Tak setuju, tetapi ditunggu. Itulah mungkin ungkapan yang tepat untuk menggambarkan posisi pemikiran Hizbut Tahrir di hadapan berbagai corak pemikiran yang bersifat sekularistik, kapitalistik, liberalistik dan humanistik serta corak pemikiran lainnya.
Hal itu tergambar sangat jelas dari berbagai forum yang dihadiri oleh Jubir HTI di dalam maupun di luar negeri. Dari sekian banyak forum itu, kiranya ada dua yang bisa disebut mewakili respon dunia luar terhadap pemikiran Hizbut Tahrir. Pertama: Konferensi Internasional bertema, “Modernization and National Identity in East Asia: Globalization and the Revival of Religion”, yang diselenggarakan oleh Center for Interdisciplinary Study of Monotheistic Religions (CISMOR), Doshisha University, Kyoto, Jepang. Kedua: Konferensi Internasional “Islam and the West: Improving Political Dialog” yang diselenggarakan oleh ICIP bekerjasama dengan Kedutaan Besar Finlandia, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dalam konferensi di Kyoto, Jubir HTI menyampaikan makalah dengan judul, “Islamic Revival a Direct Challenge to Modernization and Globalization: A Political Campaign of Hizbut Tahrir Indonesia”. Dalam makalah itu secara ringkas dinyatakan:
Kolonialisme, modernisasi dan globalisasi adalah agenda negara kapitalis yang telah terbukti tidak membawa kebaikan bagi dunia. Kegagalan ini wajar karena semua agenda itu memang bukan bertujuan untuk memberikan kebaikan bagi dunia, melainkan untuk menindas sesama manusia demi kepentingan bisnis pemilik modal. Maka dari itu, Kapitalisme sesungguhnya telah gagal. Namun, meski sisa-sisa kekuatannya mulai keropos, ia masih cukup kuat untuk terus menindas dan menekan, khususnya terhadap Dunia Islam, seperti tampak dalam tindakan Amerika Serikat dalam apa yang mereka sebut ‘perang melawan terorisme’…
Sementara itu, Sosialisme yang sudah sejak tahun 1990-an masuk museum sejarah—meski sisa-sisanya masih ada di sebagian negara, seperti Kuba dan Korea Utara—sebenarnya telah bermetamorfosis menuju pada Kapitalisme, baik secara terang-terangan ataupun tidak.
Karena itu, sesungguhnya harapan umat manusia hanya tinggal satu, yakni Islam. Sudah semestinya sejarah memberikan kesempatan pada Islam. Cepat atau lambat, suka atau tidak suka, ideologi Islam akan tampil kembali ke muka bumi. Umat Islam tak dapat terus-menerus ditekan untuk mengikuti ideologi yang menjauhkan dari agamanya; juga tidak mungkin terus menerus diajak untuk menghindar dari kewajiban untuk mewujudkan Islam sebagai tatanan hidup di dunia yang akan memberikan rahmat bagi semua.
Pada titik inilah, Hizbut Tahrir menantang Kapitalisme secara jantan untuk mundur dari kancah pengaturan dunia dan memberikan kesempatan kepada Islam. Jika tidak, Islam akan tetap mengalahkan mereka, suatu saat nanti.
Adapun dalam konferensi tentang Islam dan Barat, Jubir HTI menyampaikan makalah, “Islam and the West: Dialogue without hegemony or Inevitable Clash”. Intinya dinyatakan:
Bila harus ada dialog maka dialog terbaik antara Islam dan Barat adalah dialog tanpa hegemoni. Dialog tanpa hegemoni adalah dialog yang ditandai dengan dua ciri utama. Pertama: masing-masing pihak tetap mempunyai jatidiri (identitas) yang asli. Kedua: masing-masing pihak tetap mempunyai kemandirian (independensi).
Dalam konteks Islam, sesungguhnya identitas hakiki umat Islam adalah sebagai suatu ummah, bukan sebagai negara-bangsa (nation-state). Ummah artinya kumpulan manusia dalam masyarakat di bawah naungan Daulah Khilafah yang di dalamnya diterapkan syariah Islam.
Mengenai syarat kemandirian (independensi) jelas dengan sendirinya, karena Islam melarang adanya hegemoni atau dominasi non-Muslim atas umat Islam.
Hanya bila terpenuhi kedua syarat ini akan dapat berlangsung dialog yang sehat antara Islam dan Barat yang dimaksud. Jika identitas umat Islam sekarang ini masih sebagai negara-bangsa maka dialog Islam dan Barat hakikatnya tak pernah ada. Sebab, identitas sebagai negara-bangsa bukan identitas asli umat Islam. Ia adalah identitas palsu yang dipaksakan oleh kolonialisme Barat atas Dunia Islam pada abad ke-19 dan ke-20 M. Dengan identitas sebagai negara-bangsa, yang terjadi sebenarnya bukanlah dialog, melainkan monolog meski mungkin saja disebut dialog. Demikian pula, tanpa kemandirian, sesungguhnya dialog Islam dan Barat itu tidak ada. Sebab, bagaimana bisa terjadi dialog bila satu pihak merasa dalam keadaan tertekan? Itu tak ubahnya seperti narapidana yang dikurung dalam sebuah penjara besar, dengan Baratlah yang menguasai penjara itu dan memegang semua kunci-kuncinya…
Masalahnya, mungkinkah dialog tanpa hegemoni itu diwujudkan? Tampaknya sulit, walaupun tidak bisa dikatakan mustahil. Sebab, dialog tanpa hegemoni itu artinya adalah menuntut Barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS) untuk mundur dari imperialisme globalnya saat ini. Pasalnya, AS telah banyak mereguk banyak sekali kenikmatan dari imperialisme globalnya itu melalui berbagai bentuk eksploitasi atas negara lain. Karena itu, sungguh sulit membayangkan Barat atau AS mundur dari imperialisme globalnya saat ini. Dengan kata lain, sulit dan bahkan nyaris mustahil membayangkan adanya dialog tanpa hegemoni antara Islam dan Barat.
