HTI

Analisis (Al Waie)

Cara Merespon Kemungkaran

Salah satu kewajiban penting yang harus dipikul seorang Muslim adalah mencegah kemungkaran. Begitu pentingnya kewajiban ini, Allah SWT memaklumkan: jika kewajiban ini ditinggalkan, niscaya Dia akan meratakan azab-Nya, baik kepada orang yang melakukan kemungkaran maupun tidak. Allah SWT berfirman:

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Peliharalah diri kalian dari fitnah yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah amat keras hukuman-Nya (QS al-Anfal [8]: 25).

Dorongan untuk mencegah kemungkaran juga dituturkan di dalam banyak hadis, Nabi saw., misalnya, bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ

Demi Zat Yang jiwaku ada dalam genggaman tangan-Nya, kalian benar-benar melakukan amar makruf nahi mungkar atau Allah akan menimpakan hukuman kepada kalian, kemudian kalian berdoa kepada Allah, sementara doa itu tidak dikabulkan untuk kalian (HR at-Tirmidzi).

Sayang, kewajiban ini sudah diabaikan oleh kebanyakan kaum Muslim. Tidak hanya oleh kalangan awam saja, pihak-pihak yang notabene memahami Islam bahkan mendapat gelar ulama, kiai, ustadz dan habib juga banyak yang mengabaikan kewajiban ini. Dengan alasan menghindari risiko yang lebih besar, mereka membatasi diri pada seruan yang bersifat individual; semacam perbaikan akhlak dan ibadah mahdhah, nasihat dan petunjuk. Mereka berusaha untuk tidak berbenturan dengan pelaku-pelaku kemungkaran, semacam penguasa yang menerapkan hukum kufur, ulama su’ dan kaum fasik. Sedihnya lagi, di antara mereka ada yang malah mengabdikan diri kepada para penguasa fasik, zalim dan kafir. Mereka menjadi perpanjangan tangan dan alat legitimasi atas keputusan-keputusan menyimpang para penguasa jahat itu. Akibatnya, kemungkaran dan kemaksiatan semakin merajalela dan legitimated.

Kenyataan seperti ini mengharuskan kaum Muslim untuk melihat kembali hakikat Islam dalam merespon kemungkaran agar perubahan menuju masyarakat islami benar-benar bisa diwujudkan.


Mendudukkan Persoalan

Di antara fenomena salah yang harus diluruskan adalah adanya upaya memisahkan akidah Islam dari seruan dakwah dan pandangan sempit terhadap akidah Islam. Selain karena ketidaktahuan, tindakan memisahkan dakwah dari akidah dan simbol-simbol Islam juga dilatarbelakangi oleh pandangan yang salah terhadap dakwah Islam. Dengan alasan strategi dan pendekatan dakwah, sebagian orang akhirnya memilih untuk menjauhi sejauh-jauhnya akidah dan simbol Islam. Padahal perbuatan seorang Muslim harus selalu berlandaskan akidah Islam. Seorang Muslim dilarang memisahkan perbuatannya dari akidah Islam. Pasalnya, perbuatan adalah refleksi dan cabang (furû’) dari akidah Islam. Seorang Muslim, ketika menyerukan akhlak, misalnya, tidak boleh menyatakan bahwa akhlak yang ia serukan itu bersumber dari nilai-nilai universal, Injil, Taurat, Weda, Zen, maupun teori-teori yang digagas oleh pemikir-pemikir kafir Barat. Perbuatan seperti ini jelas-jelas telah memisahkan seruan akhlak dari akidah Islam. Akibatnya, akhlak yang mereka serukan tak ubahnya dengan akhlak yang diserukan oleh pendeta Yahudi, kaum ateis, Budhis, dan lain-lain. Seruan semacam ini, selain menggugurkan pahala amal, juga telah mengeleminasi tujuan dakwah Islam, yakni mengajak manusia masuk ke dalam Islam secara kâffah.

Ironisnya, tindakan memisahkan akidah Islam dari dakwah justru dianggap sebuah keharusan demi apa yang mereka sebut dengan strategi dakwah. Dengan alasan khawatir audiens menjauhi Islam, akhirnya mereka menyatakan bahwa apa yang mereka sampaikan bukan dakwah Islam dan berusaha membuang baju dan simbol Islam. Padahal dakwah Islam itu ditegakkan untuk menunjukkan keunggulan dan keagungan Islam agar orang-orang kafir rela memeluk agama Islam, atau agar umat Islam mau menerapkan Islam dalam seluruh dimensi kehidupan.

Akidah Islam bukan sekadar akidah yang menjadi dasar pengaturan urusan akhirat saja (akidah ruhiah), tetapi juga menjadi dasar atas pengaturan urusan dunia (akidah siyâsiyyah). Atas dasar itu, dakwah Islam tidak cukup hanya menyerukan aspek-aspek keakhiratan belaka, seperti iman pada hari akhir, pahala dan siksa, ibadah dan lain sebagainya. Dakwah Islam harus menyerukan pula aspek-aspek pengaturan urusan dunia, semacam keharusan terikat dengan hukum Islam dalam urusan ekonomi, politik, peradilan, sosial, keluarga dan lain-lain; serta keharusan meninggalkan keyakinan dan hukum-hukum kufur.

