HTI

Tafsir (Al Waie)

Kecelakaan Penentang Rasul & Agamanya

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ، مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ، سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ، وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ، فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ

Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut (QS al-Lahab [111]: 1-5).

Surat ini dinamakan al-Masad, diambil dari ayat terakhir; juga dinamakan surat Tabbat karena diawali dengan kata tersebut. Nama lainnya adalah surat Abî Lahab atau surat al-Lahab.1

Surat ini terdiri dari lima ayat dan termasuk Makiyyah.


Sabab an-Nuzûl

Ibnu Abbas ra. menuturkan, ketika turun firman Allah SWT: Wa andzir asyîrataka al-aqrabîn (dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat) (QS asy-Syu’ara’ [26]: 214), Nabi saw. kemudian naik ke atas Shafa, seraya berseru: Wahai Bani Fihr, Wahai Bani ’Adi, kabilah-kabilah cabang dari Qurays!” Kemudian mereka semua berkumpul hingga nyaris jika ada yang tidak bisa datang, mereka mengirim utusan untuk melihat apa yang terjadi. Abu Lahab dan orang-orang Qurays juga datang. Beliau bersabda, “Bagaimana pendapatmu seandainya aku mengabari kalian bahwa ada pasukan berkuda di lembah bukit ini yang hendak menyerang kalian; apakah kalian membenarkanku?” Mereka menjawab, “Ya. Kami tidak pernah mendapatimu kecuali senantiasa bersikap jujur.” Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian tentang adanya azab yang pedih.” Abu Lahab lalu berkata, “Celakalah engkau selama-lamanya. Apakah hanya karena ini engkau mengumpulkan kami?” Kemudian turunlah surat ini hingga akhir (HR al-Bukhari dan al-Baihaqi).

Riwayat serupa juga dikeluarkan Said bin Manshur, Muslim, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawayh, Abu Nua’im dan al-Baihaqi dari Ibnu ‘Abbas.2


Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Tabbat yadâ Abî Lahab wa tabba (Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa).

Abu Lahab adalah salah seorang paman Rasulullah saw. Nama aslinya Abdul ’Uzza bin Abdul Muthalib; kun-yah-nya Abu ’Utaibah. Sebutan Abu Lahab karena ketampanan dan kecerahan wajahnya.3

Abu Lahab adalah orang yang amat membenci dan banyak menyakiti Rasulullah saw.; menghina dan mencela beliau beserta agamanya.4 Ketika Bani Hasyim di bawah pimpinan Abu Thalib bersepakat melindungi Nabi saw.—sekalipun mereka tidak menganut agamanya—demi memenuhi dorongan fanatisme kabilah, Abu Lahab menentang saudara-saudaranya dan bersekutu dengan Qurays untuk memerangi mereka. Abu Lahab juga termasuk orang yang mendukung penulisan piagam pemboikotan Bani Hasyim agar mau menyerahkan Rasulullah saw. kepada mereka.

Diriwayatkan oleh Ahmad dari Rabiah bin ’Ibad bahwa semasa Jahiliah—ia kemudian masuk Islam—pernah melihat Rasulullah saw. di Pasar Dzi al-Majaz. Beliau berseru, “Wahai manusia, katakanlah, ’Lâ ilâha illal-Lâh,’ niscaya kalian akan beruntung.” Orang-orang pun berkumpul mengerumuni beliau. Di belakangnya ada seorang laki-laki yang wajahnya bersih dan matanya juling lalu berseru, “Dia adalah laki-laki yang keluar dari agamanya lagi pendusta.” Laki-laki itu selalu mengikuti ke mana pun dia (Rasulullah saw) pergi. Aku bertanya kepada orang-orang tentang laki-laki itu. Orang-orang menjawab, “Dia adalah pamannya, Abu Lahab.” Ini adalah salah satu contoh tipu daya Abu Lahab terhadap dakwah dan Rasulullah saw.

