HTI

Ta'rifat (Al Waie)

Penjaminan

Masalah penjaminan dijelaskan oleh syariah dan dibahas oleh para fukaha dengan istilah adh-dhamân.

Adh-dhamân adalah bentuk mashdar dari dhamina–yadhmanu–dhamn[an] wa dhamân[an]. Secara bahasa adh-dhamân artinya al-kafâlah (pertanggungan) atau al-iltizâm (pertanggungan jawab). Menurut ’Allamah Abul Hasan al-Mawardi dalam al-Hâwî al-Kabîr, adh-dhamân dibentuk dari dhammu dzimmah ilâ dzimmah (memasukkan jaminan pada jaminan pihak lain). Zakaria al-Anshari di dalam Asnâ al-Mathâlib menjelaskan bahwa akad yang terjadi untuk itu disebut adh-dhamân. Orang yang berkomitmen menjamin disebut dhâmin, dhamîn, hamîl, za’îm, kâfil, kafîl, shabîr dan qabîl, yang secara bahasa artinya sama: penjamin. Al-Mawardi berkata, “Hanya saja dalam ’urf (tradisi) yang berlaku, adh-dhamîn digunakan dalam harta, al-hamîl dalam diyat, az- za’îm dalam harta yang besar, al-kâfil dalam jiwa (diri) dan ash- shabîr dalam semuanya.

Secara syar’I, menurut Imam al-Ghazali di dalam Al-Wasîth, adh-dhamân adalah tadhmîn ad-dayn fî dzimmah adh-dhâmin hattâ yashîra muthâlaban bihi ma’a al-ashîl (memasukkan hutang dalam tanggung jawab penjamin hingga ia menjadi dituntut dengan kewajiban hutang itu bersama dengan aslinya). Zakaria al-Anshari di dalam Asnâ al-Mathâlib menyatakan bahwa adh-dhamân adalah iltizâm haqqin tsâbitin fî dzimmah al-ghayr (komitmen untuk bertanggung jawab atas hak yang terbukti ada dalam tanggungan pihak lain).

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam an-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm dan Ibn Qudamah di dalam Al-Mughnî, al-Kâfi fî Fiqh Ibn Hanbal dan asy-Syarh al-Kabîr menjelaskan bahwa adh-dhamân adalah dhammu dzimmah adh-dhâmin ilâ dzimmah al-madhmûn ’anhu fî iltizâm al-haqq (memasukkan jaminan penjamin pada tanggungan pihak yang dijamin dalam kewajiban menunaikan hak). Hak yang dimaksud di sini adalah hak-hak inancial yang wajib ditunaikan.

Ketentuan adh-Dhamân

Hadis berikut menjelaskan tentang adh-dhamân itu sekaligus menjadi dalil kebolehannya. Jabir bin Abdullah ra. Berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا فَقَالَ هَلْ عَلَى صَاحِبِكُمْ مِنْ دَيْنٍ؟ فَقَالُوْا: نَعَمْ دِيْنَارَانِ، فَقَالَ: صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ، فَقَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ: هُمَا عَلَيَّ يَا رّسُوْلَ اللهِ، قَالَ فَصَلَّى عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Kepada Nabi saw. pernah didatangkan sesosok jenazah agar beliau menshalatkannya. Lalu beliau bertanya, “Apakah ia punya hutang?” Para Sahabat berkata, “Benar, dua dinar.” Beliau bersabda, “Shalatkan teman kalian!” Kemudian Abu Qatadah berkata, “Keduanya (dua dinar itu) menjadi kewajibanku, ya Rasulullah.” Nabi saw. pun lalu menshalatkannya (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i dan al-Hakim).

