Uang recehan sejumlah Rp 650.364.550 diangkut dari Posko Koin Keadilan Prita di Jalan Langsat Jaksel ke Bank Indonesia untuk divalidasi, 23 Desember lalu. Bila ditambah dengan sumbangan yang bukan koin maka total uang yang terkumpul dari seluruh Indonesia itu Rp 825.728.550.
Tidak terbayang sebelumnya kalau Prita mampu mengumpulkan uang koin hampir menembus nominal satu miliar rupiah. Padahal tuntutan perdata RS Omni Internasional hanya 204 juta saja.
Siapa pencetus pengumpulan koin keadilan untuk Prita ini? Pastinya bukan kalangan ulama. Mungkin kalau kasus Prita ini terjadi di Iran, penggagas koin Prita adalah ulama.
Karena terjadi di negeri ini, maka yang mempunyai ide cemerlang ini—sehingga membuat Omni mencabut tuntutannya—adalah orang-orang biasa saja yang tinggi kepekaan sosialnya. Demikian ungkap Dr. KH Ahmad Nawawi, MA, Ketua MUI Depok, Jawa Barat. Karena, “Para ulama dipojokkan pada sisi ibadah ritual saja dan dianggap bukan wilayahnya kalau mengurusi masalah di bidang lain sehingga pada kasus Prita pun peranan ulama tidak menonjol,” ujarnya pada acara Refleksi Akhir Tahun 2009 di Depok, Sabtu (26/12/2009).
Salah Persepsi
Saat beberapa tahun lalu Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto mengajak berbagai elemen, terutama tokoh-tokoh ormas Islam, untuk menolak kemungkaran Pemerintah yang menaikan harga BBM, ia mendapatkan penolakan dari seorang tokoh yang memandang kemungkaran itu ya seputar penyimpangan dari akidah ataupun ibadah. “Ya kalau BBM ini kan soal ekonomi. Itu kan soal perut. Kalau Ahmadiyah ini kan persoalan akidah. Jadi masalah Ahmadiyah lebih penting ketimbang BBM,” ujar Ismail Yusanto menirukan jawaban tokoh tersebut saat itu.
Hal serupa dialami oleh Ketua Lajnah Fa’aliyah Muhammad Rahmat Kurnia. Saat itu ia menjadi khatib Jumat di salah satu masjid di Ciremai Ujung Kota Bogor, medio 2004. Usai shalat Jumat ia ditegur oleh sekretaris DKM masjid tersebut, “Khutbah kok ngebahas tentang banjir, ngebahas tentang malapetaka yang diakibatkan kezaliman penguasa, bukan ngebahas tentang shalat. Politik kok dibawa-bawa ke masjid, kan kotor,” kenang Rahmat menirukan sang sekretaris DKM. Dampaknya, ia dimusuhi oleh sekretaris DKM itu dan beberapa tokoh setempat. Ia pun dilarang untuk khutbah lagi, apalagi mengisi pengajian di sana.
Pengalaman senada diceritakan Ketua Lajnah Siyasiyah Harits Abu Ulya kepada penulis. Ia menjadi makmum shalat Jumat di Masjid Baitul Muttaqin daerah Sukodami Gubeng Surabaya beberapa tahun lalu. “Tidak perlu kita pusing dan serahkan saja kepada ahlinya. Ada hadits yang jelas menyebutkan antum a’lamu bi umurid dunyakum. Jadi, tidak perlu lagi berteriak menyuarakan syariah Islam, bahkan menuntut menjadi undang-undang negera. Kita ini sudah menjalankan syariah, dengan shalat, zakat, puasa, haji dan lainnya,” kata Abu Ulya menirukan khutbah sang khatib.
Lihatlah betapa sensitifnya umat saat mengetahui adanya kemungkaran berupa pelecehan terhadap Kitab Suci al-Quran oleh tentara Amerika di kamp tahanan Teluk Guantanamo di Kuba. Para pemimpin ormas dan parpol Islam membakar perasaan umat untuk sama-sama mengutuk penistaan itu. Umat ramai-ramai mengutuk para pelaku pelecehan tersebut.
Penistaan pada semester awal 2005 itu, seperti yang diberitakan majalah mingguan terbitan Amerika, Newsweek, dilakukan para penjaga kamp militer tersebut dengan cara meletakkan lembaran-lembaran Kitab Suci al-Quran di dalam toilet, dan kemudian memasukkan sebagian-sebagian ke lubang WC.
Mewakili perasaan umat Islam, orang nomor dua di salah satu parpol Islam mengatakan, “Kasus pelecehan terhadap al-Quran di Guantanamo oleh tentara AS telah memperparah luka hati umat Islam sedunia terhadap pemerintahan Presiden Bush. Ini memudahkan segenap Muslim untuk menafsirkan kejadian itu sebagai serangan langsung ke jantung Islam.”
