Khusyû’ (khusyuk) adalah bentuk mashdar (gerund) dari khasya’a–yakhsya’u–khusyû’[an]. Ibn Manzhur di dalam Lisân al-‘Arab menyatakan khasya’a-yakhsya’u-khusyû’[an]- wa ikhtasya’a-wa takhasya’a artinya melemparkan pandangan ke arah tanah dan menundukkannya serta merendahkan suara. Menurut al-Jurjani di dalam At-Ta’rifât, al-khusyû’, al-khudhû’ (ketundukan) dan at-tawâdhu’ (kerendahan hati) maknanya sama. Rawas Qal’ah Ji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’ menyatakan bahwa khusyuk adalah khada’a wa dzalla (tunduk dan rendah), melemparkan pandangan ke tanah, merendahkan suara dan anggota-anggota badan tenang. Menurut Murtadha az-Zubaidi di dalam Tâj al-Urûs, di antara makna khusyuk adalah as-sukûn (tenang) wa at-tadzallul (rendah/tunduk). Di dalam hadis Jabir ra. disebutkan bahwa Nabi saw. pernah datang dan berkata, “Siapa diantara kalian yang suka Allah berpaling darinya?” Jabir ra. berkata, “Fa khasya’nâ,” yaitu khasyînâ wa khadha’nâ (Kami pun takut dan tunduk).
Di dalam al-Quran kata khasya’a dan bentukannya dinyatakan 17 kali di 16 ayat. Di antaranya dengan makna al-khudhû’ wa adz-dzullu (tunduk dan rendah) (QS Thaha:108; al-Qamar: 7); as-sukûn wa ath-thuma’nînah (ketenangan) (QS al-Mu’minun: 2); khawf (takut) dan tawadhu’ (QS al-Baqarah: 45); serta tandus dan kering (QS Fushshilat: 39).
Al-Quran menyatakan pujian kepada orang-orang yang khusyuk secara umum baik laki-laki maupun perempuan; mereka akan mendapat ampunan dan pahala yang besar (QS al-Ahzâb: 35) yaitu surga. Secara khusus, Allah SWT menilai orang yang khusyuk di dalam shalatnya sebagai orang yang beruntung/muflihûn (QS al-Mu’minun: 2). Juga dinyatakan bahwa meminta pertolongan dengan menetapi kesabaran dan dengan shalat hanya terasa ringan bagi orang yang khusyuk (QS al-Baqarah: 45). Semua itu menunjukkan bahwa khusyuk secara umum atau secara khusus di dalam shalat itu diperintahkan. Pernyataan adanya ampunan dan pahala besar yang akan diperoleh orang yang khusyuk; pernyataan bahwa khusyuk akan menjadikan ringan untuk meminta pertolongan dengan menetapi kesabaran dan dengan shalat; dan pernyataan orang yang khusyuk di dalam shalatnya sebagai orang muflih, semua itu merupakan indikasi (qarînah) yang menunjukkan perintah khusyuk itu bersifat tegas, sehingga khusyuk secara umum atau secara khusus khusyuk di dalam shalat adalah sesuatu yang wajib.
Para ulama menjelaskan pengertian khusyuk tersebut dengan berbagai ungkapan. Menurut al-Junaid, khusyuk adalah kerendahan hati dihadapan Zat yang Mahatahu atas yang ghaib. Hasan al-Bashri mengartikan, khusyuk adalah rasa takut yang langgeng bersemayam di dalam hati. Menurut Ibn al-Qayim al-Jawziyah di dalam Madârij as-Sâlikîn, khusyuk adalah berdirinya hati dihadapan Rab dengan tunduk dan rendah”. Dan khusyuk itu adalah makna yang muncul dari pengagungan dan kecintaan kepada Allah; kerendahan dan kelemahan dihadapan Allah. Sedangkan al-Jurjani memaknai khusyuk itu sebagai keterikatan kepada kebenaran (inqiyâd li al-haqq).
