Kristen dan Islam merupakan agama langit yang memiliki prinsip-prinsip ketuhanan dan berasal dari Tuhan yang sama. Lebih jauh mereka juga menyatakan bahwa umat Islam, Yahudi dan Kristen berasal dari keturunan Ibrahim as. Ketiga pemeluk agama besar itu memiliki akar kesejarahan dan nasab yang sama. Semua menyembah Allah dan sama-sama berpegang pada kalimat[un] sawâ’.
Menurut Ibnu Katsir, kata kalimat[un] dalam surah ini dipakai untuk menyatakan kalimat sempurna yang dapat dipahami maknanya. Kalimat sempurna itu adalah sawâ baynanâ wa baynakum (yang sama, yang tidak ada perbedaan antara kami dengan kalian). Frasa ini merupakan sifat yang menjelaskan kata kalimat[un] yang memiliki makna dan pengertian tertentu. Adapun makna hakiki yang dituju oleh frasa kalimat[un] sawâ’ baynanâ wa baynakum adalah kalimat tauhid, yaitu “an lâ na’budu illâ Allâh (hendaknya kita tidak menyembah selain Allah).
Inilah makna sesungguhnya dari kalimat[un] sawâ’, yaitu kalimat Tauhid yang menyatakan bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah SWT; bukan patung, rahib, api dan sebagainya. Kalimat tauhid adalah kalimat yang dibawa dan diajarkan oleh seluruh Rasul yang diutus oleh Allah SWT, termasuk Musa as. dan Isa as.
Jelas, surah Ali Imran ayat 64 ini sama sekali tidak menyerukan kesatuan agama, atau pembenaran Islam atas truth claim agama-agama selain Islam. Sebaliknya, ayat tersebut justru berisikan ajakan kepada Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani)—yang telah menyimpang jauh dari konsepsi tauhid—untuk kembali mentauhidkan Allah SWT, sebagaimana yang telah diajarkan pertama kali oleh Musa as. dan Isa as. Wallâhu a’lam bis-shawâb. [Syamsuddin Ramadhan-Lajnah Tsaqafiyah HTI].
Posting ini bagus, aspiratif, menggugah hati, jelas, halus, bersifat menundukkan.
Sangat tepat sekali sebagai wacana, makalah, kabar baik untuk renungan yang bersifat mengetuk. Bagus untuk disebarkan.
Semoga bagi semua khususnya sodara-sodara kita sebangsa setanah air belum beriman kepada islam dapat masuk mengikuti islam mendapat hidayah Allah swt.
dan kitapun mendapat sodara baru. amin.
Ass. akhil muslim, artikelnya bagus banget, namun ada yang miss sedikit. memang secara agama, islam lah yang hanya allah terima, namun bukan berarti kita harus menyikut orang selain orang islam bukan? nah ini yang missed. sebab hidup berdampingan saling kenal mengenal itu adalah naluri dan kebutuhan manusia.
Saling mengenal itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain guna meningkatkan ketaqwaan kepada Allah. Sikap ini akan memberi dampak dalam kehidupan manusia yaitu kehidupan dalam kedamaian dan kesejahteraan baik untuk kehidupan dunia maupun untuk kehidupan di akhirat nanti.
Saling kenal yang kemudian akan dapat saling memberi keuntungan akan membawa kepada saling membutuhkan. Ketika itulah kehidupan yang majemuk dapat dirasakan manfaatnya.
Tetapi, jika perintah Allah agar lita’arafu tidak dilakukan, manusia tidak akan dapat mengambil keuntungan dari kehidupan yang majemuk ini. Ketika situasi seperti itu ummat sering bertindak salah. Mereka akan membenci yang berbeda dengannya. Hal ini yang diperingatkan oleh Allah dalam Al-Quran surat Al-Alaq 6-7.
Artinya: Sesungguhnya manusia berlaku sewenang-wenang bia ia merasa tidak butuh (QS A1-Alaq: 6-7)
jadi mana yang lebih beruntung, menjaga aqidah dan iman kita lalu menjaga keharmonisan umat manusia? atau hidup dalam satu kungkungan, yaitu mereka harus sama dengan kita??