Gaza kini lengkap sudah menyandang sebutan penjara, setelah pemerintah Mesir membangun tembok baja, yang memisahkan Gaza dan Mesir. Luas Gaza tidak lebih dari 500 km, dengan lebar 10 km dan panjang 50 km (Kalau di Jawa Timur kira-kira luasnya dari Bangil ke Probolinggo; dengan lebar hanya sama dengan Probolinggo-Leces dan Bangil-Beji, atau sama dengan Tanjung Kodok ke Tuban). Kawasan seluas itu dihuni 1,5 juta orang. Karena itu, Gaza merupakan kawasan terpadat di dunia. Wilayahnya berbukit, tetapi tidak bergunung. Dataran paling tinggi hanya 150 meter. Meski punya pesisir sepanjang 45 kilometer, seluruh akses ke laut tengah itu dikuasai Israel. Bandaranya juga dikuasai Israel. Untuk keluar dari Gaza, ada 8 pintu, 7 di antaranya dikuasai Israel, sedangkan 1 berbatasan dengan Mesir, yang dikenal dengan Ma’bar Rafah (Pintu Gerbang Rafah).
Justru di situlah musibahnya. Jika sebelumnya penduduk Gaza bisa bertahan hidup dan mensuplai kebutuhan hidup mereka dari suplai logistik yang disalurkan melalui terowongan-terowongan yang menghubung-kan Gaza dengan Mesir, kini terowongan-terowongan itu pun ditutup oleh pemerintah Mesir. Bukan hanya itu, atas perintah AS dan Israel, pemerintah Mesir membangun tembok baja di sepanjang perbatasan Mesir-Gaza. Seperti dilansir BBC, pembangunan tembok tersebut akan memakan waktu selama 18 bulan, dengan panjang 10-11 km (6-7 mil) dan memiliki tinggi 20-30 meter (70-100 kaki). Ketika pembangunan “tembok neraka” tersebut banyak mendapat kecaman dari berbagai ulama’ dan aktivis, baik dari dalam maupun luar Mesir, termasuk fatwa haram dari Dr. Yusuf Qaradhawi, penguasa Mesir malah memerintahkan para jongos-nya untuk mengeluarkan fatwa dengan dalih hak, tanah air hingga dalih dharar. Akhirnya, keluarlah fatwa konyol, yang menghalalkan pembangunan proyek gila itu.
Syaikh al-Azhar, Dr. Thanthawi, ulama’ kacung, yang dikenal lebih takut kepada Husni Mubarak ketimbang takut kepada Allah, adalah otak dari fatwa yang dinisbatkan pada Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah itu. Dr. Fahmi Huwaidi, penulis Mesir, dalam artikelnya yang dimuat oleh Koran Asy-Syarq al-Qathariyyah (3/1/2010) menyatakan, bahwa fatwa ini bukanlah fatwa Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah, tetapi fatwa Dr. Thanthawi. Sebab, menurut pengakuan para anggota Majma’ al-Buhûts, pembahasan tentang pembangunan tembok tersebut tidak pernah ada dalam agenda pembahasan tanggal 31/12/2009 yang lalu. Lalu tiba-tiba dalam konferensi pers yang dihadiri sejumlah media, Thanthawi menambahkan poin “kehalalan pembangunan tembok” tersebut saat membacakan hasil pembahasan Majma’ al-Buhûts sehingga tampak seolah-olah itu merupakan fatwa yang dikeluarkan oleh Majma’ al-Buhûts, padahal tidak.
