Pengantar
Seperti negara mana pun di dunia, Khilafah juga memerlukan seperangkat undang-undang untuk mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakatnya. Tentu ada bedanya. Pertama: substansi hukum dalam UU di negara Khilafah hanyalah hukum syariah yang digali dari al-Quran dan as-Sunnah. Sebaliknya, dalam negara sekular, substansi hukumnya adalah hukum kufur buatan manusia. Kedua: yang berhak melegislasi UU dalam negara Khilafah hanyalah Khalifah sebagai kepala negara. Sebaliknya, dalam negara demokrasi sekarang, yang berhak melegislasi UU adalah badan legislatif, yakni DPR sebagai wakil rakyat.
Tulisan ini bermaksud menjelaskan lebih jauh kewenangan Khalifah tersebut, yaitu melegislasi hukum syariah menjadi UU. Hal ini sebagaimana pasal 3 Rancangan UUD Negara Khilafah yang digagas Hizbut Tahrir (HT), yang berbunyi: Khalifah mengadopsi hukum-hukum syariah tertentu yang dilegislasinya sebagai undang-undang dasar dan undang-undang. Undang-undang dasar dan undang-undang yang telah diadopsi oleh Khalifah menjadi satu-satunya hukum syariah yang wajib dilaksanakan dan menjadi perundang-undangan yang wajib ditaati oleh setiap individu rakyat, baik secara lahir maupun secara batin (Muqaddimah ad-Dustur, Cet. II, 2009, hlm. 16).
Pasal ini mengandung 2 (dua) poin. Pertama: hak khusus Khalifah melegislasi UU. Kedua: kewajiban rakyat menaati UU yang dilegislasi Khalifah.
Antara Adopsi dan Legislasi
Adopsi (tabanni) dalam pandangan HT adalah tindakan seorang Muslim memilih suatu hukum syariah dan menjadikannya hukum untuk dirinya, disertai dengan keharusan untuk mengamalkan, mengajarkan dan mendakwah-kan hukum itu pada saat ia mendakwahkan hukum dan pemikiran islami (An-Nabhani, 2003: 136; Baba, 2008: 26; Radhi, 2006: 13).
Adopsi merupakan keharusan pada saat terdapat khilafiyah dalam suatu hukum syariah. Misalnya masalah menyentuh perempuan, ada khilafiyah apakah itu membatalkan wudhu atau tidak. Menurut mazhab Syafii, membatalkan, sedang menurut mazhab Hanafi tidak. Dalam kondisi seperti inilah seorang Muslim wajib mengadopsi satu hukum syariah tertentu bagi dirinya. Sebab, hukum Allah bagi satu individu dalam satu masalah adalah satu saja, tidak berbilang (An-Nabhani, 2003: 135).
Adopsi ini dilakukan oleh tiga subjek. Pertama: individu. Misalnya adopsi dalam khilafiyah wudhu seperti dicontohkan di atas. Kedua: Jamaah (kelompok). Misalnya adopsi mengenai metode yang ditempuh untuk menegakkan Khilafah. Ketiga: Negara (Khalifah). Misalnya adopsi mengenai hukum-hukum ijtihadiah dalam masalah jihad, zakat, pajak, kharaj, jizyah dan sebagainya (Baba, 2008: 79).
Dengan demikian, ada perbedaan antara istilah adopsi (tabanni) dan legislasi (sann ad-dustûr wa al-qawânîn; taqnîn asy-syarî’ah). Perbedaannya terletak pada cakupannya. Adopsi bersifat umum mencakup adopsi oleh individu, jamaah dan negara. Adapun legislasi bersifat khusus, yaitu hanya dilakukan oleh Khalifah sebagai kewenangan khusus baginya. Ketika dilakukan oleh Khalifah inilah, adopsi identik dengan legislasi, yang didefinisikan sebagai tindakan Khalifah menetapkan suatu hukum syariah sebagai undang-undang dasar (UUD) atau undang-undang (UU) resmi yang berlaku mengikat untuk seluruh aparat pemerintah dan individu rakyat.
Hak Khusus Khalifah Melegislasi UU
Poin pertama pasal 3 Rancangan UUD Khilafah menegaskan bahwa dalam negara Khilafah, otoritas legislasi ada di tangan Khalifah selaku kepala negara. Dalilnya adalah Ijmak Sahabat ra. Pada saat Abu Bakar menjadi Khalifah, beliau menetapkan ucapan talak sebanyak tiga kali sebagai talak satu. Beliau juga menetapkan harta Baitul Mal dibagi dalam jumlah yang sama besarnya kepada seluruh rakyat. Khalifah Abu Bakar memerintahkan kebijakan ini atas seluruh aparat pemerintah dan rakyat.
Namun, saat Umar bin al-Khaththab menjadi khalifah, beliau menetapkan ucapan talak sebanyak tiga kali sebagai talak tiga (bukan talak satu). Beliau juga menetapkan pembagian harta Baitul Mal dengan cara berbeda dari cara Khalifah Abu Bakar. Jika Abu Bakar menyamaratakan, Umar membaginya tidak sama rata, bergantung pada siapa yang lebih dulu masuk Islam, tingkat kebutuhan hidup, dan partisipasinya dalam jihad fi sabilillah. Khalifah Umar pun memerintahkan kebijakan ini atas seluruh aparat pemerintah dan rakyat.
