HTI

Dunia Islam (Al Waie)

Ustadz Ahmad al-Qashshash: Masalahnya Ada Pada Institusi Libanon!

Abdul Qadir al-Asmar dari surat kabar Al-Liwa’ baru-baru ini mewancara Ustadz Ahmad al-Qashshash, Penanggung Jawab Kantor Media Hizbut Tahrir Lebanon, tentang Hizbut Tahrir (HT) dan perkembangan politik terbaru di Lebanon. Di antara pertanyaan-pertanyaan itu adalah mengenai tekad kuat HT untuk menegakkan kembali Khilafah. Padahal masalah ini diyakini oleh kelompok Islam yang lain sebagai perkara sulit jika tidak dikatakan “mustahil”. Masalah lainnya adalah tidak terlibatnya HT dari sejumlah hal terkait persoalan-persoalan publik, seperti pemilihan parlemen dan Dewan Kota, serta kurangnya perhatian HT terhadap masalah-masalah dan isu-isu lokal. Berikut beberapa hasil dari wawancara tersebut.

Bagaimana pendapat HT terkait konflik di antara berbagai kelompok di arena politik dan kepada kelompok mana HT memihak?

HT sejak dulu hingga sekarang masih memiliki pendapat yang jelas dalam kaitannya dengan masalah Libanon. HT berpendapat bahwa institusi Libanon tidak sedang menderita masalah, sebab institusi Libanon itu sendiri adalah masalahnya. Oleh karena itu, semua solusi tambal sulam dan parsial tidak ada manfaatnya sama sekali, sebab institusi ini tidak layak untuk kehidupan.

Semua tahu bahwa setiap negara mencerminkan masyarakatnya, sementara institusi ini ada tanpa masyarakat. Di Libanon terdapat banyak komunitas dengan beragam sektenya. Pada setiap sekte terdapat kelompok fanatik di sekitarnya. Jika institusi ini tidak memiliki program yang sifatnya pemikiran dan budaya, maka itu sangat disayangkan. Sebab, akibatnya institusi ini tidak akan pernah memiliki basis masyarakat; institusi ini akan tetap dalam kondisi lemah, banyak masalah, dan krisis berkepanjangan.

Adapun berkenaan dengan berbagai kelompok, HT senantiasa menjaga jarak dari setiap kelompok di antara kelompok-kelompok yang ada di Libanon karena: Pertama, kelompok-kelompok itu bukanlah kelompok Islam, melainkan kelompok sekular. Kedua, semuanya tidak dibentuk untuk mengurusi urusan-urusan masyarakat dan kepentingan masyarakat. Kelompok-kelompok itu tidak lain adalah kelompok-kelompok yang memiliki hubungan dengan pihak asing (luar). Untuk setiap kelompok ada orang-orang yang memiliki hubungan dengan rezim setempat yang di belakangnya bersembunyi rezim internasional. Dalam banyak kasus, kita melihat bahwa semua orang ini tidak mencerminkan Islam terkait dengan semua sikap mereka; bahkan kelompok-kelompok yang mengangkat simbol-simbol Islam sekalipun, Islam oleh mereka hanya dijadikan simbol saja.

Dalam praktik dan pelaksanaannya, kami mendapati semuanya bersaing; satu dengan yang lainnya saling menawarkan simbol-simbol sekularisme serta piagam-piagam dan norma-norma sekularisme yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam. Mereka tidak mencerminkan Sunni, padahal mereka mengklaim menganut madzhab Ahlussunnah. Mereka juga tidak mencerminkan Syiah, padahal mereka mengklaim menganut mazhab Imam Ja’far. Namun, masing-masing dari mereka itu adalah penganut setia norma-norma politik sektarian Libanon yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan dasar-dasar Islam, tidak dari dekat dan tidak pula dari jauh.

Anda mengklaim bahwa HT adalah sebuah partai politik, tetapi mengapa Anda tidak berpartisipasi dalam kehidupan politik, seperti pencalonan untuk pemilu parlemen, misalnya?

Kami menyatakan bahwa HT adalah sebuah partai politik. Ini realitas HT. Bahkan kami berpendapat bahwa Islam adalah pemikiran politik dan sistem politik. Namun, kami juga berpendapat bahwa sebagian besar yang disebut dengan kehidupan politik di Dunia Islam, bukan kehidupan politik yang sebenarnya, dan bukan lembaga-lembaga politik yang sesungguhnya. Semua itu tidak lain hanyalah “hiasan/dekorasi” bagi lembaga-lembaga politik. Sayangnya, tidak ada kehidupan politik yang sebenarnya di sebagian besar penjuru Dunia Islam. Yang ada tidak lain hanyalah para badut yang sedang bermain-main di panggung politik.

