HTI

Hiwar (Al Waie)

Jubir HTI, HM Ismail Yusanto: Negara: Pelaku Kemungkaran Terbesar

Pengantar:

Disadari atau tidak, ada semacam penyempitan makna kemungkaran di tengah-tengah masyarakat. Kemungkaran seolah-olah hanya dilakukan oleh individu, atau paling banter kelompok. Kemungkaran juga dipahami sebatas pencurian, pembunuhan, korupsi, pemerkosaan, dll. Saat ini kemungkaran yang justru dilakukan pula oleh negara, bahkan dengan kadar akibat yang sangat meluas bagi masyarakat, seolah tak dipandang sebagai bentuk kemungkaran. Misalnya saja saat negara menaikkan harga BBM, melakukan privatisasi BUMN, terus menambah utang luar negeri, melakukan perjanjian perdagangan bebas, dll. Semua itu, karena tidak dianggap mungkar, sering tidak direaksi oleh mereka yang selama ini bergelut dengan dakwah dan amar makruf nahi mungkar seperti para ulama, ustad, mubalig, atau tokoh agama lainnya, juga kaum Muslim kebanyakan.

Pertanyaannya, jika demikian, apa sesungguhnya kemungkaran? Apa saja ukurannya? Siapa saja pelakunya? Bagaimana pula cara menghentikannya? Itulah di antara yang ditanyakan kepada Juru Bicara HTI HM Ismail Yusanto dalam wawancara berikut ini.

Apa yang dimaksud dengan kemungkaran itu?

Kemungkaran adalah setiap pemikiran, ucapan dan tindakan baik yang terjadi pada level kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat maupun negara yang bertentangan dengan ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Dari sisi pelaku, kemungkaran ada yang dilakukan oleh individu, kelompok dan negara. Dari sisi obyek, ada yang bersifat keyakinan atau i’tiqadi, dan ada yang bersifat ‘amali baik yang berupa ucapan (qawliyah) maupun tindakan (fi’liyah).

Bagaimana dengan kemungkaran yang terjadi saat ini?

Kemungkaran di tengah masyarakat saat ini telah terjadi di semua level, baik di level individu, kelompok maupun negara; serta pada semua bentuk dan semua aspek. Tegasnya, kemungkaran saat ini sudah berlangsung secara massal (menyeluruh) dan terjadi secara massif di semua aspek kehidupan, baik di lapangan politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan maupun di lapangan yang lain.

Apa pula dampaknya bagi umat?

Risalah Islam ditetapkan Allah SWT untuk membawa rahmat bagi sekalian alam. Karena itu, setiap kemungkaran, yakni pelanggaraan terhadap risalah ini, pasti akan menimbulkan fasad atau kerusakan. Seberapa besar kerusakan itu bakal terjadi bergantung pada seberapa besar kemungkaran itu dilakukan. Semakin besar kemungkaran, semakin besar pula kerusakan bakal timbul. Dalam perspektif ini, kemiskinan, kerusakan moral, maraknya tindak kriminalitas, berkembangnya aliran sesat, korupsi, kerusakan lingkungan dan sebagainya sesungguhnya adalah fasad atau kerusakan yang terjadi akibat kemungkaran yang telah berlangsung secara massal dan massif tadi.

Semua itu tentu sangat merugikan masyarakat. Hidup menjadi susah. Harga barang-barang naik terus. Sekolah mahal. Obat-obatan dan ongkos rumah sakit juga mahal. Apalagi rumah, harganya makin tak terjangkau. Akibatnya, banyak orang yang terpaksa tinggal di emper toko, di bawah kolong jembatan, di bantaran sungai atau di kiri-kanan rel kereta api. Karena kurang biaya, anak-anak terpaksa putus sekolah. Yang sakit tidak terawat. Karena tidak punya uang, banyak orang lalu menempuh jalan pintas. Akibatnya, tindak kriminalitas meningkat di mana-mana. Hidup menjadi tidak aman. Stress atau tekanan sosial meningkat tajam. Hidup menjadi tidak nyaman. Inilah yang digambarkan al-Quran sebagai ma’î’syat[an] dhanka (kehidupan yang sempit).

Lalu bagaimana sikap yang disyariatkan dalam menghadapi kemungkaran itu?

Dalam hal ini, Rasulullah Muhammad saw. mengajarkan bila kita melihat kemungkaran, kita wajib menghentikan kemungkaran itu dengan tangan, maksudnya dengan kekuatan atau kewenangan kita. Bila tidak mampu, kita harus berusaha menghentikan dengan lisan. Bila tidak mampu juga, kemungkaran itu harus tetap ditolak meski hanya di dalam hati.

Bagaimana metodenya? Siapa pula yang harus melakukannya?

