HTI

Kritik (Al Waie)

Catatan Jubir HTI: The Jakarta Post dan Bias Media

Menurut para pakar komunikasi, apa yang iasma pada media massa cetak, atau yang kita lihat di media elektronik, sesungguhya adalah realitas tangan kedua (second-hand reality). Maksudnya, apa yang iasma atau kita lihat dan kita dengar itu bukanlah realitas sesungguhnya melainkan formulasi atas realitas yang ada, yang dihasilkan melalui proses-proses olah jurnalistik baik dalam penulisan, pengambilan gambar, editing, sorting (penyaringan) dan sebagainya. Semua itu tentu sangat bergantung pada person-person yang melakukan tugas itu. Oleh karena itu, meski dalam teori pers harus bersikap netral, dalam kenyataannya pemberitaan media iasm selalu mengalami bias.

Seberapa bias dan kemana pembiasan itu terjadi sangatlah dipengaruhi oleh iasma dan kepentingan dari media tersebut. Semakin besar ketidakselarasan iasma dan kepentingan media terhadap obyek pemberitaan, maka kemungkinan terjadinya bias akan semakin besar. Itu terjadi pada banyak media, di antaranya ias The Jakarta Post. Lihatlah bagaimana ias ini menulis soal syariah, Khilafah dan kegiatan gerakan Islam, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Dalam kasus gugatan kelompok AKKBB terhadap UU Nomer 1 PNPS Tahun 1965 misalnya, ias The Jakarta Post (TJP) pada tanggal 2 Februari 2010 memberitakan penolakan yang dilakukan oleh HTI dengan judul, “Militant Groups Ready to Defend Controversial Law. TJP menulis, “The Islamic Defenders Front (FPI) and Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) said they would defend the controversial blasphemy law, calling the move to scrap the 45-year-old  law as an attempt to “liberalize” and destroy Islam. The two radical groups have met with Religious Affairs Minister Suryadharma Ali to lend their support  to the government to fight against the plan of human rights groups to have the law reviewed by the Constitutional Court.”

Penggunaan istilah ‘militant groups’ atau ‘radical groups’ tentu sangat tendensius karena istilah ini memberikan konotasi yang buruk; seolah HTI adalah kelompok yang anti dialog dan cenderung pada kekerasan. Lagi pula yang menolak bukan hanya HTI. Banyak ormas Islam lain seperti NU dan Muhammadiyah yang juga menolak, tetapi tak terlalu ditonjolkan.

Bukan hanya menyebut HTI sebagai kelompok iasma atau kelompok radikal, TJP juga menyebarkan kabar insinuatif yang mengatakan bahwa HTI turut serta dalam pertemuan dengan Menteri Agama. Meski ias ini hanya mengutip kuasa ias kelompok AKB, Uli Parulian, tidak tampak usaha TJP untuk melakukan pengecekan kepada HTI. TJP pada 4 Februari 2010 menulis: Uli Parulian Sihombing, a lawyer for the review petitioners, deplored the meeting between the religious minister and the militant groups. “A minister should not conduct such a meeting. The worst thing is, we are also informed that the meeting used state funds,” he told the Post.

Lebih keji lagi, TJP juga menulis kabar fitnah, bahwa demo AKKBB pada Juni 2008 lalu diserang oleh anggota HTI: In 2008, a pro-Ahmadiyah group called the National Alliance for the Freedom of Faith and Religion, was attacked by FPI and Hizbut Tahrir members, who strongly supported the government’s move to ban Ahmadiyah. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.

Untuk menambah kuatnya opini terhadap buruknya tindakan HTI dan berbagai ormas Islam yang menolak judicial review terhadap UU Nomer 1 PNPS Tahun 1965, TJP memuat sejumlah komentar dari Pembaca yang tentu saja kebanyakan mendukung kelompok AKKBB itu. Di antaranya:

Way to go, NGO! Crush the law (Hancurkan UU itu), it’s so out-of-date (Itu UU kuno).” (Jeffrey, Jakarta).

This is the problem when religious entities obtain political power (Inilah problem ketika kelompok agama mendapatkan kekuasaan politik.” (Sheldon Archer, Probolinggo, East Java).

“This is a battle between an ultra-conservative theocratic dictatorship versus a liberal democracy which upholds human rights and freedom even for the minorities (Ini adalah pertempuran antara kediktatoran teokratik ultrakonservatif versus demokrasi liberal yang membela hak asasi manusia dan kebebasan terhadap minoritas).”

++++

Bukan hanya soal judicial review, TJP juga sangat bias dalam pemberitaan mengenai Ahmadiyah. Dalam setiap tulisan dan pemberitaannya, tampak sekali pembelaannya terhadap Ahmadiyah. Di antaranya dengan memuat opini berjudul Comparing the Ahmadiyah and the Hizbut Tahrir yang ditulis Bramantyo Prijosusilo pada 16 April 2008. Bukan hanya membela Ahmadiyah, artikel ini sekaligus menohok HTI.

