Fenomena anak jalanan dari hari ke hari makin menjadi-jadi. Hampir di setiap lampu merah, dengan sangat mudah kita jumpai sejumlah anak yang mengais recehan di jalanan; entah sebagai pengamen, pedagang asongan atau penjaja koran. Padahal kebanyak mereka masih usia sekolah. Tak sedikit dari mereka yang diekpsloitasi oleh pihak tertentu. Lebih miris lagi, sebagian dari mereka terjerat narkoba dan obat-obatan, pemaksaan, sasaran kejahatan dan bahkan terjerumus dalam tindak pidana.
Fenomena anak kurang gizi juga masih saja banyak terjadi. Perilaku seks bebas, penyalahgunaan narkoba, kekerasan dan tindak pidana lainnya juga muncul di sana sini dilakukan atau melibatkan anak-anak usia sekolah. Apa yang ditunjukkan oleh fenomena-fenomena seperti itu? Bagaimana peran institusi keluarga dan seperti apa peran serta tanggung jawab negara dalam masalah itu? Bagaimana pula mengatasi fenomena itu dan mencegahnya dikemudian hari? Untuk membincangkan seputar masalah itu redaksi al-wa’ie mewawancarai Ustadzah Febrianti Abassuni, Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI). Berikut petikannya.
Bagaimana Ibu memandang fenomena anak jalanan, tren peningkatan seks bebas, penyalahgunaan narkoba dan tindak pidana lain yang dilakukan oleh anak-anak di Indonesia?
Fenomena-fenomena itu merupakan bukti semakin besarnya disfungsi keluarga di Indonesia. Disfungsi keluarga ini terjadi karena disfungsi negara dalam mengatur urusan rakyat. Ini tentu sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia, karenanya harus segera dihilangkan dengan cara terbaik, yaitu sesuai tuntunan Allah yang Mahatahu lagi Mahabijaksana.
Bisakah dijelaskan, apa yang dimaksud dengan disfungsi keluarga yang menimbulkan masalah-masalah anak itu?
Keluarga tentu tidak hanya memiliki fungsi reproduksi untuk melahirkan anak untuk melanjutkan generasi, tetapi juga memiliki fungsi perlindungan, kasih sayang, pemenuhan kebutuhan fisik, pendidikan atau budaya dan pengaruh terhadap lingkungan. Apabila keluarga menjalankan semua fungsinya dengan baik, anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik secara fisik, tidak mengalami masalah mental karena kebutuhannya akan rasa aman dan kasih sayang terpenuhi, dan berkepribadian yang baik karena mendapatkan pendidikan yang baik pula. Demikian pula keluarga yang baik itu, apabila menjalankan fungsi mempengaruhi lingkungannya, akan berdampak bagi terciptanya lingkungan di sekitar rumah yang kondusif bagi tumbuh kembang anak.
Anak jalanan ada karena keluarga tidak mampu mengekspresikan kasih sayang kepada anak dan mendidik anak dengan baik sehingga anak lari dari rumah atau diusir oleh keluarganya. Ada juga yang menjadi anak jalanan karena orangtuanya tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok anak berupa makanan, pakaian dan biaya pendidikannya sehingga orangtua tak kuasa mencegah anaknya ikut mencari nafkah, atau bahkan dieksploitasi pihak lain seperti menjadi pengemis, dan lain-lain.
Adapun seks bebas, penyalahgunaan narkoba dan tindak pidana lain oleh anak umumnya terjadi karena anak kurang mendapatkan kasih sayang, perhatian, dan pendidikan, terutama pendidikan agama yang baik dari keluarganya. Jelaslah bahwa masalah-masalah anak itu muncul ketika keluarga tidak mampu menjalankan fungsinya. Itulah yang saya maksud dengan disfungsi keluarga yang menimbulkan masalah-masalah anak.
Masalah anak di Indonesia terjadi karena disfungsi keluarga. Karenanya, pendekatan yang tepat untuk menyelesaikannya adalah dengan mengembalikan fungsi-fungsi keluarga. Dalam kehidupan keluarga yang baiklah anak bisa mendapatkan semua kebutuhannya.