Fenomena lain yang perlu dicermati adalah adanya pandangan sempit dan keliru sebagian besar kaum Muslim terhadap kemungkaran. Banyak orang tahu, jika seorang Muslim menyakini ajaran Trinitas, maka ia telah keluar dari Islam. Namun, kebanyakan mereka tidak menyadari bahwa menyakini sekularisme, demokrasi, pluralisme dan liberalisme adalah kemurtadan. Banyak orang paham, menolong dan mendukung aksi perampokan dan perzinaan adalah tindak kemaksiatan dan kefasikan. Sebaliknya, mendukung dan melibatkan diri dalam partai dan sistem sekular tidak dianggap sebagai tindak kefasikan. Padahal memberikan dukungan dan bersekutu dalam partai dan sistem pemerintahan sekular termasuk kemaksiatan yang berdampak luas terhadap Islam dan kaum Muslim. Kekeliruan semacam ini disebabkan karena pandangan sebagian besar umat Islam terhadap kemaksiatan dan kemungkaran amatlah sempit. Padahal dalam pandangan Islam, semua bentuk pelanggaran dan penyimpangan terhadap akidah dan syariah Islam, apapun bentuknya adalah kemungkaran. Menerapkan sistem pemerintahan demokrasi dan hukum-hukum sekular adalah kemungkaran. Meyakini nasionalisme, pluralisme dan isme-isme lain di luar Islam adalah kemungkaran.

Fenomena lain yang juga harus diluruskan adalah adanya pandangan sebagian orang yang mencukupkan diri pada aktivitas perubahan yang bersifat individual, semacam perbaikan akhlak, ibadah, tazkiyatun-nafs dan lain-lain sebagainya. Mereka beralasan bahwa dakwah harus dimulai dari perbaikan individu (ibda’ binafsik). Benar, perubahan masyarakat harus dimulai dari perubahan individu. Namun, keliru jika dakwah hanya sebatas pada perubahan individu belaka. Pasalnya, dakwah semacam itu (concern dan fokus pada perubahan individu saja) tidak dicontohkan oleh Nabi saw. dan para sahabat. Nabi saw. dan para sahabat tidak hanya mencukupkan diri pada perubahan individu belaka. Mereka juga berjuang untuk menegakkan kekuasaan Islam agar Islam bisa diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Realitas dakwah Nabi saw. jelas-jelas menunjukkan bahwa dakwah Rasulullah saw. ditujukan untuk mengubah masyarakat, bukan berhenti pada pembentukan individu-individu yang berakhlak mulia dan taat ibadah.

Sesungguhnya perbaikan individu pada diri para sahabat merupakan tahapan untuk mempersiapkan dan membekali mereka agar mereka mampu menempuh aktivitas-aktivitas dakwah berikutnya, seperti tafâ’ul ma’al ummah, thalabun nushrah hingga jihâd fî sabîlillâh. Realitas dakwah seperti ini tampak jelas di dalam sirah Nabi saw. Atas dasar itu, sebuah kesalahan fatal jika ada sebagian kaum Muslim yang hanya membatasi dirinya pada aktivitas-aktivitas perubahan individual. Aktivitas perubahan harus diarahkan sedemikian rupa hingga terjadi perubahan pada struktur masyarakat, negara dan aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat; bukan hanya diarahkan sebatas pada perubahan individu belaka.

Fenomena lain yang harus diluruskan adalah adanya pandangan sebagian orang bahwa ibadah mahdhah harus mendapatkan porsi perhatian yang lebih dibandingkan dengan kewajiban-kewajiban lain. Bahkan sebagian orang menyatakan bahwa perbaikan kualitas ibadah mahdhah lebih penting daripada dakwah menegakkan Khilafah dan syariah. Akibatnya, muncullah fenomena ganjil yang sangat bertentangan dengan Islam. Banyak orang rajin menjalankan ibadah mahdhah, seperti shalat, puasa, zakat dan lain sebagainya serta tekun memperbaiki kualitas ibadah mahdhah-nya. Anehnya, mereka menolak syariah dan berdiam diri terhadap kemungkaran. Padahal ibadah mahdhah ditunaikan untuk memperkuat iman dan ketaatan seorang Muslim kepada Allah SWT. Jika seseorang rajin menjalankan ibadah mahdhah, baik yang wajib maupun sunnah, niscaya iman dan ketaatannya kepada Allah akan semakin meningkat, dan ini terlihat dari keinginannya yang kuat untuk memperjuangkan tegaknya syariah dan Khilafah Islamiyah. Sayang, ibadah mahdhah belum dipersepsi secara benar sehingga belum memberikan pengaruh bagi tegaknya kewajiban-kewajiban Allah SWT yang lain.