Namun, ketidakmungkinan dialog itu bukanlah karena kesalahan atau kegagalan Islam. Islam telah membuka pintu dialog, tetapi Baratlah yang menutup (dan membanting) pintu itu, bukan Islam. Jadi, Baratlah yang harus bertanggung jawab atas kegagalan mewujudkan dialog itu, bukan Islam.
Jika dialog tanpa hegemoni sudah buntu maka pilihan berikutnya tinggal satu, yakni benturan. Apa boleh buat. Tampaknya itulah yang bakal terjadi antara Islam dan Barat. Karena itu, tidak ada jalan lain bagi umat Islam kecuali menghadapinya dengan penuh keberanian dan tawakal kepada Allah SWT. Meskipun mungkin dalam benturan ini umat Islam kalah, kekalahan itu akan memberikan pelajaran dan pendewasaan buat generasi muda Islam agar tumbuh lebih baik dan bersiap menghadapi tahapan benturan berikutnya. Sebaliknya, sikap mengalah dan menyerah kepada Barat tidak hanya berarti kerugian yang besar pada masa sekarang, tetapi juga kehancuran total bagi masa depan Islam. Sebab, berarti benih generasi muda Islam ini telah dibuang dan ditelantarkan sehingga di masa depan tidak menghasilkan buah sama sekali. Jadi, benturan Islam dan Barat adalah suatu keniscayaan. Aspek-aspek normatif, historis dan empiris mengokohkan keyakinan itu.
++++
Makalah yang disampaikan pada konferensi tentang Dialog Islam dan Barat itu tak pelak membuat gemuruh para peserta, yang merupakan perwakilan kedutaan sejumlah negara dan para intelektual dari berbagai negara. Mereka kaget dan tersentak. Tak menyangka, di tengah forum yang hampir semua pesertanya mengamini pentingnya dialog antara Islam dan Barat, tiba-tiba menyeruak gagasan yang justru berlawanan 180 derajat, bahwa benturan antara Islam dan Barat adalah sebuah kemestian setelah dialog tanpa hegemoni tidak mungkin dilakukan.
Begitu sesi dialog dibuka, banyak sekali peserta yang unjuk jari ingin segera menanggapi. Dalam tanggapannya, sebagian peserta ada yang tak sejutu, meski bisa mengerti. Sebagian lagi menilai meski rasional; gagasan ini terlalu frontal dan radikal.
Tanggapan kurang lebih sama muncul dalam sesi diskusi di konferensi Universitas Doshisha, Kyoto. Banyak peserta yang merupakan para akademisi dari berbagai negara di kawasan Asia Pasific itu terkaget-kaget. Apalagi setelah Jubir HTI memberikan tanggapan balik terhadap gagasan dialog antaragama, bahwa itu adalah langkah yang tidak tepat karena seolah-olah yang menimbulkan konflik adalah agama-agama yang ada, padahal sesungguhnya pembuat onar tidak lain adalah kekuatan Kapitalisme global yang dimpimpin oleh AS sekarang ini. Jubir HTI ketika itu mencontohkan dengan mengajak hadirin untuk menilai secara obyektif, apakah ketika AS menginvasi Irak itu karena dorongan Christianity atau Catholicsm? Bukan, tetapi karena nafsu jahat Kapitalisme. Bush memang sempat menyebut-nyebut Bible dan Crusade (Perang Salib), tetapi sesungguhnya itu hanya cara Bush untuk mendapatkan legitimasi agama (Kristen) dalam tindakan biadabnya.
Maka dari itu, menjadi sangat menarik mendengar jawaban Dr. Syafii Anwar, Direktur ICIP, sebagai empunya gawe dari Konferensi Internasional tentang Dialog Islam dan Barat itu saat ditanya pendapatnya tentang apa yang disampaikan oleh Jubir HTI itu. Kurang lebih dia mengatakan, “O, tidak apa-apa. Justru memang itu yang kita tunggu dari HT. Karena itulah, kita mengundang HT, karena hanya HT-lah yang bisa diajak berdiskusi seperti ini.”
Jawaban kurang lebih sama disampaikan oleh Prof. Hassan Ko Nakata saat dimintai pendapat tentang apa yang telah disampaikan Jubir HTI dalam seminar di Kyoto itu. Menurutnya, dari yang dia dapat, peserta sangat terkesan dengan pemikiran-pemikiran HT. Meski tak setuju, mereka merasa tercerahkan dengan pemikiran dan pendapat HT. Sama seperti Pak Syafii Anwar, Prof. Hassan juga mengatakan, untuk hal itulah mengapa HT diundang. Jadi, benar kan, bahwa pemikiran HT tak disetujui, tapi tetap ditunggu?
++++
Karena itu, tetaplah yakin dengan kebenaran Islam, dan jangan pernah ragu menyampaikan secara terbuka di manapun, kapan pun dan di hadapan siapa pun. Sampaikanlah secara jelas dan tegas. Mudah-mudahan itu menjadi jalan bagi yang mendengar untuk kembali ke jalan yang benar. Itulah jalan Islam. Insya Allah. []
Subhanallah..
Sampaikan walau satu ayat, satu link, satu artikel, dan satu yang lain..!!!
Sampaikan kebenaran walaupun pahit rasanya, bagaikan pil yang pahit untuk membunuh penyakit.