Tindakan kriminal kacung Husni Mubarak itu jelas tidak bisa diterima, baik oleh syariah maupun akal sehat. Bukankah Syaikh kacung dan anggota Majma’ al-Buhûts itu lebih tahu ketimbang yang lain tentang hadis Nabi yang menuturkan, bahwa ada seorang wanita masuk neraka gara-gara seekor kucing yang dia kerangkeng dan tidak diberi makan. Pertanyaannya, jika terhadap seekor kucing saja, balasannya neraka, lalu bagaimana dengan tindakan penguasa Mesir yang memblokade dan membuat 1,5 juta penduduk Gaza kelaparan? Bagaimana pula hukum orang yang bersekongkol dalam tindakan kriminal tersebut? Karena itu, kata Dr. Fahmi Huwaidi, “Dia (Syaikh kacung) memang layak mendapatkan laknat dan siksa dari Allah.”
Tindakan ini bahkan sangat kontras dengan sikap para aktivis HAM Barat, yang datang dari berbagai penjuru dunia ke Mesir untuk mengecam pembangunan tembok dan menuntut dicabutnya blokade. Tindakan ini pun tak ayal membuat orang Mesir malu menjadi rakyat Mesir, karena tindakan penguasanya yang biadab. Bahkan fatwa konyol ini telah mempermalukan umat Islam dan ulama kaum Muslim.
Ya, Tragedi Gaza memang telah berlalu setahun lalu. Namun, penderitaan kaum Muslim di sana belum juga berakhir. Setiap saat kehidupan mereka selalu terancam. AS, Inggris dan negara-negara Barat, termasuk PBB, yang konon berjuang keras mewujudkan perdamaian di Timur Tengah, malah meningkatkan bantuan militer mereka kepada Israel, dengan dalih untuk menjaga keamanan. Di sisi lain, umat Islam tidak boleh memiliki persenjataan, baik ringan maupun berat, sebagaimana yang mereka lakukan pasca serangan brutal mereka tahun lalu: melucuti senjata Hamas dan kelompok perlawanan yang ada di Gaza, tentu juga dengan dalih menjaga keamanan. Ironi memang. Israel yang terus-menerus melakukan pembantaian dan pencaplokan wilayah selalu dipersenjatai dan didukung penuh oleh Barat, sementara umat Islam yang membela diri tidak boleh mempunyai senjata.
Jelas sudah, yang dihadapi oleh kaum Muslim di Palestina umumnya, dan Gaza, khususnya, adalah masalah pendudukan, yang identik dengan masalah militer. Karena itu, untuk mengakhiri derita mereka, satu-satunya cara yang diajarkan oleh Islam adalah dengan menyelesaikannya secara militer, yaitu mengirim tentara kaum Muslim untuk berjihad melawan Israel. Dana, bantuan logistik dan kemanusiaan yang telah diberikan, meski telah mampu meringankan penderitaan mereka, terbukti tidak pernah mampu menyelesaikan masalah ini dengan tuntas. Namun, pengiriman tentara kaum Muslim ke sana nyatanya terhalang oleh political will penguasa, yang umumnya menjadi antek negara-negara kafir penjajah. Karena itu, umat Islam tidak boleh berdiam diri terhadap pengkhianatan para penguasa mereka. Umat juga tidak boleh tertipu dengan retorika manis mereka. Di satu sisi, mereka menunjukkan sikap bermusuhan dengan Israel, namun di sisi lain membuka hubungan diplomatik, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Erdogan. Ada juga yang tampak tidak membuka hubungan diplomatik, tetapi menjalin hubungan diam-diam, seperti yang dilakukan Indonesia. Jika para penguasa itu memang tidak bisa diharapkan, maka harus ada arus baru yang dijadikan kiblat politik umat; sebuah arus yang dipimpin oleh kekuatan politik yang bergerak dan terjun di tengah-tengah umat. Melalui proses edukasi, artikulasi dan agregasi yang terus-menerus dilakukan, pada akhirnya arus baru itu benar-benar akan terbentuk dan menjadi harapan umat; bukan hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Pada akhirnya, Allah pun akan mewariskan bumi-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang salih.
وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ، بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ
Pada hari (kemenangan) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Mahaperkasa lagi Penyayang (QS ar-Rum [30]: 4-5) []