HTI

Afkar (Al Waie)

Perdagangan Bebas Menurut Islam

Pengokohan Dominasi Kaum Neolibertarian

Di tengah kondisi perekonomian nasional yang masih karut-marut, Pemerintah tetap ngotot memberlakukan China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) sejak tanggal 1 Januari 2010 lalu. Seperti halnya kebijakan-kebijakan sebelumnya—semacam kebijakan panghapusan subsidi, pengetatan fiskal, reformasi perpajakan, dan privatisasi BUMN—kebijakan pasar bebas tidak lepas dari pro dan kontra. Sebagian orang, terutama kaum neolibertarian, percaya sepenuhnya bahwa pasar bebas berhubungan langsung dengan penciptaan kesejahteraan rakyat.

Perdagangan Bebas dalam Pandangan Islam

Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, liberalisasi perdagangan adalah alat negara-negara maju untuk membuka pasar untuk produk-produk manufaktur dan investasi negara-negara maju di negara-negara berkembang. Kebijakan ini tidak hanya memperlemah perekonomian dalam negeri, akibat tidak bisa bersaingnya produk-produk dalam negeri dengan produk-produk impor, tetapi juga akan melarikan kekayaan negara-negara berkembang ke negara-negara maju (efek dependensia). Negara-negara berkembang akan terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara berkembang semakin sulit membangun fondasi ekonomi yang tangguh, akibat ketergantungan yang besar terhadap negara-negara industri. Dengan demikian, negara berkembang tidak akan pernah bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.

Atas dasar itu, seorang Muslim haram menerima konsep pasar bebas yang dipropagandakan oleh Amerika, Cina, dan negara-negara industri Barat. Pasalnya, kebijakan pasar bebas membuka jalan selebar-lebarnya bagi negara-negara kufur untuk menguasai dan mengontrol perekonomian negeri-negeri Islam. Padahal hal tersebut secara tegas dilarang dalam Islam sebagaimana firman Allah SWT:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا

Allah tidak memperkenankan orang-orang kafir menguasai orang-orang Mukmin (QS an-Nisa’ [4]: 141).

Perdagangan Luar Negeri Khilafah

Dalam pandangan ekonomi politik Islam, perdagangan luar negeri dikontrol sepenuhnya oleh negara dan ditujukan untuk memperkuat stabilitas politik dalam negeri, dakwah Islam dan perekonomian dalam negeri. Kontrol Khilafah dalam perdagangan luar negeri mutlak diperlukan, sebab faktor yang diperhatikan dan diatur dalam perdagangan luar negeri bukanlah komoditas yang diperdagangkan antara dua negara, tetapi pemilik komoditas atau negara asal dari komoditas tersebut. Pandangan ekonomi politik seperti ini didasarkan pada sebuah anggapan bahwa perdagangan luar negeri harus mengikuti hukum Islam yang mengatur interaksi negara Khilafah dengan negara-negara lain (negara kafir). Atas dasar itu, perusahaan atau warga negara Khilafah Islamiyah tidak boleh melakukan perdagangan luar negeri secara langsung tanpa sepengetahuan dan ijin dari negara Khilafah Islamiyah.

Dalam pandangan politik Islam, seluruh negara yang berada di luar Khilafah Islamiyah adalah negara kafir yang wajib diperangi (kafir harbi). Negara kafir harbi dibagi menjadi dua macam: kafir harbi fi’l[an] dan kafir harbi hukm[an]. Negara kafir harbi hukm[an] adakalanya membuat perjanjian dengan negara Khilafah (kafir mu’âhid) dan adakalanya meminta perlindungan kepada negara Khilafah (kafir musta’min). Klasifikasi seperti ini mutlak dilakukan untuk menetapkan ketentuan hukum perdagangan luar negeri dengan mereka.

Adapun ketentuan perdagangan luar negeri Khilafah Islamiyah dapat dipilah menjadi dua, yakni yang berhubungan dengan: ekspor komoditas ke luar negeri dan impor komoditas dari luar negeri.