Menurut Imam Ibn Taimiyah di dalam Majmû’ al-Fatâwâ, khusyuk itu mengandung dua makna: pertama, tawadhu’ dan tadzallul (kerendahan dan kehinaan dihadapan Allah). Kedua, ketenangan dan thuma’ninah. Hal itu adalah keniscayaan dari kelembutan hati dan menafikan kekerasan dan kekesatan hati. Jadi khusyuk itu adalah rasa takut kepada Allah yang ada di dalam hati dan tampak diatas aspek lahiriah.
Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hambali menjelaskan, khusyuk itu asalnya dari kehalusan dan kelembutan hati serta ketundukan, kelemahan dan ketakberdayaannya. Jika hati telah khusyuk maka akan diikuti oleh kekhusyukan seluruh lahiriah dan anggota badan karena semua itu mengikuti hati. Imam Ibn Katsir ketika menjelaskan QS al-Ahzâb: 35 menyatakan bahwa pendorong khusyuk itu adalah rasa takut kepada Allah dan pengawasan (murâqabah) Allah.
Khusyuk itulah gambaran riil dari kerohanian (ar-rûhâniyyah) karena ruh adalah kesadaran hubungan dengan Allah. Siapa saja yang menyadari hubungannya dengan Allah di dalam perkataan, perbuatan dan seluruh keadaannya, maka ia telah merepresentasikan khusyuk dan berserah diri kepada Allah dalam maknanya yang paling benar. Sebab siapa yang sadar akan hubungannya dengan Allah dalam setiap perkataan, perbuatan dan keadaannya, niscaya ia takut kepada Allah dan siksaNya, tunduk kepadaNya, terikat kepada aturan-aturanNya, melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya.
Khusyuk tersebut beredar bersama dengan rasa takut kepada Allah dan kesadaran akan pengawasanNya dan ketundukan kepadaNya. Maka dimana dan kapan saja seseorang mendengar perintah-perintah ilahi, dia sadari/pahami dan dia ketahui maksudnya, rasa takut kepada Allah yang menciptakannya dan ketamakan atas keridhaanNya menguasai dia, maka ia niscaya tunduk kepada hukum-hukumNya dan berpegang kepada perintah-perintahNya.
Khusyuk hakiki itu berpangkal dari hati yaitu keimanan. Al-Quran surat al-Baqarah: 46 menjelaskan bahwa orang yang khusyuk, yang bagi mereka meminta pertolongan dengan menetapi kesabaran dan dengan shalat terasa ringan, adalah orang yang yakin (mengimani) akan mati, menjumpai Allah dan dikembalikan kepadaNya. Kekhusyukan hati itu dengan sendirinya akan tercermin secara lahiriah dalam aktivitas, sikap dan tindak tanduk badani yang tunduk, patuh dan terikat kepada kebenaran dan aturanNya. Disinilah seperti dinukil di dalam Risâlah al-Qusyairiyyah, Muhamamd bin Ali at-Tirmidzi berkata: “orang yang khusyuk adalah orang yang padam api syahwatnya, reda gemuruh dadanya, cahaya pengagungan (kepada Allah) bersinar di dalam hatinya maka syahwatnya mati dan hatinya menjadi hidup sehingga anggota badannya menjadi khusyuk.” Para sahabat menyebutnya sebagai khusyû al-îmân. Siapa yang memiliki kekhusyukan seperti ini, sikap dan tindak tanduk khusyuk lahiriahnya akan tampak asli, wajar dan alami, dan tentu saja sifatnya ajeg. Sebaliknya jika tidak berpangkal dari kekhusyuan hati maka akan mewujud menjadi sikap khusyuk yang direkayasa, manipulatif, dibuat-buat layaknya akting dan tentu saja tidak akan ajeg. Para sahabat menyebutnya khusyû’ an-nifâq yang harus dijauhi. Ibn al-Mubarak, Ibn Abi Syaibah dan Ahmad meriwayatkan bahwa Abu Darda’ berpesan: “berlindunglah dari khusyû’ an-nifâq”. Ibn al-Qayim di dalam Madârij as-Sâlikîn menukil bahwa Hudzaifah juga berpesan; “jauhilah khusyû’ an-nifâq”. Lalu kepada Abu Darda’ dan Hudzaifah ditanyakan: “apakah khusyû’ an-nifâq itu?”