HTI

Ibrah (Al Waie)

Syukur

Sebagai seorang pembantu rumah tangga, Fulanah, tetangga saya, hanya bergaji tak lebih dari 250 ribu rupiah perbulan. Suaminya hanyalah pekerja serabutan. Penghasilannya pun otomatis tak karuan. Apalagi ia lebih sering menganggur daripada dapat pekerjaan. Dengan dua anak (satu duduk di SMP kelas dua dan satu lagi di SD kelas satu), dengan menggunakan model perhitungan apapun, penghasilan kedua pasangan muda ini jelas jauh dari cukup untuk hidup sebulan.

Yang menakjubkan, sepertinya tak sesaat pun Fulanah tampak berkeluh-kesah, apalagi kelihatan sering gelisah. Saat istri saya bertanya, apakah penghasilannya sebesar itu cukup, sementara suaminya pun sering menganggur? Sambil tersenyum ia menjawab, “Kalau itu mah gak usah ditanya, Bu. Siapapun akan mengatakan uang sebesar itu gak akan cukup untuk sebuah keluarga dengan dua anak seperti saya.”

“Tapi, kok, Bibi kelihatannya gak pernah ngeluh. Kelihatannya selalu riang, seperti gak pernah punya masalah dengan keuangan,” jawab istri saya.

“Alhamdulillah. Allah memang Maha Pemurah. Di gubuk kami yang kecil dan sederhana itu, kami memang tidak punya apa-apa. Namun, sampai hari ini keluarga kami tak pernah sampai kelaparan. Kami juga jarang sakit, selalu sehat. Itulah yang menjadikan kami selalu bersyukur, tak pernah mengeluh. Bagi kami, sehat adalah nikmat yang sangat luar biasa, selain nikmat iman,” jawab perempuan berkerudung itu tegas dan tulus, tak sedikit pun menyiratkan kepura-puraan.

Sebelum istri saya sempat berkata-kata, ia melanjutkan, “Bahkan kalaupun kita sering lapar atau sakit, ditambah lagi kita sering tak punya uang, kita tetap wajib bersyukur. Iya, kan, Bu? Sebab, sebetulnya kita masih punya nikmat yang lain, yakni nikmat hidup. Kita masih bisa bernafas. Nafas itu kan mahal ya, Bu. Coba saja, nafas Ibu disewa, 10 menit saja, seharga Rp 1 miliar, pasti Ibu gak akan kasih, kan? Sepuluh menit tak bernafas bisa mati, kan, Bu,” tegasnya lagi seolah menyakinkan.

Istri saya termangu. Saya pun—yang diam-diam mendengarkan obrolan istri saya dengan pembantu itu—tertegun, takjub.

*****

Saya teringat kembali sebuah tulisan menarik di internet tentang udara yang dihirup oleh setiap manusia. Penulisnya, Syaefuddin, seorang asisten dosen di FMIPA-IPB. Intinya dikatakan, bahwa sekali bernafas, umumnya manusia memerlukan 0,5 liter udara. Jika perorang manusia bernafas 20 kali permenit, berarti udara yang dibutuhkan sebanyak 10 liter. Dalam sehari, setiap orang memerlukan 14.400 liter udara. Berapa nilai tersebut bila dirupiahkan?

Sebagaimana diketahui, udara yang dihirup manusia terdiri dari beragam gas, semisal oksigen dan nitrogen. Masing-masing, 20% dan 79%, mengisi udara yang ada di sekitar manusia. Jika perbandingan oksigen dan nitrogen dalam udara yang manusia hirup sama maka setiap kali bernafas manusia membutuhkan 100 ml oksigen dan 395 ml sisanya berupa nitrogen. Artinya, dalam sehari manusia menghirup 2880 liter oksigen dan 11.376 liter nitrogen.