Berhubungan dengan ekspor komoditas ke luar negeri, ketentuannya adalah sebagai berikut;

1. Warga negara Muslim atau kafir dzimmi (orang kafir yang menjadi warga negara dalam Khilafah) dilarang menjual persenjataan, sistem komunikasi alat-alat berat dan strategis lain kepada negara, perusahaan, atau warga negara darul kufur jika komoditas tersebut digunakan untuk memerangi Khilafah. Adapun barang-barang yang tidak strategis semacam pakaian, makanan, perabotan, souvenir dan lain-lain maka seorang Muslim atau kafir dzimmi dibolehkan menjualnya kepada negara kafir. Namun, jika ketersediaan komoditas-komoditas tersebut amat sedikit di dalam negeri dan akan membahayakan ketahanan ekonomi Khilafah maka negara Khilafah melarang warga negaranya, baik Muslim maupun kafir dzimmi, menjualnya ke negara kafir.

2. Perdagangan luar negeri dengan negara kafir harbi fi’l[an], yakni negara kafir yang memiliki hubungan permusuhan dan peperangan secara langsung dengan Daulah Islam, adalah haram. Terhadap negara seperti ini, Khilafah tidak akan mengijinkan warga negara maupun perusahaan-perusahaan yang berada di dalam negeri Khilafah untuk melakukan perdagangan luar negeri dengan negara kafir harbi fi’l[an], apapun komoditasnya. Pasalnya, melakukan perdagangan luar negeri dengan negara-negara kafir harbi fi’l[an] termasuk dalam ta’âwun yang dilarang.

Adapun ketentuan yang berhubungan dengan impor komoditas dari luar negeri dapat dirinci sebagai berikut;

1. Khilafah mengijinkan kaum Muslim dan kafir dzimmi untuk mengimpor komoditas dari negara-negara kafir. Terhadap kafir mu’ahid, yakni orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian dengan Khilafah, maka mereka akan diperlakukan sesuai dengan butir-butir perjanjian tersebut, baik yang menyangkut komoditas yang mereka impor dari Daulah Islamiyah, maupun komoditas yang mereka ekspor ke Daulah Islamiyah. Hanya saja, mereka tetap tidak boleh mengimpor persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis dari Daulah Islamiyah. Namun, orang kafir yang membuat perjanjian dengan Daulah Islamiyah (kafir mu’ahid) dibolehkan memasukkan komoditas perdagangannya ke dalam Daulah Islamiyah.

2. Terhadap negara kafir harbi fi’l[an], tidak ada hubungan perdagangan dengan mereka. Yang ada hanyalah hubungan perang. Atas dasar itu, kaum Muslim dibolehkan merampas harta mereka atau memerangi mereka di manapun mereka jumpai.

3. Kafir harbi tidak dibolehkan masuk ke wilayah Khilafah, kecuali ada ijin masuk dari negara. Jika mereka masuk tanpa ijin, mereka diperlakukan sebagaimana halnya kafir harbi fi’lan, yakni harta dan jiwa mereka tidak mendapatkan perlindungan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perdagangan luar negeri Daulah Khilafah Islamiyah dikontrol sepenuhnya oleh negara. Warga negara Khilafah, baik Muslim maupun non-Muslim, dilarang melakukan perdagangan luar negeri dengan negara kafir, tanpa sepengetahuan dan seijin Daulah Khilafah Islamiyah. Atas dasar itu, di perbatasan-perbatasan wilayah Khilafah Islamiyah dengan negara-negara kafir, harus ada pengawas (mashalih) yang bertugas memantau lalu lintas orang yang masuk dan keluar dari Daulah Khilafah Islamiyah.

Proteksionisme

Pada dasarnya proteksionisme adalah politik perdagangan luar negeri yang dianut oleh ekonom kapitalis. Teori ini mengharuskan keterlibatan negara untuk mewujudkan apa yang disebut keseimbangan neraca perdagangan luar negeri. Kebijakan ini ditujukan untuk mempengaruhi neraca perdagangan (balance of trade) dan memecahkan masalah kelemahan ekonomi nasional.

Dalam konteks tertentu, Khilafah Islamiyyah juga melakukan sejumlah proteksi untuk melindungi stabilitas ekonomi. Hanya saja, proteksi yang dilakukan oleh Khilafah tidak sama dengan proteksi yang dilakukan oleh negara kapitalis. Proteksi yang dilakukan oleh Khilafah tidak ditujukan untuk melindungi stabilitas ekonomi saja, tetapi juga ditujukan untuk mewujudkan stabilitas politik dan tugas mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.