Namun sayang, ekspresi yang sama tidak ditunjukkan parpol Islam tersebut dan parpol Islam lainnya saat ada kemungkaran yang lebih dahsyat lagi di Senayan, yakni berupa pelecehan terhadap isi al-Quran, dengan mengesahkan berbagai UU yang bertentangan dengan syariah Islam.
Adakah parpol Islam di parlemen yang menyatakan bahwa semua UU yang terkait dengan hajat hidup orang banyak itu bertentangan dengan syariah, termasuk UU Ketenagalistrikan, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Sumber Daya Air?
Kemandulan parpol Islam di dalam sistem itulah yang membuat pendiri PKS Mashadi meradang. Ia menyatakan bahwa parpol Islam ternyata hanya menjadi komplementer penguasa yang sekular. Semestinya parpol Islam menjadi garda paling depan untuk mencari solusi yang bersumber dari prinsip-prinsip ajaran Islam. Namun nyatanya, yang terjadi malah sebaliknya. Parpol Islam malah lebih mengutamakan bekerjasama dengan parpol sekular. Akhirnya, terjadi kompromi. Mau tidak mau, dengan kompromi, parpol Islam itu akan meninggalkan prinsip-prinsip akidah Islam. Alih-alih menegakkan prinsip Islam, yang muncul malah parpol Islam terbawa mainstream arus neoliberal sekular itu.
Walhasil, amar makruf nahi mungkar yang seharusnya digelorakan parpol Islam semakin redup dan tidak terdengar. Padahal itu adalah prinsip utama yang harus dipegang teguh kaum Muslim. “Tetapi sejak adanya koalisi rupanya prinsip itu dilanggar. Itu tentu merupakan tindakan yang mengkerdilkan Islam dan umat Islam,” ungkapnya kepada penulis, Rabu (30/12/2009).
Umat Islam marah saat Nabi Muhammad saw. dilecehkan oleh kartunis Denmark dengan menggambarkan beliau sebagai lelaki bersorban bom. Namun, mengapa mereka tetap antusias memilih kembali orang yang terbukti selama lima tahun telah melecehkan Nabi Muhammad saw. dengan melaksanakan kebijakan neoliberal yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran beliau?
Kebijakan mungkar tersebut di antaranya seperti melakukan privatisasi, pencabutan subsidi, dan penguasaan energi dan sumberdaya alam lainnya oleh asing.
Dampaknya, semakin hari kezaliman penguasa semakin menguat dan kemungkaran di tengah-tengah umat semakin meluas. Bahkan sampai ada anggapan bahwa Islam tidak memberikan solusi bagi kehidupan sehingga solusinya bisa diadopsi dari liberalisme atau sosialisme.
Rakyat miskin semakin bertambah. Nasib mayoritas negeri ini seperti anak ayam yang mati kelaparan di atas tumpukan padi. Negeri ini kaya dengan sumberdaya alam, tetapi hasilnya dinikmati sebesar-besarnya untuk kepentingan korporasi, terutama korporasi asing. Akibatnya, seperti yang diungkap oleh intelektual Muslim Dr. Fahmi Amhar saat memberikan orasi intelektual pada Konferensi Mahasiswa Islam Indonesia (KMII), Ahad (18/10/2009), sumberdaya alam yang besar ini nyaris tidak membawa berkah karena tidak dikelola dengan benar.
Ekonomi Syariah
Pengelolaan yang benar dan berkah tidak lain adalah dengan syariah. Namun, yang dimaksud di sini tidak sekadar syariah dalam pengertian mikro seperti pembiayaan syariah, tetapi dalam pengertian makro, yakni kebijakan publik.
Dalam syariah Islam, SDA yang jumlahnya besar tidak boleh diserahkan kepemilikannya kepada individu. Individu yang mengelolanya wajib diperlakukan sebagai pekerja (ajir) dan bukannya mudhârib (pengelola dalam suatu akad syirkah). Sebagai ajir, dia mendapat upah yang sesuai dengan tenaga profesional yang dia keluarkan, bukan sesuai dengan hasilnya, karena hasil usaha SDA hakikatnya adalah milik publik. Hutan, laut, sumberdaya mineral, energi bahkan keindahan alam, hakikatnya adalah milik publik. Hasil dari setiap eksploitasi komersialnya seharusnya dikembalikan untuk kemaslahatan umum.
Pada masa lalu, Abyadh bin Hammal pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola suatu tambang garam. Rasul saw. semula meluluskan permintaan itu, tetapi beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat. “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu).” Rasulullah saw. kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya!” (HR at-Tirmidzi).
Penarikan kembali pemberian Rasul saw. kepada Abyadh adalah illat (alasan) dari larangan untuk menguasai milik umum, termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya terlalu banyak untuk dimiliki individu.
Hal yang sama dinyatakan oleh Rasulullah saw., “Manusia berserikat dalam air, api, dan padang gembalaan.” (HR Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).