Ada beberapa makna kata tabba yang disampaikan oleh para mufassir. Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas dan Qatadah memaknainya sebagai khasira (merugi).5 Penafsiran yang sama juga dikemukakan Ibnu Athiyah dan al-Jazairi. Al-Baghawi memaknainya khâbat wa khasirat yadâ Abî Lahab. Tak jauh berbeda, Ibnu Katsir juga mengatakan: khasirat wa khâbat wa dhalla ‘amaluhu wa sa’yuhu (merugi, amal upayanya sia-sia).6

Penafsiran lain disampaikan asy-Syaukani yang memaknainya halakat (binasa). Az-Zamakhsyari juga menyatakan bahwa kata at-tabbâb berarti al-halâk (kebinasaan). Meskipun berbeda-beda, menurut Abu Hayyan al-Andalusi, semua makna itu berdekatan satu sama lain. Bahkan az-Zuhaili menggabungkan kedua penafsiran itu. Menurutnya, makna tersebut juga terdapat dalam QS asy-Syuara [40]: 37).7

Adapun yang dimaksudkan yadâ Abî Lahab dalam ayat ini adalah diri Abu Lahab. Digunakan kata al-yad (tangan) karena sebagian besar amal dilakukan dengan keduanya.8 Ini termasuk dalam majâz mursal: ithlâq al-juz’i wa irâdah al-kull (diungkapkan sebagian, yang dimaksudkan seluruhnya). Dalam al-Quran cukup banyak ayat yang menggunakan kata al-yad untuk menyebut keseluruhan diri manusia (Lihat, misalnya, QS an-Naba’ [78]: 40).

Dalam ayat ini kata tabba disebutkan dua kali. Menurut al-Farra, yang pertama adalah doa dan yang kedua adalah khabar. Seperti: Ahlakahul-Lâh wa qad fa’ala (Semoga Allah membinasakannya dan sungguh itu telah terjadi).9 Penjelasan yang sama juga dikemukakan Ibnu Katsir.10

Selanjutnya Allah SWT berfirman: Mâ aghnâ ’anhu mâluhu wamâ kasaba (Tidaklah berfaedah baginya harta-bendanya dan apa saja yang ia usahakan).

Dijelaskan oleh Abu Hayyan, mâluhu berarti harta yang diwarisi dari orangtuanya, sedangkan mâ kasaba berarti harta yang didapat dari usahanya; bisa juga berarti ternak dan semua yang dilahirkan beserta manfaatnya atau harta dan keuntungan dihasilkan darinya.11

Ibnu ‘Abbas dan Mujahid menafsirkan mâ kasab adalah anaknya.12 Sebab, bagi manusia, anak merupakan min kasbihi (hasil usahanya) sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

Sebaik-baik yang dimakan seseorang adalah dari hasil usahanya dan anak adalah hasil usahanya (HR Abu Dawud dari Aisyah ra).

Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa harta dan anak-anaknya tidak berguna baginya. Dari Ibnu Mas’ud, ketika Rasulullah saw. mengajak kaumnya untuk beriman, Abu Lahab berkata, “Jika apa yang disampaikan anak saudaraku benar, maka aku akan menebus diriku dari azab di neraka dengan harta dan anak-anakku.” Lalu turunlah ayat ini: mâ aghnâ ‘anhu mâluhu wa mâ kasaba.13

Adh-Dhahhak menafsirkan al-kasab di sini adalah perbuatannya yang busuk, yakni tipudayanya dalam memusuhi Rasulullah saw.14 Karena bersifat umum, maka cakupan kata ini meliputi semua yang diusahakan, baik harta maupun anak-anaknya.