Dari sisi pelaku, kemungkaran bisa dihilangkan oleh individu, kelompok dan negara. Kemungkaran yang dilakukan oleh individu bisa dihentikan oleh individu lain, terutama oleh orang atau pihak yang berkuasa atasnya. Misalnya, orangtua atas anak, atasan terhadap bawahan dan seterusnya. Lebih efektif bila kemungkaran itu dihilangkan oleh kelompok melalui upaya bersama. Yang paling efektif, tentu kemungkaran individual ini dihentikan oleh pemerintah atau penguasa melalui penerapan sistem hukum yang efektif, yaitu syariah Islam. Artinya, kemungkaran itu harus dianggap kejahatan sehingga harus dicegah dan pelakunya harus dihukum. Sayang, dalam sistem hukum sekular, tidak semua kemungkaran dianggap sebagai kejahatan, bahkan sebagiannya justru dilindungi dengan dalih hak asasi manusia. Misalnya, orang yang murtad dari agama Islam, atau pelaku lesbian dan homoseksual, bahkan pelacur sekarang mendapat predikat sebagai pekerja (seks komersial).

Adapun kemungkaran yang dilakukan oleh kelompok, hanya mungkin dihilangkan oleh negara. Usaha sebuah kelompok untuk menghapus atau menghilangkan kemungkaran yang dilakukan oleh kelompok lain bisa berujung pada pertikaian antarkelompok. Karenanya, peran negara dalam hal ini sangatlah menentukan untuk secepatnya menghentikan kemungkaran yang dilakukan oleh kelompok.

Pada tingkat tertentu, bila tidak segera dihentikan, pelaku kemungkaran bisa menjadi sangat kuat, bahkan mungkin bisa jauh lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan dari pihak yang hendak menghentikan kemungkaran itu sendiri. Misalnya, pelaku bisnis narkoba, bandar judi, illegal logging (pembalakan liar) atau illegal mining (penambangan liar) dan illegal fishing (penangkapan ikan liar). Dengan uang hasil kejahatan itu mereka bisa membeli apapun, termasuk menyuap para pejabat dan aparat keamanan serta penegak hukum sedemikian sehingga kejahatan mereka bisa berlangsung dengan aman. Seorang Kapolda di Kalimantan pernah bercerita bahwa bila mau, tiap bulan ia bisa mendapatkan uang lebih dari Rp 5 miliar dari melindungi kegiatan illegal logging dan illegal mining di sana. Di Bolivia, kartel narkoba saking kuatnya bahkan sampai mempunyai pasukan sendiri lengkap dengan persenjataan canggih. Dengan kekuatan itu, mereka bisa melakukan perlawanan terhadap aparat pemerintah yang mencoba ingin menghentikan bisnis mereka.

Dari semua itu, kemungkaran yang paling dahsyat tidak lain adalah yang dilakukan oleh negara. Melalui penerapan hukum sekular, negara telah jelas-jelas melakukan kemungkaran amat besar. Ironinya, itu semua ditopang secara formal melalui sistem perudang-undangan sehingga menjadi tampak legal. Nah, kemungkaran jenis ini hanya bisa dihilangkan dengan cara menegakkan yang haq, dalam arti menegakkan syariah Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebab, hanya bila al-haq seperti yang dimaksud itu tegak, kemungkaran besar ini akan benar-benar bisa dihilangkan. Bila ia muncul lagi, dengan mudah pula dihentikan. Di sinilah wajibnya kita melakukan apa yang disebut dengan istilah taghyîr (perubahan). Artinya, masyarakat sekular yang di dalamnya tegak hukum Jahiliah harus diubah menjadi masyarakat Islam yang di dalamnya tegak syariah. Usaha ini harus dilakukan oleh kelompok, bukan individu, yang memang dibentuk untuk tujuan melakukan perubahan atau taghyîr seperti yang dimaksud.

Bagaimana menghilangkan kemungkaran yang dilakukan oleh negara dan aparaturnya dan siapa yang harus melakukannya?

Menghadapi jenis kemungkaran ini, harus dilihat. Bila negara itu asalnya memang bersifat mungkar, artinya ini jenis negara sekular yang berdiri atas dasar bukan Islam yang di dalamnya diterapkan hukum sekular, maka yang harus dilakukan, adalah mengubah negara seperti ini menjadi negara yang berdasar Islam yang di dalamnya diterapkan syariah. Sebaliknya, bila negara itu asalnya adalah negara yang tegak atas dasar Islam yang di dalamnya juga telah diterapkan syariah, maka yang dilakukan adalah islâh, yakni menghilangkan kemungkaran dengan jalan mengajak penguasa dan aparat birokratnya untuk benar-benar menjalankan syariah Islam dengan sebaik-baiknya, secara murni dan konsekuen.