Pendekatan lain yang langsung ke anak, tidak melalui fungsi keluarga, misalnya dengan menyediakan rumah singgah bagi anak jalanan atau panti bagi anak-anak terlantar, harusnya hanya menjadi langkah pendukung atau langkah sementara dalam penyelesaian masalah, bukan jadi jalan utama dalam penyelesaian masalah.
Lalu bagaimana dengan disfungsi negara?
Sederhananya begini. Buat apa sih ada negara? Buat apa ada pemimpin negara? Untuk memelihara dan mengatur urusan rakyatnya, kan? Dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim kita temukan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Imam (kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat); ia akan diminta pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.”
Nah, kalau ada urusan-urusan rakyat atau kepentingan-kepentingan masyarakat tidak terurus, terbengkalai atau di dalamnya terjadi banyak masalah, itu artinya fungsi negara sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyat tidak berjalan dengan baik; dengan kata lain negara tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.
Apa kaitan disfungsi negara dengan disfungsi keluarga yang memunculkan berbagai persoalan anak itu?
Urusan terkait dengan keluarga adalah bagian dari urusan rakyat. Kalau ada banyak keluarga yang tidak mampu menjalankan fungsinya, berarti ada urusan rakyat yang tidak beres. Tentu itu menunjukkan ada fungsi negara yang tidak berjalan dengan baik atau negara tidak menjalankan fungsinya terkait dengan keluarga. Ini berarti negara mengalami disfungsi.
Lihat saja fakta banyak kepala keluarga yang tidak bisa menafkahi keluarganya. Ini terjadi karena negara tidak menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyat. Banyak orangtua tidak bisa mendidik anak dengan baik karena mereka juga tidak terdidik dengan baik. Hal itu terjadi karena negara tidak menyediakan pendidikan bagi rakyatnya secara maksimal.
Bagaimana sebenarnya peran negara dalam mencegah disfungsi keluarga?
Secara garis besar ada dua peran: (1) dalam mendukung ekonomi keluarga; (2) dalam mendukung fungsi pendidikan keluarga.
Pertama: dalam mendukung ekonomi keluarga. Negara harus mengelola ekonominya dengan ekonomi Islam. Dengan ekonomi Islam itu negara mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi setiap kepala keluarga. Dengan itu mereka mampu mencukupi kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier bagi keluarga mereka. Jika kepala keluarga cacat atau sakit dan tak mampu menafkahi keluarganya, sementara ahli waris atau kerabat lain pun tidak mampu, maka negara secara langsung mencukupi kebutuhan pokok keluarga tersebut.
Dengan ekonomi Islam, negara pun mampu memberikan pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis dan berkualitas kepada tiap rakyatnya sehingga beban ekonomi keluarga tidaklah sebesar beban ekonomi keluarga di Indonesia saat ini, karena harus menanggung biaya pendidikan dan kesehatan.
Dalam kondisi kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi, angka kriminalitas akan rendah, ditambah kemampuan negara menggaji aparat keamanan yang memberikan layanan penjagaan keamanan secara gratis kepada seluruh rakyat. Dengan itu tentu keluarga tidak akan terlalu berat menjalankan fungsi perlindungannya terhadap anak seperti yang terjadi sekarang.
Kedua: mendukung fungsi pendidikan keluarga. Ayah dan ibu akan bisa mendidik anak dengan baik jika mereka memahami dan menjalankan syariah yang berkaitan dengan peran ayah dan ibu, memahami pendidikan sesuai dengan perkembangan anak dan terampil dalam berkomunikasi dengan anak. Negara memberikan pemahaman dan membentuk ketaatan untuk menjalankan syariah secara umum, termasuk yang terkait dengan peran ayah dan ibu, melalui pendidikan formal di sekolah kepada setiap calon ayah dan ibu. Ayah dan ibu yang taat syariah akan terpelihara nalurinya untuk melindungi dan mencurahkan kasih-sayangnya kepada anak dan menjadi contoh yang baik bagi anaknya. Adapun penguasaan pendidikan sesuai perkembangan anak dan keterampilan komunikasi kepada anak bisa diberikan oleh negara kepada rakyat melaui jalur pendidikan formal kejuruan atau pelatihan-pelatihan gratis kepada masyarakat.