Para Sahabat Nabi saw. tidak ada yang mengingkari tindakan Khalifah Abu Bakar dan Umar itu. Dengan demikian, telah terwujud Ijmak Sahabat dalam 2 (dua) persoalan. Pertama: bahwa Khalifah berhak mengadopsi dan melegislasi suatu hukum syariah yang diberlakukan secara umum kepada seluruh rakyat. Kedua: bahwa wajib atas rakyat menaati Khalifah dalam hukum-hukum syariah yang telah dilegislasi oleh Khalifah (Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 17).
Berdasarkan Ijmak Sahabat tersebut di-istinbâth beberapa kaidah syariah yang terkenal, misalnya:
لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُحْدِثَ مِنَ الأَقْضِيَةِ بِقَدْرِ مَا يَحْدُثُ مِنْ مُشْكِلاَتٍ
Penguasa berhak menetapkan keputusan-keputusan baru sesuai dengan problem-problem baru yang terjadi.
أَمْرُ الإِمَامِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ
Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat.
أَمْرُ الإِمَامِ نَافِذٌ ظَاهِراً وَبَاطِناً
Perintah Imam (Khalifah) wajib dilaksanakan, baik secara lahir maupun batin (Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 17).
Jelas, hak legislasi dalam negara Khilafah ada di tangan Khalifah saja, bukan yang lain.
Maka dari itu, tidak tepat pendapat sebagian ulama yang menyatakan legislasi dalam negara Khilafah adalah hak Ahlul Halli wal Aqdi. Keliru pula pendapat Muhammad Abduh yang menjadikan legislasi sebagai hak Dewan Perwakilan Rakyat (Parlemen) (Al-Badrani, An-Nizhâm asy-Siyâsi Ba’da Hadm Dawlah al-Khilâfah, hlm. 11; Al-Hamdawi, Fiqh al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 16).
Namun, hak legislasi bagi Khalifah ini hukum asalnya adalah boleh (mubah), tidak wajib. Sebab, Ijmak Sahabat yang terwujud dalam persoalan ini menetapkan legislasi adalah hak Khalifah, bukan kewajiban Khalifah. Jadi, Khalifah boleh melegislasi dan boleh pula tidak. Jika Khalifah dapat menyelenggarakan urusan negara tanpa legislasi maka berlakulah hukum asal legislasi, yaitu mubah. Misalnya dalam masalah nishâb (jumlah minimal) saksi dalam peradilan. Namun, jika Khalifah tidak dapat menyelenggarakan urusan negara tanpa legislasi maka legislasi hukumnya menjadi wajib, berdasarkan kaidah syariah: Mâ lâ yatimm al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjib. (Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya). Hal ini berlaku pada segala persoalan yang menyangkut persatuan umat dan kesatuan penyelenggaraan negara. Misalnya, hukum-hukum zakat, jihad dan perjanjian (mu’âhadât); penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha; dan sebagainya.
Kewajiban Rakyat Menaati UU yang Dilegislasi Khalifah
Poin kedua pasal 3 Rancangan UUD Khilafah menegaskan bahwa wajib hukumnya atas seluruh aparat dan rakyat menaati UU yang dilegislasi oleh Khalifah, baik secara lahir maupun batin. Dengan kata lain, tidak boleh aparat ataupun rakyat mengamalkan hukum lain di luar hukum yang telah diadopsi oleh Khalifah. Sebab, hukum Allah yang berlaku bagi kaum Muslim adalah hukum yang telah diadopsi oleh Khalifah. (Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 17).
Namun demikian, bukan berarti rakyat harus mengadopsi apa yang diadopsi oleh Khalifah. Mereka cukup tunduk pada apa yang diadopsi Khalifah. Artinya, ketaatan rakyat hanya terbatas pada aspek amal, bukan pada aspek keyakinan (opini). Jadi, rakyat tetap boleh menganut pendapat yang berbeda dengan pendapat Khalifah, bahkan boleh pula mengajarkan atau mendakwahkan pendapat yang berbeda dengan pendapat Khalifah (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, II/138-139; Baba, Tabanni Afkâr al-Islâm wa Ahkâmihi, hlm. 113).
Misalnya Khalifah mengadopsi pendapat yang mengharamkan menyewakan lahan pertanian. Dalam hal ini, rakyat hanya wajib menaati dari segi amal saja, yaitu melaksanakan hukum tersebut, dan tidak boleh melaksanakan hukum selainnya. Namun, dari segi keyakinan, rakyat boleh menganut, mengajarkan dan mendakwahkan pendapat yang membolehkan menyewa lahan pertanian.