Imam al-Bukhari meriwayatkan hadis ini dari Salamah bin al-Akwa’ dan disebutkan bahwa utangnya tiga dinar. Di dalam riwayat Ibn Majah dari Abu Qatadah, ia ketika itu berkata, “Wa anâ attakaffalu bihi (Aku yang menanggungnya).” Di dalam riwayat al-Hakim dari Jabir di atas terdapat tambahan sesudahnya: Nabi bersabda kepada Abu Qatadah, “Keduanya menjadi kewajibanmu dan di dalam hartamu sedangkan mayit tersebut terbebas?” Abu Qatadah menjawab, “Benar.” Lalu Nabi saw. menshalatkannya. Saat bertemu Abu Qatadah Rasul saw. bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh dua dinar?” Akhirnya Abu Qatadah berkata, “Aku telah membayar keduanya, ya Rasulullah.” Nabi saw. bersabda, “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.” (HR al-Hakim).

Di dalam riwayat ad-Daraquthni dari Abu Said al-Khudzri dituturkan bahwa jenazah itu punya utang dua dinar lalu Ali saat itu berkata, “Keduanya kewajibanku ya Rasulullah, dan jenazah itu bebas dari keduanya”. Beliau pun menshalatkannya. Lalu beliau bersabda kepada Ali, “Semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik dan semoga Allah membebaskan tanggunganmu sebagaimana engkau telah membebaskan tanggungan saudaramu.” (HR ad-Daraquthni).

Dalam praktik adh-dhamân hadis di atas jelas bahwa ada penjamin (adh-dhâmin), yaitu Abu Qatadah dan Ali bin Abi Thalib; pihak yang dijamin (al-madhmûn ‘anhu), yaitu si mayit; yang mendapat jaminan (al-madhmûn lahu) yaitu kreditor si mayit; sesuatu yang dijamin (al-madhmûn bihi) yaitu kewajiban membayar utang si mayit sebesar dua atau tiga dinar. Juga jelas adanya proses memasukkan jaminan penjamin pada tanggungan pihak yang dijamin dalam hal kewajiban menunaikan hak finansial kepada pihak yang menerima jaminan.

Dari hadis ini para ulama dan fukaha menyimpulkan bahwa di dalam adh-dhamân harus ada:

1. sesuatu yang dijamin (al-madhmûn bihi);

2. penjamin (adh-dhâmin);

3. pihak yang dijamin (al-madhmûn ’anhu);

4. pihak yang menerima jaminan (al-madhmûn lahu).

Juga jelas bahwa disitu harus ada dhammu dzimmah ilâ dzimmah (memasukkan jaminan kepada jaminan pihak lain). Jelas pula bahwa penjaminan itu dilakukan tanpa kompensasi.

Hanya saja dalam adh-dhamân itu tidak disyaratkan pihak yang dijamin dan yang menerima jaminan harus jelas, melainkan keduanya boleh majhûl (tidak jelas). Hal itu karena di dalam hadis di atas, jelas Rasul menyetujui adh-dhamân yang dilakukan oleh Abu Qatadah dan Ali bin Abi Thalib; sementara Ali dan Abu Qatadah, juga Rasul saw, tidak menanyakan siapa jatidiri jenazah itu dan siapa yang memberinya utang. Begitu pula tampak bahwa keridhaan pihak yang dijamin dan yang menerima jaminan tidak menjadi penentu, bahkan adh-dhamân tetap sah tanpa keridhaan keduanya.

Adapun adh-dhâmin (penjamin) haruslah orang yang secara syar’i sah melakukan tasharruf. Kerelaannya menjadi adh-dhâmin merupakan syarat. Dia tidak boleh dipaksa menjadi adh-dhâmin. Penjaminan itu merupakan kebaikan atau tabarru’ (donasi) darinya kepada pihak yang dijamin. Dalam hal ini penjamin (adh-dhâmin) tidak boleh menerima kompensasi, seperti yang jelas dalam hadits diatas. Disamping, penjaminan itu merupakan tabarru’, bukan akad mu’âwadhah yaitu akad pertukaran barang dan atau jasa sehingga dibenarkan ada kompensasi di dalamnya.