Pada saat ada keluarga yang lemah dalam pendidikan anak, pendidikan anak bisa dialihkan sementara kepada keluarga lain yang ditunjuk oleh negara, sambil memperbaiki kemampuan orangtuanya mendidik anak.
Bagaimana negara bisa menjalankan perannya, seperti yang dijelaskan tadi, tanpa menghilangkan privasi kehidupan keluarga?
Rasulullah saw. mencontohkan untuk menjadikan masjid sebagai pusat kehidupan dalam masyarakat Islam, dan menjadikan imam dalam shalat juga menjadi pemimpin dalam kehidupan di luar shalat. Berdasarkan ini, Khalifah (Kepala Negara Islam) bisa mengarahkan terbentuknya struktur sosial di tengah-tengah masyarakat di bawah pimpinan seorang imam masjid, yang merupakan orang yang ditunjuk dan digaji oleh negara. Misalnya saja dibangun dan ditunjuk satu imam masjid untuk tiap 40 keluarga, baik keluarga Muslim maupun non-Muslim. Imam masjid bertanggung jawab untuk memimpin shalat warga; membina mereka melalui kajian-kajian di masjid; dan bergaul dalam kehidupan sehari-hari warga sehingga ia bisa mengetahui kondisi riil tiap keluarga yang ia pimpin. Ia mengunjungi warganya yang sakit, mengunjungi warganya yang tidak ikut shalat berjamaah atau kegiatan di masjid yang lain untuk mengetahui apakah warganya menghadapi masalah. Ia menjadi tempat bertanya dan mendapatkan nasihat dari warganya. Ia datang berkunjung ketika ada kelahiran atau kematian warga, dan aktif terlibat dengan kegiatan bersama warga di masjid. Melalui pergaulan yang dekat dengan warga, ia tahu keluarga mana yang layak mendapat zakat, keluarga mana yang butuh modal pengembangan usaha, butuh bimbingan dalam mendidik anak, atau informasi-informasi lain yang diperlukan bagi negara untuk bisa mendukung keluarga menjalankan fungsi-fungsinya. Melalui imam masjid inilah negara bisa mengurusi urusan rakyat, tanpa rakyat merasa dimata-matai, atau diganggu privasinya oleh negara. Rakyat justru merasakan hubungan harmonis dengan negara, merasa dilindungi dan dilayani oleh negara, melalui aparat negara yang hidup di tengah-tengah mereka.
Bisakah kita hidup bermasyarakat seperti yang Ibu gambarkan dalam kehidupan bernegara, seperti yang kita jalani sekarang?
Tentu tidak. Walaupun secara formal dikatakan negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, pada faktanya suara dominan di negeri ini masih alergi menjadikan syariah sebagai sumber perundang-undangan. Bagaimana mungkin bisa diterima desain struktur sosial berpusat di masjid seperti yang saya gambarkan?
Kemudian walaupun negara saat ini tidak menghilangkan sama sekali pendidikan agama dalam kurikulum sekolah, jamnya dibuat menjadi sangat terbatas, dan ada suara dominan yang mengatakan bahwa pendidikan agama adalah tanggung jawab keluarga dan masyarakat, bukan negara. Bagaimana bisa mengatasi masalah lemahnya keluarga dalam pendidikan kalau negara tidak merasa bertanggung jawab dalam penanaman syariah kepada rakyat?
Kalau begitu, tidak ada pilihan lain kecuali hidup dalam naungan Negara Khilafah?
Benar sekali. Kita tahu, Muslim wajib masuk Islam secara kâffah. Karenanya, kehidupan bernegara juga harus berdasar syariah. Dengan demikian, pelaksanaan syariah dalam kehidupan masyarakat, keluarga dan individu menjadi jauh lebih mudah. Keluarga-keluarga non-Muslim pun dapat menjalankan fungsi-fungsi keluarganya dengan baik dalam naungan Khilafah. Mereka tetap bisa mengajarkan nilai-nilai ajaran agama mereka kepada anak-anak mereka di rumah-rumah mereka atau tempat-tempat peribadatan mereka. Secara ekonomi mereka sama sejahteranya dengan keluarga Muslim. Lalu apa lagi yang menghalangi untuk hidup dalam naungan negara Khilafah? Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []