HTI

Dari Redaksi (Al Waie)

Mimpi Yang Ambruk!

Pemerintah Dubai akhirnya meresmikan menara tertinggi di dunia, yakni Burj Dubai, Minggu (3/1) malam. Peresmian menara berlantai 160 itu sebenarnya berlangsung saat kondisi ekonomi Dubai belum pulih. Akibat krisis keuangan, harga properti justru merosot tajam, lebih dari separuh dalam setahun terakhir ini. Dunia juga tersentak setelah Dubai World, perusahaan investasi bonafide Dubai, meminta memorandum atas utang kepada kreditor investor internasional tahun lalu.

Dubai World meminta penundaan pembayaran (standstill) cicilan utang 60 miliar dolar AS, selama enam bulan, dari total utang 80 miliar dolar AS. Pasar finansial di beberapa negara kembali bergetar. Pasar saham di Asia dan Eropa anjlok. Sekalipun masih dibayang-bayangi krisis keuangan itu, proyek prestisius Burj Dubai yang mulai dikerjakan sejak tahun 2004 itu pun berhasil diselesaikan.

Krisis ekonomi global tidak memberi ampun kepada Dubai sehingga menceraiberaikan rencana ekonomi Dubai. Pertumbuhan Dubai awalnya bergantung pada pemasukan minyak, yang digunakan untuk menarik dana investor asing. Tidak lama, investor asing dan pekerja asing mulai berdatangan ke Dubai. Banyak perusahaan memindahkan kantor dan pegawainya ke Dubai dan mendatangkan pemasukan untuk Dubai.

Hanya saja, pertumbuhan ini tidak bisa berkesinambungan. Pekerja terlatih yang membangun sektor jasa kebanyakan berasal dari luar negeri dengan sedikit sekali populasi Dubai yang merupakan penduduk Arab asli. Pertumbuhan Dubai terjadi karena dibentuknya daerah bebas pajak bagi warga asing dan perusahaannya. Perusahaan-perusahaan tersebut—meskipun memberikan pekerjaan dan penghasilan kepada warga Dubai—tidak mentransfer teknologi ataupun keahlian. Pertumbuhan pasar properti juga terjadi akibat praktik spekulasi yang memprediksi kenaikan harga yang terus membumbung.

Dubai pun hanya sekadar mengeksploitasi sumberdaya alam yang terbatas dan mendatangkan keahlian asing; sedikit sekali terjadi transfer teknologi untuk menggerakkan roda ekonomi. Dubai menjadi sekadar fatamorgana di padang pasir; pertumbuhan dan kelanjutan hidupnya bergantung pada keahlian pihak asing. Dubai hanya mampu memberikan jasa seperti perbankan, keuangan dan pariwisata sebagai tulang punggung ekonomi. Semua sektor ini sangat rentan terhadap kemauan dan keyakinan pihak asing. Apabila ada keraguan sedikit saja dari pihak asing, Dubai pun akan mudah jatuh.

Dubai mengakumulasi utang yang besar untuk membiayai proyek mercusuar dan gaya hidup mewah untuk menarik perhatian orang asing. Pembangunan infrastruktur pulau membuat Dubai meminjam dana besar melalui instrumen Sukuk. Dubai bahkan menekankan bahwa ia menggunakan sistem keuangan Islam dengan menjual Sukuk. Usulan untuk menggunakan Islam sebagai model ekonomi di Dubai memang sudah semestinya.

Pembangunan ekonomi dalam Islam sudah dikaji secara mendalam dalam sejarah peradaban Islam. Islam menjadikan Khilafah sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk berdakwah dan membela umat dengan proses industrialisasi. Islam juga mewajibkan Khilafah untuk memenuhi kebutuhan mendasar setiap warga negara, yaitu pangan, sandang dan perumahan. Ini tidak bisa diwujudkan kalau ekonomi dipusatkan pada sektor jasa atau pelayanan, tetapi harus ditopang dengan industri dan pertanian. Dengan demikian, negara mampu memproduksi kebutuhannya sendiri dan mengekspornya ketika berlebih. Ketergantungan pada impor dan dana asing bukanlah jalan yang baik untuk membangun dan bertahan hidup.