Dengan demikian, tidak tepat perkataan Nashiruddin al-Albani, “Seorang hakim tidak wajib dalam peradilan untuk mengadopsi pendapat Khalifah jika terbukti baginya bahwa pendapat Khalifah menyalahi Sunnah.” (Albani, As-Silsilah ash-Shahîhah, 2/163). Artinya, dalam pandangan Albani, jika pendapat Khalifah tidak menyalahi as-Sunnah, wajib atas hakim mengadopsi apa yang diadopsi Khalifah (Al-Mas’ari, Al-Hâkimiyah wa Siyâdah asy-Syara’, hlm. 320).
Pemahaman Albani itu tidak tepat. Sebab, kewajiban hakim bukanlah mengadopsi apa yang diadopsi Khalifah, melainkan melaksanakan apa yang diadopsi Khalifah. Jadi, ketaatan yang wajib dilakukan hakim adalah aspek amal saja, bukan aspek keyakinan atau opini. Hakim tetap boleh mengadopsi pendapat yang berbeda dengan pendapat yang diadopsi Khalifah meski yang wajib dijalankan dalam praktik hanyalah pendapat Khalifah saja, bukan pendapatnya sendiri.
Sejalan dengan pengertian ini, yang dimaksud menaati Khalifah secara lahir dan batin bukanlah menaati dalam perbuatan lahiriyah dan keyakinan dalam hati, melainkan menaati secara rahasia (fî as-sirr) dan secara terang-terangan (fî al-’alaniyyah). (Hawari,’Isyruna Nadwah, hlm. 190; An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islamiyah, hlm. 143).
Maka dari itu, dengan memahami persoalan ini secara jernih dalam segala dimensinya, tidak perlu muncul kekhawatiran akan macetnya ijtihad, sebagaimana kritikan sebagian pihak yang salah paham terhadap Hizbut Tahrir.
Menurut mereka, menaati apa yang diadopsi oleh Khalifah akan menumpulkan ijtihad. Tentu tidak demikian. Sebab, sekali lagi, ketaatan rakyat hanya pada aspek amal, bukan aspek opini. Rakyat tetap boleh berijtihad walaupun menghasilkan pendapat yang berbeda dengan pendapat yang diadopsi Khalifah. Wallâhu a’lam. []
Dafar Bacaan
Al-Asyqar, Umar Sulaiman, Mu’awwiqât Tathbîq asy-Syarî’ah al-Islâmiyyah (Amman: Darun Nafais), 1992.
Al-Badrani, Hisyam, Tabshîrah al-Afhâm (Syarh Nizhâm al-Islâm) (t.tp: t.p.), t.t.
—————, Al-Nizhâm as-Siyâsi ba’da Hadm Dawlah al-Khilâfah (t.tp: t.p.), t.t.
Al-Hamdawi, Abdul Karim, Fiqh al-Ahkâm as-Sulthâniyah (t.tp: t.p.), 1421.
Al-Lahwu, ’Amir bin Isa, Harakah Taqnîn al-Fiqh al-Islâmi (t.tp.: t.p.), t.t.
Al-Mas’ari, Muhammad Abdullah, Al-Hâkimiyah wa Siyâdah asy-Syara’, (London: Lajnah Al-Difa’ ’An Huquq Al-Syar’iyyah), 2002.
—————, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ (London: Lajnah Ad-Difa’ ’an Huquq Asy-Syar’iyyah), 2002
An-Nabhani, Taqiyuddin, Nizhâm al-Islam (Beirut: Darul Ummah), 2001
—————, Ad-Dawlah al-Islâmiyah (Beirut: Darul Ummah), 2002.
—————, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, II (Beirut: Darul Ummah), 2003
Asy-Syatsry, Abdurrahman, Taqnîn as-Syarî’ah bayna at-Tahlîl wa at-Tahrîm (t.tp.: t.p.), 1426.
Baba, Awat Muhammad Agha, Tabanni Afkâr al-Islâm wa Ahkâmihi (t.t.p: Al-Jami’ah Al-Mustanshiriyyah), 2008.
Bassam, Abdullah, Taqnîn asy-Syarî’ah Adhrarahu wa Mafâsiduhu (Makkah: Dar Al-Tsaqafah), 1379.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. Ke-14, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 1992.
Hawari, Muhammad, ’Isyrunâ Nadwah fî Syarh wa Munâqasyah Masyrû’ Tathbîq al-Islâm fî al-Hayah, (t.tp: t.p), 2002.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah (Beirut: Darul Ummah), 2005.
—————, Muqaddimah ad-Dustûr, Cetakan II, (Beirut: Darul Ummah), 2009.
Mufti, M. Ahmad, dan Sami Shalih Al-Wakil, Formalisasi Syariah dalam Negara Khilafah (At-Tasyrî’ wa Sann al-Qawânîn fî ad-Dawlah al-Islâmiyah), Penerjemah M. Fakhrur Rozi, (Yogyakarta: Media Pustaka Ilmu), 2002.
Radhi, Muhammad Muhsin, Hizb at-Tahrîr Tsaqâfatuhu wa Manhâjuhu fî Iqâmah Dawlah al-Khilâfah al-Islâmiyah (Baghdad: Al-Jami’ah Al-Islamiyah), 2006.