Huruf di sini bisa nâfiyyah, mengabarkan bahwa semua keadaan duniawi sama sekali tidak berguna ketika telah dipastikan azab setelah kematiannya; bisa juga istifhâmiyyah, yang berfungsi li al-taqrîr wa al-inkâr (untuk mengukuhkan dan mengingkari). Artinya, di manakah kegunaan harta dan apa yang diusahakan?15,

Kemudian Allah SWT mengancam Abu Lahab dengan firman-Nya: Sayashlâ nâr[an] dzât lahab (Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak). Kata al-lahab berarti nyala api. Pengertian ini terdapat dalam QS al-Mursalat [77]: 32. Menurut asy-Syaukani, makna dzâta lahab adalah dzâta isyti’âl wa tûqadu (yang memiliki nyala dan dinyalakan), yakni Neraka Jahanam.16 Ayat ini memastikan bahwa Abu Lahab akan masuk neraka sekaligus memberitakan bahwa dia akan mati dalam keadaan kafir. Huruf sîn pada kata sayashlâ untuk at-tanfîs’ yang menunjukkan al-haqîqah wa al-qurb (hakikat dan waktu dekat). Maknanya, Allah SWT mengancamnya, dalam waktu dekat dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.

Bukan hanya Abu Lahab, istrinya pun mengalami nasib serupa. Allah SWT berfirman: wa [i]mraatutuhu hammâlah al-hathab (begitu pula istrinya, pembawa kayu bakar). Kata imra’ah di sini ma’thûf pada dhamîr sayashlâ, yakni sayashlâ huwa wa [i]mraatuhu (dia dan istrinya akan memasuki). Istrinya adalah Arwa binti Harb binti Umayyah, saudara Abu Sufyan. Nama kun-yah-nya Ummu Jamil.

Sebagaimana Abu Lahab, azab yang diterima istrinya itu juga disebabkan oleh ulah jahat yang dilakukan. Dalam ayat ini, istrinya diberitakan hammâlah al-hathab. Kata hammâlah merupakan bentuk mubâlaghah, artinya banyak membawa. Ibnu Zaid dan adh-Dhahhak mengatakan bahwa wanita itu membawa duri lalu ditebarkan di jalan yang biasa dilewati Rasulullah saw. dan Sahabatnya. Tujuannya untuk melukai mereka. Demikian riwayat dari Ibnu ‘Abbas dan Yazid bin Zaid.17 Pengertian ini juga dinyatakan ath-Thabari, az-Zamakhsyari, dan al-Jazairi. Menurut ath-Thabari, pengertian tersebut lebih tepat karena itulah makna yang paling jelas dari kalimat ini.18

Adapun Ikrimah, Qatadah, Mujahid dan as-Sudi menjelaskan bahwa istri Abu Lahab itu melakukan namîmah (adu domba), membawa omongan kesana kemari untuk menimbulkan kebencian dan permusuhan di antara manusia serta menyulut konflik layaknya menyulut api. Dalam ungkapan bahasa Arab: Fulân yahtabu ‘alâ Fulân. Penafsiran lain disampaikan Said bin Jubair. Menurutnya, yang dimaksud dengan hammâlah al-hathab adalah membawa dosa. Ini sebagaimana halnya diberitakan dalam QS al-An’anm [6]: 31.19

Surat ini pun diakhiri dengan firman-Nya: Fî jîdihâ habl min masad (yang di lehernya ada tali dari sabut). Kata fî jîdihâ berarti fî ‘unuqihâ (di lehernya).20 Adapun al-masad adalah al-hab min al-lîf (tali dari sabut).21 Makna ini yang dipilih ay-Sya’bi dan Muqatil. Menurut Ibnu Abbas dan Urwah bin Zubar, yang dimaksudkan dengannya adalah rantai dari besi di neraka, yang panjangnya tujuh puluh hasta. Adh-Dhahhak mengatakan: di dunia dari sabut dan di akhirat dari api.22


Beberapa Pelajaran

Pertama: surat ini menjadi salah satu bukti kebenaran al-Quran. Sebagaimana disitir Ibnu Kastir, para ahli ilmu menyatakan bahwa surat ini merupakan mukjizat yang nyata dan dalil yang jelas tentang kenabian. Turunnya firman Allah SWT yang mengabarkan tentang kecelakaan dan ketidakimanan mereka sama sekali tidak menggerakkan mereka untuk beriman. Tidak ada seorang pun dari keduanya yang menyatakan beriman, baik secara lahir maupun batin, sembunyi maupun terang-terangan. Ini menjadi dalil yang paling kuat tentang kebenaran kenabian.23