Air, api dan padang gembalaan adalah sumber penghidupan bagi suatu masyarakat, yang apabila tidak tersedia, pasti mereka tercerai berai, dan oleh karena itu ketiganya harus menjadi milik publik. “Untuk konteks modern, air adalah sumber air utama, misalnya yang mensuplai PDAM. Api adalah sumber energi. Bila energi ini berasal dari migas maka sumur migasnya adalah milik publik. Padang gembalaan dapat berarti lahan hayati yang besar seperti hutan. Jadi hutan milik publik,” jelas Fahmi di hadapan 5000 mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia itu.
Lebih lanjut, Fahmi menyatakan, berdasarkan sunnah fi’liyah Nabi Muhammad saw. tersebut maka negara akan berperan sebagai wakil masyarakat ketika mengelola SDA ini. Bagaimanapun negara harus bertindak ketika mekanisme pasar yang sebenarnya tidak lagi dapat diharapkan. Pertama: Negara harus melindungi keselamatan umat. Faktanya sulit meminta swasta memperhatikan keselamatan warga secara umum (peran sosial), sesulit membiarkan masyarakat berhadapan langsung dengan korporasi.
Kedua: Negara harus melindungi kelestarian lingkungan. Sulit swasta diminta mereklamasi bekas lokasi pertambangan (peran lingkungan).
Ketiga: Community Social Responsibility itu baru teori. Faktanya CSR ini banyak menjadi lahan kolusi antara korporasi dan pihak-pihak yang ingin mendapat uang, atas nama donasi.
Itulah solusi Islam di bidang tersebut. Jelas, pelanggaran terhadap perkara ini terkategori mungkar. Semua kemungkaran wajib dihentikan. Sayang, kemungkaran tersebut sampai saat ini tetap saja berlangsung sehingga menimbulkan kemungkaran-kemungkaran yang baru.
Saat ini kultur yang ada demikian kuat berada dalam cengkeraman dan praktik fasluddin ‘anil hayat (sekulerisme; pemisahan urusan dunia dari agama). “Akibatnya, individu yang tidak tercerahkan dengan Islam sebagai ideologinya akan terkooptasi dan akhirnya terjerembab dalam sikap abai terhadap realitas-realtas buruk pada aspek kehidupan politik mereka yang hakikatnya kontra dengan akidah dan syariahnya,” ujar Abu Ulya.
Bahkan mereka menjadi terlena ketika aspek spiritualitas terpuaskan dengan memfokuskan diri pada usaha-usaha mewujudkan kesalihan individual dengan wasilah berbagai majelis zikir, bengkel qalbu dan semisalnya. “Sehingga bisa jadi kebanyakan dari kita merasa bakal masuk surga kalau sudah memimpin Yasinan dan Tahlilan meskipun mencari uangnya dengan cara yang salah,” keluh KH Ahmad Nawawi.
Namun, perlu diingat, masih ada variabel penting lain yang menjadikan umat bersikap abai terhadap kewajiban amar makruf nahi mungkar pada kehidupan politiknya. Peran para ulama dan kelompok-kelompok dakwah Islam secara langsung atau tidak dengan paradigma pemikiran dan metode dakwahnya memberikan sumbangsih sikap abainya umat. Ini perlu kejujuran untuk membuka diri melakukan muhâsabah.
Dalam dakwah, kita menjumpai sikap dan pemikiran yang pragmatis. Contoh: kemungkaran diartikulasikan hanya pada lima perkara yang akrab di telinga, yakni konsep Mo-Limo (madat/narkoba, minum/mabuk, maling/mencuri, main/judi dan madon/melacur). Dakwah hanya fokus pada terma-terma tertentu dan tidak holistik melihat realitas kemungkaran, misalkan masalah bid’ah, tahayul dan khurafat. Yang justru kontra produktif adalah seruan kepada umat untuk membisu atas kelaliman penguasa, untuk selalu taat sekalipun penguasa zalim bahkan lebih dari zalim, yakni telah melemparkan Islam sebagai sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Substansi-substansi dakwah ini tidak ada yang salah. Namun, kita perlu jujur membuka diri bahwa kemungkaran tidak sebatas wilayah itu. Ada kemungkaran yang datangnya dari penguasa yang akan menjadi akar bagi kemungkaran lainnya. Ibarat sungai, air di dalamnya jernih atau tidak sangat bergantung pada sumber mataairnya (hulu). Begitulah posisi penguasa; kebaikan dan kemunkarannya akan memberikan dampak yang sangat luas dalam kehidupan masyarakat.
Dalam Islam seorang penguasa yang mencampakkan hukum-hukum Allah dalam kehidupan politik masyarakatnya adalah pelaku kemungkaran terbesar. Islam mewajibkan umatnya untuk mengubah kemungkaran itu, bukan diam membisu dan mengiyakan bahkan berserikat menyokong eksistensi kemungkaran tersebut [Joko Prasetyo]