Kebijakan yang sebenarnya di Dunia Islam, khususnya di Libanon, sesungguhnya berasal dari luar negeri. Apa yang terjadi setiap empat tahun, yang berupa drama pemilihan, sengketa pembentukan pemerintah, pertengkaran, dan rekonsiliasi, maka semua itu tidak lain hanyalah mencerminkan realitas tren yang sebenarnya terjadi di Libanon yang dimainkan oleh pemain regional dan internasional.

Karena itu, kami menyakini bahwa tidak ada gunanya berpartisipasi dalam pemilihan itu. Meski dalam hal ini, kami tidak mengharamkannya secara mutlak, namun faktanya bahwa pemilihan yang diadakan di Libanon hanyalah mengeluarkan resolusi yang telah dipersiapkan sebelumnya, dan dimaksudkan untuk memberikan legitimasinya. Kami punya contoh, misalnya dalam pemilihan komite parlemen yang telah dibuatkan kesepakatan, sebelum para anggota parlemen memasuki gedung dewan.

Anda memiliki sikap yang jelas terkait para tahanan Muslim. Namun, kami belum tahu tentang sikap Anda terkait berbagai krisis lainnya, seperti fenomena “Fatah al-Islam”, Insiden at-Tibbanah—Baal Mohsen, dan lainnya. Mengapa?

Terkait dengan “Fatah al-Islam” HT memiliki sikap yang jelas dan wacana politik. Semuanya telah disampaikan ke setiap media. Untuk itu kami telah melakukan konferensi pers lebih dari sekali. Bahkan saya masih ingat bahwa Kantor Informasi telah mendistribusikan lebih dari sebuah pernyataan yang isinya mengecam penghancuran perkemahan; serta mengecam ketidakadilan terhadap penghuni kamp di Jarirah, dimana mereka menerobos dan menyusup ke dalam kamp. Ketika itu, kami mengecam permainan aparat keamanan dengan fenomena Fatah al-Islam, dan menunggangi gelombang ini. Kemudian akibatnya adalah penangkapan ketua Kantor Informasi.

Namun, Anda belum mengecam fenomena “Fatah al-Islam” seperti yang kami tahu!

Kami telah mengecam fenomena “Fatah al-Islam” dan kami mengatakan dengan tegas, bahwa fenomena ini di belakangnya bersembunyi intelijen lokal dan regional. Dalam hal ini, para pemuda kaum Muslim tertipu. Mereka didatangkan dari seluruh penjuru dunia Arab dan Islam dalam rangka menjadikan mereka bahan bakar untuk merealisasikan kepentingan dan tujuan politik regional dan internasional, khususnya untuk mewujudkan kepentingan AS pada saat itu. Sebab, di antara kepentingan Amerika adalah menghancurkan kamp sebagai pintu untuk menyelesaikan pemukiman. Termasuk di antara kepentingan Amerika juga adalah memobilisasi sebanyak mungkin para mujahid ikhlas yang tidak waspada di kamp ini dalam rangka membantai mereka.

Apa sikap Anda terhadap insiden al-Tibbanah–Baal Mohsen?

Sungguh kami memiliki sikap yang jelas terkait apa yang terjadi di al-Tibbanah. Kami telah mengecam penggunaan warga kami. Bentrokan bersenjata di jalan-jalan itu bersandar pada surat-surat antara kedua belah pihak untuk menekan satu sama lain. Kami pun menyebut surat-surat itu dengan surat-surat darah dan bahan peledak untuk mencapai sikap dan orientasi masing-masing dalam rangka menekan satu sama lain.

Apakah sejauh ini HT memikul keprihatinan dan duka Tripoli serta masalah-masalah masyarakat menghambat perjalanan HT dan metode dakwah?

Dalam banyak kasus, kami turut memikul masalah-masalah masyarakat sebagai bagian dari strategi kami, yaitu mengurusi kepentingan masyarakat dan urusan-urusan mereka, dan memberikan solusi syar’i untuk masalah-malasah yang sedang dideritanya. Itu tidak berarti bahwa kami menjadi bagian dari kontrak politik yang terjadi di negeri ini. Akan tetapi, kami selalu bekerja untuk berkomunikasi dengan para elit dan rakyat dalam rangka memberikan pendapat kami dalam setiap urusan publik.