Bagaimana dengan orang yang diam terhadap kemungkaran penguasa?

Menolak kemungkaran dengan hati saja disebut Nabi saw. sebagai selemah-lemah iman, apalagi bila kita diam saja, tentu akan dinilai sebagai iman yang lebih lemah lagi. Ini tidak bisa diartikan lain kecuali bahwa kita mendukung kemungkaran tersebut. Orang yang diam melihat kemungkaran digambarkan Nabi saw. seperti setan bisu. Sikap semacam ini tentu akan membuat kemungkaran semakin merajalela dan kerusakan juga akan bertambah besar. Contohnya, AIDS. Penyakit ini awalnya timbul dari kemungkaran dalam bentuk perilaku seks bebas yang dilakukan secara individual, tapi kini ia telah menjadi penyakit komunal bahkan ancaman mondial (dunia).

Hal ini persis seperti yang digambarkan oleh Rasulullah saw., bahwa masyarakat itu seperti sejumlah orang yang naik kapal. Ada yang duduk di atas, ada juga yang duduk di bawah. Mereka yang duduk di lantai bawah, bila ingin mengambil air harus naik dulu ke atas. Lalu di antara mereka yang duduk di lantai bawah itu ada yang mengambil jalan pintas dengan cara melubangi lantai dasar kapal. Alasannya, toh itu tempat duduknya, dan dia punya hak asasi untuk memperlakukan apa saja di tempat itu. Kata Nabi saw., bila orang-orang mencegahnya, maka akan selamat dia dan seluruh kapal. Namun, bila dibiarkan saja, maka akan celaka semua, karena air yang masuk dari lubang tadi tidak hanya menggenangi tempat duduknya tapi juga seluruh bagian kapal.

Apa kaitannya dengan koreksi/kontrol terhadap penguasa?

Salah satu cara menghilangkan kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa adalah dengan melakukan muhâsabah atau menyampaikan koreksi kepada penguasa itu. Cara ini sangat manjur karena koreksi disampaikan kepada pelakunya secara langsung. Namun, cara ini sekaligus mengandung risiko sangat besar karena bila penguasa itu tidak terima, dengan mudah ia akan melakukan tindakan represif. Mungkin karena risikonya yang sangat besar itu, Nabi saw. menilai muhâsabah terhadap penguasa sebagai perbuatan yang derajatnya sama dengan jihad, bahkan dianggap sebagai jihad yang paling mulia. Bila sampai terbunuh, pelakunya dianggap syahid.

Apa sebetulnya kepentingan utama melakukan muhâsabah terhadap penguasa?

Pertama: sebagai usaha untuk menghilangkan kemungkaran itu sendiri. Dengan muhâsabah, mudah-mudahan penguasa sadar akan kekeliruannya dan segera kembali ke jalan yang benar. Kedua: untuk menunjukkan kepada publik bagaimana kerusakan dari sistem sekular. Dengan langkah itu, publik terdorong untuk segera ikut bergerak mengubah sistem sekular ini menjadi sistem Islam.

Bagaimana kaitan semua itu dengan perjuangan penerapan syariah dan penegakan Khilafah?

Respon kita terhadap isu-isu aktual sekarang ini, seharusnya diletakkan dalam konteks perubahan atau taghyir tadi. Artinya, itu semua harus dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk mengubah sistem sekular ini menjadi sistem Islam. Dengan kata lain, usaha ini tidak boleh dilakukan dalam semangat islâh atau perbaikan mengingat semua problem tadi merupakan fasad yang timbul akibat tidak diterapkannya syariah di tengah masyarakat. Ibarat rumah rusak, kerusakan yang terjadi pada dinding, genting dan lantai dan di bagian lain, semua itu timbul akibat pondasinya yang memang rapuh. Memperbaiki rumah yang sudah rusak begitu rupa harus dimulai dengan memperbaiki atau membangun ulang pondasi baru yang lebih kokoh. Sekadar menutup dinding yang retak atau mengganti genteng yang bocor dan menambal lantai yang bergelombang tidak akan menyelesaikan masalah karena itu semua hanyalah akibat dari pondasi yang rapuh tadi.

Di sinilah mengapa HTI konsisten menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat di pusat maupun di daerah untuk menegakkan syariah dan Khilafah. Hanya bila Islam dijadikan sebagai landasan masyarakat dan syariah digunakan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan serta Khilafah sebagai intitusinya, maka semua kemungkaran dengan segala bentuk kerusakannya itu akan bisa diatasi secara tuntas, dan kerahmatan Islam yang dijanjikan pun bisa diujudkan. Insya Allah…

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*