Ekonomi Islam bertujuan agar ekonomi memihak warga negara sendiri bukan warga asing. Untuk menarik minat industri asing, pekerja dan dana, Dubai banyak melakukan kompromi terhadap nilai-nilai Islam seperti pencampuran pria dan wanita serta penawaran minuman keras beralkohol sebagai bentuk kebutuhan. Kalaupun ada sebagian penerapan Islam, itu pun hanya sekadarnya saja. Padahal Islam sudah memiliki pola ekonomi dan keuangan Islam yang khas dan detil. Negara yang memberlakukan suatu kontrak keuangan yang bernuansa Islam tidak otomatis menjadikan negara tersebut negara Islam. Inggris adalah termasuk negara-negara yang pertama-tama menerbitkan Sukuk, tetapi tidak akan ada yang mengatakan bahwa Inggris menerapkan sistem ekonomi Islam.

Ekonomi Islam juga dibangun di atas ekonomi riil dimana proses produksi adalah komoditas dan jasa yang nyata. Di lain pihak, sektor keuangan dalam Islam tidak boleh menjadi tujuan tersendiri dan itu sebabnya membungakan uang diharamkan. Seluruh kekayaan yang terproduksi dalam Islam melalui cara industri, pertambangan, penyulingan, rekayasa industri dan penjualan memiliki nilai tambah pada setiap tahap dan dengan sendirinya menciptakan kekayaan baru bagi ekonomi.

Kebijakan keuangan dalam Islam mengatakan bahwa nilai tukar uang harus dikonversikan pada emas dan perak, bukan pada tingkat suku bunga yang selama ini dilakukan untuk mengatur inflasi dan ekonomi. Dalam masalah pertukaran komoditas dengan unit uang tertentu, Islam mengatur unit keuangan tersebut. Islam membatasi Khilafah dengan hanya membolehkan mata uang emas dan perak.

Bukti dalam Islam mengatakan bahwa emas dan perak adalah standar unit keuangan sebagai patokan nilai barang dan jasa. Ini terlihat dari perbuatan Nabi Muhammad saw. ketika beliau mengumpulkan zakat, pajak dan denda yang semuanya dinilai menurut ukuran emas. Artinya, setiap keping mata uang yang beredar harus didukung oleh emas dan perak. Tidak akan lagi ada mata uang kertas yang bisa dicetak semaunya karena Khilafah harus memastikan bahwa setiap keping mata uang harus ada padanannya pada stok emas dan perak. Dengan demikian, inflasi unit uang tidak akan terjadi.

Islam secara tegas mengharamkan transaksi keuangan murni dimana orang meminjamkan uang dengan berharap mendapatkan bunga. Semua perdagangan selalu terkait dengan aktivitas ekonomi riil yang terbentuk dari aktivitas konstruksi, pembangunan, industri, pelayanan atau produksi barang dan jasa.

Kesimpulannya, bukanlah hal yang mengejutkan ketika Dubai tidak bisa membayar obligasinya tepat waktu karena sumber dana tunai telah terpotong, yaitu dana asing yang selama ini mengalir dan digunakan untuk proyek mercusuar. Mestinya Dubai menggunakan dana dan keahlian asing tersebut untuk membangun pusat penyulingan minyak. Akan tetapi, Dubai justru terjebak dengan impian sistem keuangan, yang memang bisa mendatangkan kekayaan, tetapi tidak memberi Dubai tambahan pengetahuan dan kemampuan teknologi. Dubai sebenarnya bisa memimpin pada abad ke-21 ini dalam membangun ekonomi Islam yang sebenarnya dan menyatukan potensinya dengan seluruh umat Islam sedunia yang kaya dengan potensi alamnya. [Farid Wadjdi]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*