Terkait dengan berbagai masalah kota (lokal) dan Anda menjadi bagian darinya, mengapa ini tidak ada perhatian dalam pernyataan Anda?

Tidak semuanya. Pada dasarnya kami memiliki pandangan untuk setiap masalah yang berkaitan dengan urusan publik dalam masyarakat. Namun, kadang kami disibukkan oleh masalah-masalah besar hingga kami terkesan abai dengan masalah-masalah yang kurang penting, karena masalah umat banyak sekali. Artinya, bahwa kami tidak akan masuk terlalu dalam pada hal-hal kecil sehingga kami tidak memalingkan pikiran dari masalah-masalah besar. Apalagi sebagian besar kelompok lain telah menghabiskan waktunya untuk masalah-masalah kecil sehingga tidak lagi menaruh perhatian pada masalah-masalah besar. Kami akan tetap mengisi kesenjangan yang luas ini, insya Allah.

Tidak jarang timbul kesan pada kebanyakan orang bahwa partai Anda adalah partai elitis. Anda hanya tertarik pada segmen tertentu saja dari mereka yang mengikuti gagasan dan teori Anda. Apa pendapat Anda?

HT, dalam melakukan aktivitas dakwahnya, tidak ditujukan pada segmen elit masyarakat saja, melainkan semua orang. Syabab (aktivis) HT bukan berasal dari komunitas budaya, ekonomi, atau sosial tertentu, melainkan berasal dari semua kalangan; intelektual, pelajar, profesional, orang kaya, orang miskin dan kelas menengah. Dengan demikian, tidak benar pemikiran elitisme yang diasosiasikan pada HT.

Ada fenomena bagi HT di dunia, dan tidak hanya di sini, yaitu bahwa HT tidak bermaksud hanya merekrut kalangan intelektual dan terpelajar saja, melainkan semua orang tanpa kecuali. Akan tetapi, ada perbedaan antara HT dan kelompok yang lain di antara kelompok yang beraktivitas merekrut masyarakat. Mereka merekrutnya melalui pendekatan kepentingan yang sifatnya materi dan emosional dan dengan memenuhi kepentingan materinya. Sebaliknya, HT menyeru pikiran masyarakat. Oleh karena itu, pengaruh HT bersifat jangka panjang, sedangkan yang lain pengaruhnya berlangsung cepat dan sesaat. Intinya, aktivitas HT adalah membangun tsaqâfah (budaya), opini umum dan arahan politik di tengah-tengah umat. [Muhammad Bajuri/Sumber: Al-Maktab al-I’lami li Hizb at-Tahrîr fî Lubnân]

JEJAK SYARIAH

Jejak Syariah: M. Natsir: Pejuang Syariah, Menolak Sekularisme!

Muhammad Natsir, sering dipanggil Pak Natsir, tokoh yang juga bergelar ‘Datuk Sinaro nan Panjang’ ini lahir di Minangkabau, tepatnya di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatera Barat pada 17 Juli 1908, dari pasangan Sutan Paripado dan Khadijah. Ayah Natsir bekerja sebagai pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedangkan kakeknya seorang ulama. Natsir merupakan pemangku adat untuk kaumnya yang berasal dari Maninjau, Agam dengan gelar Datuk Sinaro Panjang.

Saat kecil, Natsir belajar di HIS Solok serta di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di MULO, dan kemudian melanjutkan ke AMS Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir. Pada tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi Islam Persis. Dengan keunggulan spritualnya, beliau banyak menulis soal-soal agama, kebudayaan, dan pendidikan.1

Berbicara tentang Muhammad Natsir sejatinya tidak bisa dilepaskan dengan perjuangan syariah Islam di Indonesia. Natsir menganggap bahwa agama dan negara harus dipersatukan dalam semangat untuk menegakkan hukum Allah.2 Artinya, tidak ada pemisahan antara Islam dan negara. Bahkan Natsir menegaskan bahwa Islam tidak terbatas pada aktivitas ritual Muslim yang sempit, tetapi pedoman hidup bagi individu, masyarakat dan negara.3

Muhammad Natsir memahami bahwa tugas seorang pemimpin adalah memastikan bahwa hukum-hukum Allah dapat dijalankan dengan baik. Syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin Negara Islam adalah agamanya, sifat dan tabiatnya serta akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya; bukan bangsa, keturunannya ataupun semata-mata karena kapasitas intelektualnya.

