HTI

Soal Jawab (Al Waie)

Hukum Syariah Seputar Incest

Soal:

Bagaimana hukumnya incest, atau hubungan seksual dengan lawan jenis yang masih mempunyai pertalian darah? Bagaimana pula status anak (keturunan) dan perwalian dari hasil hubungan seperti ini?

Jawab:

Incest dalam bahasa Arab juga disebut ghîsyân al-mahârim, sifâh al-qurba atau zinâ al-mahârim yaitu hubungan seksual antara orang yang diharamkan menikah di antara mereka oleh syariah, karena ias kekerabatan.1 Incest ini kadang dilakukan dengan sukarela di antara ias mereka dan ada pula yang dilakukan dengan paksaan.

Terlepas dari, apakah dilakukan dengan sukarela atau terpaksa, dampak dari incest ini adalah rusaknya makna bapak, ibu, anak, saudara, paman, bibi dan seterusnya. Karena itu, tindakan ini bukan saja haram, sebagaimana haramnya perzinaan, tetapi juga merupakan tindakan iasal yang sangat keji. Incest ini bukan saja terkena keharaman ias zina, melainkan juga keharaman hubungan seksual dengan mahram. Dengan kata lain, tindakan incest ini ias dikatakan telah melakukan dua keharaman sekaligus: keharaman zina dan keharaman menodai hubungan darah (mahram).

Pertama: fakta incest ini adalah fakta zina, karena hubungan seksual tersebut dilakukan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Menurut para fukaha’:

اَلزِّنَى اِسْمٌ لِوَطْءِ الرَّجُلِ اِمْرَأَةً فِيْ فَرْجِهَا مِنْ غَيْرِ نِكاَحٍ وَلاَ شُبْهَةِ نِكَاحِ…

Zina adalah istilah persenggamaan seorang pria dengan wanita pada kemaluan (vagina)-nya tanpa didasari ikatan pernikahan, maupun syubhat pernikahan.2

Karena itu, dalil tentang keharaman incest adalah dalil yang menyatakan tentang keharaman zina. Dengan tegas, zina telah diharamkan oleh nash al-Qur’an maupun hadis Rasulullah saw. Dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا

Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan cara (pemenuhan seksual) yang buruk (QS al-Isra’ [17]: 32).

Larangan Allah di dalam surat al-Isra’ ayat 32 ini disertai dengan qarînah jâzimah sehingga merupakan larangan yang tegas (nahy[an] jâzim[an]), sebagaimana firman Allah SWT:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing dari keduanya seratus dali deraan, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman (QS an-Nur [24]: 2).

Allah memberikan sanksi kepada pelaku zina, baik laki-laki maupun perempuan, dengan cambukan (jild) jika mereka ghair muhshan (belum menikah), dan di-rajam (dilempari dengan batu hingga mati) jika mereka muhshan (sudah menikah).3

Kedua: larangan menikahi mahram, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT:

وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا، حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Janganlah kalian mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali pada masa yang telah lalu. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji, dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak perempuan kalian; saudara-saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian; saudara-saudara perempuan ibu kalian; anak-anak perempuan dari saudara-saudara laki-laki kalian; anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan kalian; ibu-ibumu yang menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isteri kalian (mertua); anak-anak isteri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian mengawininya; (dan diharamkan bagi kalian) istri-istri anak kandung kalian (menantu); dan mengumpulkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu (Jahiliah). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS an-Nisa’ [04]: 22-23).

Selain itu, Allah SWT juga berfirman:

الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ

Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kalian, (menganggap istrinya sebagai ibunya), padahal tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain adalah wanita yang melahirkan mereka dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (QS al-Mujadilah [58]: 2).

Jika Allah mengharamkan zhihâr, yaitu menganggap istri sama seperti ibu, padahal itu hanyalah anggapan, maka apa yang lebih dari sekadar anggapan, yaitu berhubungan badan dengan ibunya, jelas lebih diharamkan lagi. Kesimpulan ini merupakan bentuk penarikan ias dari dalâlah iltizâm, yaitu tanbîh al-adnâ alâ al-a’lâ, atau min bâbi ias.4

Dengan demikian, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang status keharamnya incest ini. Hanya saja, tetap harus dibedakan, antara orang yang melakukan incest suka sama suka, dengan terpaksa. Bagi yang melakukannya suka sama suka, secara qath’I jelas haram. Adapun bagi yang melakukannya karena terpaksa, misalnya, anak perempuan dipaksa bapaknya, atau saudara lelakinya dengan disertai ancaman fisik dan kekerasan, maka status perempuan yang menjadi korban incest tersebut ias diberlakukan kepadanya hadis Nabi saw.:

إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْحَطَأَ وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah telah meninggalkan (untuk tidak mencatat) dari umatku: kekhilafan, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepada mereka (HR Ibn Hibban).

Dengan demikian, status pelaku incest yang terpaksa atau dipaksa ini, meski tetap haram, keharamannya diabaikan oleh Allah SWT karena dipaksa.

Adapun status anak hasil incest dan perwaliannya maka statusnya sama dengan status anak zina. Nasab anak zina tidak ias dinisbatkan kepada pasangan zinanya, karena status nasab dikembalikan pada pernikahan, sebagaimana sabda Nabi saw.:

Anak (statusnya) mengikuti tempat tidur (pernikahan), sementara orang yang berzina berhak mendapatkan batu (dirajam sampai mati) (HR al-Bukhari dan Muslim).

Karena itu, baik Imam Hanafi maupun Syafii, sepakat bahwa nasab anak zina tidak dinisbatkan kepada pasangan ibunya, tetapi dinisbatkan kepada ibunya.5 Demikian juga anak tersebut tidak ias mewarisi harta pasangan zina ibunya, dan garis bapak biologisnya, tetapi boleh mewarisi dan diwarisi ibunya, dan ahli waris yang segaris dengannya.6 Adapun hak perwaliannya, karena ibu dan garis dari ibu tidak ias menjadi wali, maka status perwaliannya ias disandarkan kepada iasm (wilayat al-hakim).7 Wallâhu a’lam. []

Catatan kaki:

1 Munir al-Ba’albakki, Kamus al-Maurid: Injelizi-’Arabi, ‘Arabi-Injelizi; madah: incest.

2 Lihat: al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, surat an-Nur [24]: 2.

3 Hr. Muslim, Ahmad, ad-Darimi, al-Baihaqi, an-Nasai, dll.

4 Lihat, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, Muktamadah, 2005, III/189.

5 Imam as-Syafi’I, Ahkâm al-Qur’ân, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, 1991, II/189-190; Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtâr, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, V/117.

6 Jamaluddin az-Zaila’I, Tabyîn al-Haqâ’iq wa Syarh Kanz ad-Daqâ’iq, al-Marja’ al-Akbar.

7 Al-Kasani, Badâ’I ash-Shanâ’I, Dar al-Kitab al-’Arabi, Beirut, 1996, II/466.

One comment

  1. jazakallah tulisannya dpt mjwb pertanyaan saya. smg mjd amal shalih bg yang memaparkan lewat tulisan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*