Fenomena berikutnya yang harus dicermati adalah adanya organisasi atau gerakan yang memfokuskan dirinya hanya pada aktivitas-aktivitas sosial (jam’iyyah khairiyyah), semacam menerbitkan dan membagikan al-Quran dan buku-buku keislaman, perbaikan masjid, menyantuni kaum papa, dan lain sebagainya. Gerakan-gerakan ini biasanya hanya membatasi diri pada aktivitas-aktivitas sosial belaka dan menjauhi aktivitas-aktivitas dakwah yang berbau politis. Mereka beralasan bahwa dakwah seperti itu lebih netral, praktis dan langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh umat. Mereka lupa bahwa dakwah harus selalu sejalan dengan manhaj dakwah Nabi saw. Memang benar, aktivitas sosial termasuk perbuatan terpuji. Namun, menjadikan aktivitas sosial sebagai fokus dan tharîqah dakwah tentu tidak sesuai dengan manhaj dakwah Nabi saw. Pasalnya, Nabi saw. dan sahabat tidak mencontohkan dakwah semacam itu. Beliau dan para sahabat tidak menjadikan aktivitas-aktivitas sosial sebagai manhaj untuk mengubah masyarakat Jahiliah menuju masyarakat Islam. Beliau juga tidak menjadikan masalah tersebut sebagai fokus dakwah. Bahkan ketika para sahabat disiksa dan diintimidasi, beliau hanya memerintahkan mereka bersabar hingga datang ketentuan Allah. Selain itu, tujuan utama dakwah adalah menegakkan kembali hukum-hukum Allah SWT dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara; bukan sebatas untuk menyantuni anak yatim, mencetak al-Quran dan lain sebagainya.

Atas dasar itu, tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa gerakan-gerakan seperti ini justru akan memalingkan umat Islam dari tujuan dakwah sebenarnya—yakni menegakkan syariah Islam—pada akvitas cabang. Karena itu, gerakan dan organisasi Islam tidak boleh menjadikan aktivitas sosial sebagai manhaj dakwahnya dan sebagai fokus utama perjuangannya. Selain tidak sesuai dengan dengan manhaj dakwah Nabi saw., aktivitas semacam ini tidak akan mampu menyelesaikan seluruh problem yang mendera umat Islam, bahkan akan memalingkan umat dari tujuan dakwah sebenarnya, yakni menegakkan syariah Islam dalam seluruh dimensi kehidupan.

Dari seluruh fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa dakwah Islam harus disampaikan dengan terus-terang, dan diarahkan tidak hanya untuk mencegah kemungkaran saja (nahyu ’anil munkar), namun juga untuk melenyapkan kemungkaran (izâlat al-munkar). Mencegah kemungkaran bisa dilakukan dengan cara melakukan muhâsabah (koreksi) terhadap para penguasa dan pelaku kemaksiatan atau dengan cara memisahkan diri dari penguasa kufur atau pelaku maksiat. Adapun menghilangkan kemungkaran (izâlat al-munkar) harus dilakukan dengan cara menegakkan kekuasaan Islam dan menerapkan syariah Islam untuk mengatur seluruh interaksi yang ada di tengah-tengah masyarakat. Sebab, pangkal dari kemungkaran adalah tegaknya kekuasaan dan hukum kufur di tengah-tengah masyarakat.

Atas dasar itu, melenyapkan kemungkaran harus dilakukan dengan cara mengganti kekuasaan dan hukum-hukum kufur dengan kekuasaan dan hukum Islam (syariah Islam). Dari sinilah dapat dipahami bahwa, dakwah menegakkan syariah Islam melalui pendirian kekuasaan Islam (Khilafah Islamiyah) harus dijadikan sebagai qâdhiyyah mashîiriyyah (persoalan utama) bagi kaum Muslim. Alasannya, dakwah seperti inilah yang akan mampu melenyapkan seluruh kemungkaran. Adapun seruan-seruan lain, semacam seruan untuk membatasi aktivitas dakwah pada perbaikan individu saja, concern pada aktivitas sosial, dan lain sebagainya, justru akan memalingkan umat dari tujuan utama dakwah, yakni menegakkan syariah Islam melalui pendirian kembali Khilafah Islamiyah. Dakwah yang mampu mengantarkan umat Islam pada tujuan ini hanyalah dakwah yang bersifat siyâsiyah (dakwah politik), bukan dakwah yang lain. Tentu, gerakan Islam yang mampu menjalankan aktivitas dakwah siyâsah hanyalah gerakan yang berkecimpung dalam amal siyâsi (aktivitas politik); bukan kelompok atau partai yang hanya berkecimpung dalam aktivitas ruhiah, sosial, taklim dan irsyâd wal bayân saja. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*