Jika harga oksigen yang dijual saat ini adalah Rp 25.000 perliter dan biaya nitrogen perliternya Rp 9.950 (harga nitrogen $2.75 per 2,83 liter, data nilai tukar dolar Bank Indonesia pada 9 November 2009), maka setiap harinya manusia menghirup udara sekurang-kurangnya setara dengan Rp 176.652.165. Dengan kata lain, jika manusia diminta membayar sejumlah udara yang dihirup, berarti setiap bulannya ia harus menyediakan uang sebesar Rp 5,3 miliar. Dalam setahun, manusia dapat menghabiskan dana Rp 63,6 miliar!

Sungguh, Allah Maha Pemurah. Udara yang melimpah-ruah di alam adalah bukti kasih sayang-Nya yang luar biasa. Sekumpulan gas tersebut Allah berikan kepada kita secara cuma-cuma alias gratis! Tak sepeser pun kita dipungut oleh Allah SWT untuk membayar nikmat yang luar biasa itu. Lebih dari itu, Dia-lah Tuhan Yang mengurus kita siang-malam tanpa pernah meminta upah secuil pun. Mahabenar Allah Yang berfirman (yang artinya): Katakanlah, “Siapakah yang dapat memelihara kalian pada waktu malam dan siang hari selain Zat Yang Maha Pemurah?”(TQS al-Anbiya’ [21]: 42).

Renungkanlah pula satu hal berikut. Anggaplah kita punya istana mewah dan besar, dengan seluruh fasilitasnya yang lengkap dan serba mahal; termasuk kolam renang, lapangan golf, taman yang luas dan asri seluas lapangan sepak bola; dll. Katakanlah harganya mendekati Rp 1 triliun (seribu miliar rupiah). Siapapun tentu akan senang dan bangga memilikinya.

Namun, sadarkah kita, bahwa semua itu belum apa-apa dibandingkan dengan dunia yang kita huni saat ini? Coba saja kita berandai-andai. Andai Allah SWT meminta kita untuk membayar setiap jengkal bumi yang kita pijak; membayar setiap teguk air yang kita minum; membayar setiap tetes air yang kita gunakan untuk mandi, mencuci, dll; membayar setiap liter udara yang kita hirup; membayar setiap suap makanan yang bersumber dari pepohonan dan binatang ternak yang kita makan; membayar ongkos sewa jalanan yang kita lalui; membayar cahaya matahari yang menyinari bumi setiap hari; dll. Berapa puluh, ratus, bahkan ribu miliar rupiah yang harus kita keluarkan? Siapapun tentu tak kan pernah sanggup membayarnya.

Namun, Allah memang Maha Pemurah. Semua itu Dia gratiskan untuk kita. Tak sepeser pun kita harus membayarnya.

Pertanyaannya: Sudahkah kita bersyukur atas semua itu? Sudah berapa miliar kali hamdalah kita ucapkan untuk-Nya? Sudah berapa lama kita luangkan waktu untuk beribadah dan ber-taqarrub kepada-Nya? Sudah berapa jauh kita menaati segala titah-Nya? Sudah berapa besar pengorbanan kita untuk agama-Nya? Sudah berapa banyak harta milik-Nya yang kita infakkan di jalan-Nya? Sudah berapa sering kita meluluskan permintaan-Nya? Sudah berapa siap kita mempertaruhkan jiwa di medan dakwah dan jihad di jalan-Nya?

Sadarilah, andai semua itu telah kita lakukan sepenuh-penuhnya, tetap tak akan bisa membayar seluruh karunia Allah yang tak ternilai itu. Apalagi jika kita tak melakukannya; atau melakukannya, tetapi sekadarnya saja.

‘Ala kulli hal, betapapun seseorang sering hidup susah, ia tetap tak layak berkeluh-kesah. Sebab, karunia Allah kepada manusia sesungguhnya tetap amat melimpah-ruah.

Wa mâ tawfîqî illâ billâh. [Arief B. Iskandar]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*