Di sisi lain, kebijakan proteksi yang dianut Khilafah selalu sejalan dengan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam interaksi dengan negara-negara kafir. Misalnya, jika negara kafir mengenakan tarif 20 persen atas komoditas-komoditas kaum Muslim yang masuk ke negara mereka, maka Khilafah juga akan mengenakan tarif yang sama terhadap komoditas-komoditas mereka yang masuk ke dalam Daulah Khilafah.

Adapun mengenai cukai (tarif) yang dikenakan atas komoditas perdagangan yang keluar masuk di wilayah Daulah Islamiyah tentu berbeda dengan cukai yang dipraktikkan pada perdagangan luar negeri sekarang. Cukai dikenakan kepada pelaku perdagangan dari negara kafir. Adapun pelaku perdagangan dari warga negara Daulah Islamiyah, baik Muslim atau kafir dzimmi, maka sama sekali tidak boleh ada cukai, baik komoditas yang mereka ekspor maupun yang mereka impor ke negara kafir. Penetapan tarif cukai atas orang-orang kafir ditentukan berdasarkan prinsip kesetaraan dan keseimbangan seperti di atas.

Strategi Khilafah untuk Memperkuat Produsen Dalam Negeri

Strategi Khilafah untuk memperkuat produsen dalam negeri adalah sebagai berikut:

1. Menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk mempermudah aktivitas perekonomian di dalam negeri, mulai dari penyediaan sarana transportasi yang handal, manufaktur, telekomunikasi, gudang, serta sarana-sarana penting lainnya.

2. Memberlakukan undang-undang anti hak paten dan royalti atas penggunaan penemuan-penemuan baru di bidang sains dan teknologi. Undang-undang ini dibuat untuk mempercepat terjadinya transfer teknologi dan skill di seluruh kawasan negara Khilafah sehingga akan meningkatkan kemampuan dan kualitas produksi dalam negeri.

3. Memberlakukan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan yang memproduksi produk-produk manufaktur yang mem-bahayakan manusia dan merusak lingkungan. Kaedah ushul fikih menyatakan: adh-dhararu yuzâlu (bahaya itu harus dihilangkan). Dengan sanksi ini, standar manufaktur dan produk akan selalu terkontrol dan terpelihara sehingga memiliki kualitas yang sangat tinggi.

4. Menyediakan modal dan pinjaman tanpa bunga bagi kegiatan-kegiatan perekonomian dalam negeri. Dengan itu niscaya pertumbuhan ekonomi dalam negeri bisa dipacu secara maksimal. Apa lagi sistem moneter yang digunakan oleh khilafah adalah sistem moneter yang berbasis emas dan perak, yang memungkinkan terciptanya kestabilan pada sektor fiskal. Jika ini terjadi, dunia usaha di dalam negeri Khilafah akan bergerak stabil dan ekspansinya akan tumbuh secara maksimal.

5. Menjaga mekanisme pasar di dalam negeri dengan cara menjaga pasar dari praktik-praktik yang bisa mengguncang stabilitas pasar semacam penimbunan, penipuan, riba, pungli dan lain sebagainya. Negara tidak akan intervensi dengan cara menetapkan harga dengan alasan untuk melindungi konsumen atau produsen. Cara yang ditempuh Khilafah untuk menstabilkan harga adalah operasi pasar, bukan dengan cara tas’îr (penetapan harga).

6. Menciptakan stabilitas politik dan keamanan dalam negeri dengan menerapkan sanks-sanksi keras terhadap siapa saja yang berusaha menciptakan instabilitas di dalam negeri.

7. Negara Khilafah berusaha keras untuk tidak melakukan hutang dan penarikan investasi luar negeri. Selain justru akan memperlemah perekonomian dalam negeri, hutang dan investasi luar negeri sering dijadikan alat oleh negara-negara kafir untuk mendikte negara-negara penghutang.

8. Mengelola dan mengatur sepenuhnya asset-asset milik umum secara profesional demi kemakmuran rakyat. Khilafah tidak akan melakukan privatisasi pada aset-aset strategis yang menjadi hajat hidup orang banyak.

Dengan strategi inilah, produsen dalam negeri akan terlindungi, dan mampu menghasilkan produk-produk yang mampu bersaing dengan produk-produk luar negeri. WaLlâhu a’lam bi ash-shawâb. [Syamsuddin Ramadhan an-Nawi]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*