Dalam tulisannya, Bram berusaha membandingkan antara Ahmadiyah dan HT. Bahwa Ahmadiyah, sebagaimana HT, juga menjadikan khalifah dalam kepemimpinannya. Bedanya, dalam Ahmadiyah, khalifah adalah kepemimpinan kelompok, sedangkan dalam HT, khalifah adalah kepala iasm dari sebuah iasm yang memiliki konstitusi tersendiri, kekuatan angkatan bersenjata dan batas-batas geografis.

Selanjutnya Bram menyatakan, tentu ada banyak perbedaan fundamental antara Ahmadiyah dan HT. Perbedaan utamanya adalah HT bertujuan untuk menegakkan Khilafah. Di mana saja HT selalu aktif menyatakan bahwa demokrasi adalah pandangan hidup Barat. Sangat jelas dalam website-nya, HT menampakkan kebencian terhadap Yahudi dan Barat yang digambarkan sebagai penjahat yang mengontrol dunia, yang hanya dapat dikalahkan melalui tegaknya Khilafah. Sebaliknya, Ahmadiyah dalam websitenya memproklamirkan moto, “Love for All, Hatred for None” dan tidak bertujuan untuk meruntuhkan pemerintahan manapun dan bentuk pemerintah apapun.

Menurut Bram, Ahmadiyah dan HT dilarang di sejumlah iasm dengan iasm yang berbeda. HT dilarang di banyak iasm Timur Tengah karena hendak menggulingkan pemerintahan. Di sejumlah iasm Uni Eropa, HT dilarang karena mengembangkan pandangan Anti Semit, dan beberapa teroris ditengarai mempunyai link dengan HT. Ahmadiyah dilarang di sejumlah iasm Islam karena mereka dinilai sebagai kelompok menyimpang dari Islam, khususnya pada keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mesiah yang dijanjikan. Di Indonesia, MUI meminta agar Ahmadiyah dilarang, dan sejumlah organisasi Islam telah menyerang dan menutup masjid Ahmadiyah. Sebaliknya, HTI justru menikmati dukungan dari beberapa menteri dan sejumlah organisasi Islam.

Kemudian Bram secara provokatif mengatakan, ada satu hal yang patut dipertanyakan, jika Ahmadiyah yang menyerukan cinta kepada semua dan tanpa kebencian kepada seorang pun, sementara HT menyerukan kebencian terhadap demokrasi dan menyerukan penghancuran terhadap iasm-negara yang ada, mengapa yang terjadi di Indonesia, orang lebih khawatir terhadap Ahmadiyah ketimbang kepada HT yang berideologi anti demokrasi? Mengapa pula ada menteri dalam iasm (SBY) yang mendukung iasma yang teokratik dan anti demokrasi dengan tujuan untuk menghancurkan iasm untuk menggantikannya dengan Khalifah. Bukankah ini sebuah sikap hipokrit?

Di bagian lain, Bram juga menuduh, dengan mengutip Ed Husain (yang pernah hanya beberapa saat ikut halqah bersama HT Britain), bahwa HT banyak menggunakan metode Lenin dan Trotsky. Mungkin karena pemikiran Lenin sudah puluhan tahun dilarang di sini, maka tidak seorang pun ias menunjukkan ada pengaruh Lenin dalam metode HT. Hanya karena HT mengemas ide Lenin dalam jargon Islam, tidak berarti Leninisme tidak ada.

Baik Ahmadiyah maupun HT keduanya memang mengajak orang untuk mempercayai Islam yang menjadi versinya. Bedanya, Ahmadiyah lebih concern pada aspek spiritual, sedangkan HT pada aspek politik. Ahmadiyah akan bahagia melihat Republik Indonesia menjadi lebih damai dan sejahtera, sedangkan HT akan merasa senang bila berhasil menghancurkan Republik Indonesia dan menegakkan Khilafah. Jadi mana yang lebih berbahaya untuk iasm ini?

++++

Tulisan Bram itu jelas salah besar, sangat tendensius dan provokatif. Metode perjuangan HT murni dipetik dari metode dakwah Rasulullah saw. Tidak sedikitpun tercampuri metode di luar Islam, apalagi dari tokoh komunis seperti Lenin. Bagaimana pula ias menyimpulkan bahwa HT ingin menghancurkan Indonesia? HT, melalui penerapan syariah di bawah naungan Khilafah yang tengah diperjuangkannya itu, justru ingin menyelamatkan Indonesia. Justru sekularisme dengan Kapitalisme itulah yang sesungguhnya telah menghancurkan Indonesia sebagaimana tampak dewasa ini dengan maraknya berbagai persoalan tengah melanda negeri ini dalam seluruh aspek seperti kemiskinan, kerusakan moral, korupsi, ketidakadilan dan sebagainya.

Tulisan ngawur seperti itu tidak akan mungkin muncul di ias yang banyak dibaca oleh para ekspatriat dan diplomat asing di Jakarta kecuali bahwa pengelola ias ini memang berideologi iasm dan anti ide-ide Islam yang dikembangkan oleh HT, serta bertujuan mengembangkan kebencian pada kelompok dan ide politik Islam. Di sinilah bias itu terjadi, dan akan terus terjadi, karena itu memang telah menjadi tugas suci mereka. Waspadalah! []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*