Muhammad Darwisy. Demikian nama kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan. Ia lahir di Yogyakarta 1 Agustus 1868 dan meninggal, juga di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun. Kedua orang tuanya adalah KH Abu Bakar (seorang ulama dan khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (putri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga).
Sejak kecil Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Dari sinilah, Islam melekat begitu kuat dalam diri Dahlan kecil.
Ketika berusia 15 tahun (1883), ia menunaikan ibadah haji yang dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaru Dunia Islam seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaruan ini, yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbarui pemahaman keagamaan (keislaman) di sebagian besar Dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) umat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali pada al-Quran dan al-Hadis.1
Seruan untuk kembali pada syariah Islam ini tampak dalam tulisan KH Ahmad Dahlan dan pengungkapan muridnya, HR Hadjid, tentang KH Ahmad Dahlan bahwa dalam menggerakkan masyarakat untuk beramal dan berorganisasi KH Ahmad Dahlan berpegang pada prinsip: senantiasa mempertanggungjawabkan tindakan kepada Allah.2 Ini berarti bahwa setiap tindakan manusia hendaknya senantiasa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam bentuk syariah-Nya. Seruan agar terikat pada syariah Allah ini bukan hanya ditujukan kepada masyarakat awam, namun juga kepada para pengambil keputusan (penguasa). KH Ahmad Dahlan menyerukan perlunya setiap pemimpin menambah terus ilmu (Islam, red.) sehingga bijaksana dalam mengambil keputusan dan perlunya dilakukan perubahan untuk menuju ke keadaan lebih baik.3
Selain itu, cita-cita KH Ahmad Dahlan sebenarnya adalah ingin menumbuhkan masyarakat Islam. Maksud masyarakat Islam ini adalah masyarakat yang berkarakter Islam dengan pola sunnah Muhammad saw. KH Ahmad Dahlan berupaya mendidik masyarakat supaya terjadi perubahan perilaku menjadi berkarakter Islam dengan kesadaran dan ilmu, bukan dengan paksaan atau kekerasan, sebagaimana yang dijalankan Muhammad saw (Sunnah).4
Pada tahun 1912, KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di Bumi Nusantara. Ia ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Quran dan al-Hadis.
Perkumpulan Muhamadiyah ini berdiri pada tanggal 18 Nopember 1912. Sejak awal KH Ahmad Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik, tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.5 Oleh karena itu, KH Ahmad Dahlan dalam implementasi ide-idenya lebih diarahkan pada pengembangan pendidikan dan aksi sosial sebagai wujud dari kesalihan sosial. Dari sini, KH Ahmad Dahlan berkhidmat mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Selain sebagai implementasi gagasan-gagasannya, semua itu juga merupakan respon atas politik etis (politik balas budi) dalam bidang pendidikan oleh Penjajah Belanda atas Indonesia. Praktik politik etis sejatinya sangatlah diskriminatif. Selain tidak banyak sekolah yang didirikan, tidak semua pribumi memperoleh kesempatan sekolah, kecuali para putra bangsawan dan anak-anak dari etnis Cina serta Ambon.6 Selain itu, sekolah yang dibangun penjajah Belanda dibangun dekat dengan gereja mereka, bangunannya sangat megah dan mendapat subsidi sangat besar. Sebaliknya, sekolah untuk pribumi non bangsawan, sebagai program politik etis, bangunannya semi permanen dan berlantaikan tanah. Lebih jahatnya lagi, politik etis ini ternyata mempunyai maksud tersembunyi yang justru ingin melestarikan penjajahan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bousquet pada 1938, “Kenyataan yang sebenarnya, keinginan Belanda adalah tetap ingin menegakkan superioritas penjajahannya di atas dasar kebodohan pribumi.”7
Di bawah tantangan sistem pendidikan yang demikian ini, Muhammadiyah menjawabnya dengan mendirikan sekolah-sekolah yang serupa tetapi tidak sama kurikulumnya, yakni dengan perbedaan pada penekanan mata pelajaran al-Quran. Pada akhirnya, sekolah-sekolah Muhammadiyah mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. [Gus Uwik]
Catatan kaki:
1 http://www.muhammadiyah.or.id.
2 Sofaat Rahmat Selamet, S. Hum, Pemikiran dan Cita-Cita KH Ahmad Dahlan.
3 Sofaat Rahmat Selamet, S. Hum, ibid.
4 Ahmad Mansur Suryanegara, Prof.Ph.D, Filsafat Sejarah (Makalah Mata Kuliah), Jurusan SPI Fak.Adab IAIN SGD, Bandung, 2003.
5 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, 2009.
6 Soemarsono Mestoko, Pendidikan Indonesia dari Jaman Ke Jaman, 1986.
7 George McTurnan Kahin, Nationalisme and Revolution Indonesia, 1970, hlm. 39.