. Keduanya menjawab: “an-turâ al-jasadu khâsyi’an wa al-qalbu laysa bi khâsyi’in (jasad terlihat khusyuk padahal hatinya tidak khusyuk). Beda keduanya menurut Ibn al-Qayim, khusyuk al-iman adalah khusyuknya hati karena pengagungan, pemuliaan, pengkhidmatan, rasa takut dan rasa malu, lalu hati merasa rendah dan tunduk kepada Allah seraya bergetar, takut, cinta, malu, mengakui berbagai kenikmatan Allah dan mengakui kejahatannya sendiri. Maka mau tidak mau hati pun khusyuk, dan diikuti khusyuknya anggota badan. Sedangkan khusyû’ an-nifâq itu tampak pada anggota badan sebagai sesuatu yang direkayasa, manipulatif dan kepura-puraan, sedangkan hati sendiri tidak khusyuk.
Khusyuk itu bisa dipelajari dan bisa dilatih. Untuk mewujudkan khusyuk dan memperkuatnya harus dilakukan dua hal: pertama, merealisasi apa yang mendatangkan kekhusyukan dan memperkuatnya. Yaitu sesuatu yang mendorong seseorang untuk tunduk, patuh, terikat dengan syariah, bersikap tawadhu’, lemah lembut dan manifestasi sikap khusyuk dalam semua hal. Yang paling utama tidak lain adalah keimanan, ketamakan atas keridhaan dan pahala Allah, rasa takut kepada Allah dan kengerian luar biasa terhadap siksaNya. Agar khusyuk itu menjadi karakter, maka seseorang harus melatih dirinya untuk khusyuk, tunduk dan terikat kepada syariah, husnuzhan kepada Allah, ridha dan sabar terhadap qadha’, bersyukur dan qanaah atas pemberian, tawakal dan penuh harap kepada Allah. Kedua, menghilangkan apa saja yang menyibukkan diri atau mengalihkan perhatian dari khusyuk, menolak penghalang khusyuk dan yang melemahkan khusyuk. Yaitu sesuatu yang memalingkan dan mengelabuhi sehingga kita tidak bisa merasakan kelezatan iman dan keyakinan.
Khusyuk di Dalam Shalat
Khusyuk di dalam shalat adalah wajib. Khusyuk di dalam shalat merupakan ruh dan intinya. Dan itu tidak terealisir kecuali bagi orang yang meluangkan hatinya untuk shalat, menyibukkan diri dengannya sehingga memalingkan yang lain, mengutamakannya diatas yang lain, dan menghadirkan keagungan Allah di dalamnya sehingga ia merasa lega terhadapnya dan shalat itu jadi penyenang hatinya.
Khusyuk itu bukan dalam kondisi trance (hilang kesadaran). Tetapi menghadapkan hati kepada Allah dengan penuh kesadaran, ketundukan dan kerendahan. Dan dari sisi lahiriah, hanya mengucapkan bacaan shalat dan melakukan gerakan shalat yang disyariatkan, dan mengucapkan perkataan atau melakukan perbuatan yang dibolehkan sesuai keharusan tanpa kesia-siaan atau memperbanyaknya sehingga dominan atas shalat, dimana orang yang shalat itu tetap khudhû’ (tunduk) kepada ketentuan Allah, tenang dan thuma’ninah. Memahami setiap bacaan shalat dan detil ketentuan tentang shalat mutlak diperlukan untuk bisa khusyuk di dalamnya. [Yahya Abdurrahman]