Kedua: balasan bagi orang-orang yang ingkar dan durhaka. Surat ini menegaskan bahwa yang didapatkan kaum kafir dan kaum durjana hanyalah kerugian dan kecelakaan. Berbagai upaya makar dan tipudaya untuk menghalangi dakwah dipastikan berakhir sia-sia. Tak hanya gagal, di akhirat kelak mereka akan mendapatkan siksaan yang dahsyat, yakni neraka. Itulah yang dialami oleh Abu Lahab dan istrinya.

Ketiga: hisab terhadap manusia dan balasannya bersifat individual. Artinya, masing-masing individu harus mempertanggung-jawabkan semua amalnya sendiri-sendiri. Abu Lahab, sekalipun berstatus sebagai paman Rasulullah saw., saudara ayahnya, ketika ingkar dan berbuat durhaka, harus menerima akibatnya. Nasib serupa juga dialami istrinya. Dia dimasukkan ke neraka bukan karena statusnya sebagai istri Abu Lahab, namun karena kekufuran dan kejahatan yang dia lakukan.

Nasib Abu Lahab ini jelas bertolak belakang dengan paman Rasulullah saw. yang lain, Hamzah ra. Paman Nabi saw. ini termasuk di antara orang yang dijamin masuk surga, bahkan disebut Rassulullah saw. sebagai sayyid al-syuhadâ’. Balasan dan status yang diperoleh Hamzah ra. tentu bukan lantaran beliau sebagai paman Nabi saw., tetapi dari hasil jerih payah dan perjuangannya semasa hidupnya (Lihat: QS al-Najm [53]: 39).

Keempat: kekayaan, keturunan dan kekuasaan sama sekali tidak berguna melindungi manusia dari azab Allah SWT akibat kekufuran dan kejahatan. Abu Lahab dan istrinya adalah salah satu contohnya. Harta memang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Harta juga bisa mendatangkan pahala dan ridha-Nya tatkala diinfakkan di jalan Allah SWT. Namun, jika harta itu mengantarkan pemegangnya kepada kesombongan dan kekufuran dan dijadikan sebagai sarana menentang Allah SWT dan Tasul-Nya, jelas tidak berguna. Lebih dari itu, pemegangnya justru celaka karenanya. Demikian pula dengan anak-anak, keluarga dan sanak famili. Mereka tidak bisa menolong atau dijadikan sebagai tebusan terhadap siksa neraka (lihat QS al-Ma’arij [70]: 11-14). Kekuasaan yang sering diandalkan juga lenyap di akhirat kelak (Lihat: QS al-Haqqah [69]: 29).

Demikian Abu Lahab dan istrinya. Mereka dijadikan sebagai contoh buruk bagi manusia sepanjang masa. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang mengikuti jejak langkah keduanya.

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Catatan kaki:

1 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 453.

2 As-Suyuhti, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 15 (Kairo: Markaz Hijr, 2003), 733.

3 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003), 236. Penjelasan yang sama juga disampaikan oleh Muqatil. Lihat al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 581.

4 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1999), 514.

5 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 15 (Kairo: Markaz lal-Hijr, 2003), 733. Pendapat Qatadah juga bisa dilihat dalam al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 675.

6 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 534; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1992), 581; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 515.

7 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), 511; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol.6 (Riyad: Dar al-‘Abikan, 1988), 455; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 526; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 456.

8 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, 8, 526. Kesimpulan yang sama juga dikemukakan al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 581.

9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 236; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 582; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 511.

10 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 514.

11 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 526,

12 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 15, 736; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 677.

13 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 515; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 582.

14 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol.6, 457; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 526.

15 Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 534; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 527; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol.6, 457.

16 As-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 512.

17 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 582.

18 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol.6, 457; al-Jazairi,

19 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 582-583.

20 Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 8, 583.

21 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 526.

22 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 583; as-Suyuhti, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 15, 377.

23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 517.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*