Islam tidak mengenal lembaga ‘Kepala Agama’ seperti Paus dalam tradisi katolik. Islam hanya mengenal satu ‘Kepala Agama’ yakni Muhammad Rasulullah saw. Rasulullah Muhammad sudah wafat dan tidak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya. Rasulullah sebagai kepala agama telah meninggalkan satu sistem yang bernama Islam, yang harus dijaga dan dipelihara oleh kaum Muslim. Sistem ini juga harus dijalankan oleh ‘kepala-kepala pemerintahan’ seperti khalifah, amir dan lain sebagainya yang memegang kekuasaan dalam kenegaraan kaum Muslim.

Natsir mengambil contoh bahwa para sahabat Nabi saw. yang pernah menjadi khalifah pengganti beliau dalam urusan pemerintahan seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali tidaklah merangkap jadi ‘Kepala Agama’. Mereka itu hanyalah ‘kepala pemerintahan’ yang menjadikan pemerin-tahannya menurut aturan yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah Muhammad saw.

Negara, oleh karenanya, bukan merupakan tujuan Islam, tetapi sebagai sarana untuk menegakkan Islam dan merealisasikan aturan-aturan Ilahi yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah.4 Aturan-aturan tersebut lengkap mulai dari sistem pemerintahan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, pergaulan dan sistem-sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan lainnya. Karenanya, negara berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan kesempurnaan berlakunya hukum ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri ataupun sebagai anggota masyarakat dalam sebuah negara.

Pergulatan untuk menjadikan syariah Islam sebagai dasar negara tidaklah mudah. Kekuatan-kekuatan yang tidak menginginkan tegaknya syariah Islam berusaha menghadang setiap langkah Natsir di Parlemen. Hal ini bisa tercermin dalam perdebatan di Konstituante pada masa itu. Dalam sidang Konstituante tatkala membahas tentang dasar negara, Natsir secara tegas menjelaskan perbedaan pokok sekularisme dengan Islam. Menurut Natsir, sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan dan sikap yang hanya ada dalam batas keduniaan. “Seorang sekularis tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia, semata-mata dan dipusatkan pada kebahagiaan manusia dalam kehidupan sekarang belaka” ujar M. Natsir.5

Selanjutnya, dalam pandangannya, yang disampaikan di depan para anggota Konstituante, M. Natsir, menegaskan kembali, “Jika dibandingkan dengan sekularisme yang sebaik-baiknya pun, maka adalah agama masih lebih dalam dan lebih dapat diterima akal. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan perseorangan yang dapat diberikan oleh sekularisme tidak melebihi konsep dari apa disebut humanity (perikemanusiaan).” Lalu ia menambahkan, “Di mana sumber perikemanusiaan itu?”6

Muhammad Natsir adalah tokoh Islam kontemporer Dunia Islam, mujahid dan politikus piawai. Ia mencurahkan segenap kemampuan untuk menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan Indonesia dan melawan orang-orang yang menghalangi tegaknya Islam. Dia patut menjadi teladan bagi para politikus yang mengklaim dari partai Islam, bagaimana seharusnya menjadi politisi yang dengan gigih memperjuangkan syariah Islam agar menjadi sumber aturan perundang-undangan yang ada. Natsir adalah suri teladan tentang ketegasan ‘meneriakkan’ syariah Islam agar menjadi dasar negara. Bagi Natsir, syariah Islam adalah aturan yang mampu menyelesaikan problematika yang melingkupi Indonesia. Natsir bukanlah politisi yang ‘menjual’ Islam untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompoknya, yang seolah-olah mengklaim memperjuangkan Islam namun sejatinya justru tidak berani berteriak memperjuangkan Islam sama sekali. [Gus Uwik]

Catatan kaki:

1 http://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir

2 (http://www.rahmatan.org/artikel/mengingat-sejarah/29-muhammad-natsir-pejuang-islam-kontemporer)

3 Ningsih dalam http://www.pks-jaksel.or.id/Article133.phtml

4 (http://www.rahmatan.org/artikel/mengingat-sejarah/29-muhammad-natsir-pejuang-islam-kontemporer)

5 Adian Husaini, Pesan Terakhir Hussein Umar : Puisi Hamka untuk NATSIR dalam www.swaramuslim.net

6 (http://www.eramuslim.com/editorial/m-natsir-pemimpin-islam-sejati.htm)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*