Ada satu poin penting yang menentukan apakah secara syar’i adh-dhamân itu ada atau tidak. Yaitu, sehingga adh-dhamân ada maka wajib ada dhammu dzimmah ilâ dzimmah (memasukkan jaminan kepada jaminan pihak lain), yakni dimasukkannya jaminan penjamin (adh-dhâmin) kepada tanggungan pihak yang dijamin (al-madhmûn ‘anhu). Jika al-madhmûn ‘anhu tidak memiliki tanggungan maka jelas tidak ada pemasukan jaminan sehingga tidak akan ada adh-dhamân (penjaminan). Tanggungan (adz-dzimmah) itu ada jika ada hak atau tanggungan yang wajib ditunaikan atau yang nantinya jadi wajib ditunaikan oleh al-madhmûn ‘anhu kepada pihak yang menerima jaminan (al-madhmûn lahu). Tanggungan atau hak yang dimaksud adalah tanggungan atau hak finansial. Jadi adh-dhamân itu akan ada pada dua keadaan. Pertama: jika ada hak yang wajib ditunaikan dan terbukti ada dalam tanggungan (haqqun wâjibun tsâbitun fî adz-dzimmah) pihak yang dijamin (al-madhmûn ‘anhu). Contohnya adalah hutang si mayit itu. Hutang itu jelas merupakan hak atau tanggungan finansial yang wajib ditunaikan dan terbukti ada dalam tanggungan si mayit.

Kedua: jika ada hak atau tanggungan yang nantinya jadi wajib ditunaikan dan terbukti ada dalam tanggungan (haqqun yaûlu ilâ al-wâjib wa tsâbit fî adz-dzimmah) pihak yang dijamin (al-madhmûn ‘anhu). Contohnya, jika A berkata kepada seorang wanita, “Menikahlah dan mahar Anda saya jamin.” Saat itu, kewajiban mahar itu belum ada. Namun, nanti saat wanita itu menikah maka jelas mahar untuk si wanita itu akan menjadi hak atau tanggungan yang wajib ditunaikan dan terbukti ada dalam tanggungan mempelai pria. Dalam konteks ini A jadi penjamin, mempelai pria jadi pihak yang dijamin dan wanita itu jadi pihak yang mendapat jaminan. Contoh lain, A berkata kepada B, “Juallah sepedamu secara kredit kepada C, saya yang menjaminnya.”

Asuransi pada hakikatnya bisa dilihat sebagai salah satu bentuk adh-dhamân. Dari sisi ini asuransi harus memenuhi ketentuan adh-dhamân itu hingga secara syar’i bisa dinilai legal dan absah.

Namun jika ditelaah praktik asuransi saat ini (termasuk mungkin asuransi syariah) tampak tidak memenuhi ketentuan adh-dhamân itu. Sebab dalam praktik asuransi, tertanggung tidak memiliki kewajiban atau tanggungan finansial (adz-dzimmah) yang sudah wajib atau nantinya wajib ia tunaikan kepada seorang pun. Jadi tidak ada adz-dzimmah, sehingga tidak akan ada dhammu adz-dzimmah ilâ adz-dzimmah. Artinya tidak ada adh-dhamân. Dalam ketentuan adh-dhamân, kewajiban finansial itulah adalah al-madhmûn (sesuatu yang dijamin), sementara dalam praktik asuransi hal itu tidak ada, sehingga pihak yang dijamin (al-madhmûn ‘anhu) pun tidak ada.

Jadi praktik asuransi tidak memenuhi unsur-unsur yang harus ada sehingga sah secara syar’i sebagai adh-dhamân. Maka dilihat dari sisi adh-dhamân ini, asuransi secara syar’i batil.

Ditambah lagi, dalam asuransi ada kompensasi yang diterima oleh penanggung. Hal itu jelas menyalahi ketentuan syariah tentang adh-dhamân. Karena semua itu, praktik asuransi itu hukumnya jadi haram. WaLlâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*