HTI

Jejak Syariah

Ahmad Hassan: Penentang Demokrasi Dan Sekularisme

Ahmad Hassan, atau orang lebih mengenal Ahmad Hassan Bandung, atau guru bagi Persatuan Islam (PERSIS), adalah sosok ‘pencerah umat’. Apa yang beliau lakukan ternyata mampu memberikan warna dan pemahaman tersendiri kepada masyarakat tentang Islam dan segala aturan di dalamnya. Dengan kata lain, sebenarnya dakwah Islam yang beliau lakukan baik melalui tablig, debat dan menulis kitab-kitab sejatinya adalah untuk menjelaskan Islam dan syariahnya kepada seluruh masyarakat. Ahmad Hassan bersama aktivis organisasi ini semuanya berupaya membangkitkan kesadaran beragama dan menumbuhkan bersyariah Islam.1

Dalam pandangan Ahmad Hassan, Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur sendi-sendi kehidupan manusia mulai dari karuhanian sampai masalah politik kenegaraan. Demi mewujudkan suatu negara Islam yang sesuai dengan yang dikehendaki Tuhan, kaum Muslim harus melaksanakan seluruh ajaran agama Islam di setiap sendi kehidupan. Ahmad Hassan berkeyakinan bahwa hanya Islam yang memberikan dasar dan moral bagi Negara; agama telah memberikan ajaran yang lengkap bagi kehidupan manusia.2

Dari sini bisa dipahami bahwa Islam akan memberikan rahmatan lil ‘alamin jika diterapkan secara menyeluruh di segala aspek kehidupan.

Ahmad Hassan bukan sekadar menyerukan pemahaman bahwa Islam mempunyai seperangkat aturan lengkap untuk mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan, namun juga menyerukan bahwa undang-undang dan peraturan-peraturannya yang sesuai dengan al-Quran harus dilaksanakan. Pemerintahan Islam baginya adalah pilihan lain dari paham kebangsaan yang dianggapnya sebagai tidak memberikan tempat bagi agama. Beliau menginginkan Islam memasuki seluruh aspek kehidupan manusia, sesuai dengan keyakinan bahwa kebenaran ajaran Islam adalah mutlak. Islam dipandang sebagai sesuatu yang tertinggi dan terluas menerjang batas-batas kebangsaan dan ketanahairan.3

Ahmad Hassan secara tegas menolak demokrasi dan sekularisme. Beliau pernah ditanya tentang apa beda pemerintahan Islam dan demokrasi. “Tuan tadi mengatakan bahwa pemerintahan Islam itu berdasarkan al-Quran, Hadis, dan musyawarah. Sedangkan pemerintahan demokrasi tulen, hanya dengan rembukan rakyat. Di antara dua ini, manakah yang lebih baik?”

Mendengar pertanyaan tersebut Ahmad Hassan menjawab, “Pemerintahan secara demokrasi atau kedaulatan rakyat semata-mata berdasarkan kemauan rakyat. Kalau rakyat mau halalkan zina, mengizinkan produksi minuman beralkohol, dan seterusnya, niscaya boleh. Sedangkan menurut Islam, yang haram tetaplah haram; yang makruh tetaplah makruh; dan yang sunnah tetaplah sunnah. Kedaulatan rakyat berlaku di urusan-urusan luar dari yang tesebut. Dalam pemerintahan dengan cara Islam, maksiat tidak dapat menjadi perkara biasa, sedangkan dalam sistem pemerintahan demokrasi tulen, yang haram bisa jadi halal, yang wajib bisa jadi haram, asal dikehendaki oleh rakyat. Dari sini, tuan bisa tahu mana yang lebih baik,” jawab Ahmad Hassan.4

Ketegasan ide Ahmad Hassan dalam memperjuangkan syariah Islam agar menjadi pondasi pemerintahan juga tampak dalam pergulatan ide dengan Soekarno. Soekarno menghendaki pemisahan agama dari struktur pemerintahan serta bercermin pada undang-undang Swiss dan sekularisme Turki. Namun, pandangan ini dibantah keras oleh sejumlah tokoh Islam, termasuk di antaranya A. Hassan dan M. Natsir yang sama-sama tidak menghendaki adanya upaya memisahkan agama dari urusan pemerintahan. Sebab, menurutnya, Islam memiliki nilai universal yang sempurna yang tidak dimiliki oleh sejumlah agama lain.5

Dari pergulatan ini, Ahmad Hassan juga memberikan penjelasan tentang syarat-syarat dalam memilih pemimpin negara antara lain:

1. Seorang pemimpin harus Muslim dan dari kalangan Muslim itu sendiri, sebagaimana yang tercantum dalam QS Ali Imran [3]: 118-119, QS at-Taubah[9]: 8, QS al-Maidah [5]: 57.

2. Seorang pemimpin/kepala negara hendaknya dari kaum laki-laki berdasar pada keterangan QS an-Nisa’ [4]: 34, QS an-Nahl [16]: 43 serta HR al-Bukhari yang berisi, “Tidak akan jaya suatu negeri yang menyerahkan urusan (kepemimpinannya) kepada kaum wanita.”

3. Memiliki profesioanlisme. Dalam hal ini ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw., “Apabila sebuah urusan diserahkan bukan kepada ahlinya maka tunggulah saat kehancuran.” (HR al-Bukhari).6

Ahmad Hassan adalah seorang pemikir yang teguh dalam memperjuangkan tegaknya syariah Islam. Ahmad Hassan ingin mengubah masyarakat Islam sampai ke akar-akarnya dan ingin menghancurkan penyakit umat Islam dengan cara yang radikal secara revolusioner, secara jelas, tanpa samar-samar dan penuh kepastian. Suka atau tidak suka, menurut Ahmad Hassan, seorang Muslim harus mengunakan hukum Islam di setiap tempat dan setiap hal.7 [Gus Uwik]

Catatan kaki:

1 Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Salamadani, Bandung, 2009.

2 Muh. Rifa’i, Pemikiran Politik Islam Menurut Ahmad Hassan dalam Perspektif Politik Islam Indonesia, Siyasah Jinayah, IAIN Sunan Ampel, 2009.

3 Ibid.

4 http://muftialy.wordpress.com/2009/07/17/islam-vs-demokrasi/

5Abu Adz-Dzahabi, Debat A. Hassan vs Soekarno, Seputar Negara, Hukum dan Sekularisme, Pustaka Umat, Bandung, 2003 dalam http://dian89.multiply.com/reviews/item/12

6 Ibid.

7 Muh. Rifa’i, Pemikiran Politik Islam Menurut Ahmad Hassan dalam Perspektif Politik Islam Indonesia, Siyasah Jinayah, IAIN Sunan Ampel, 2009.

3 comments

  1. Mari kita ikuti slalu ulama pemegang ajaran al-Quran & Sunnah

  2. Banyak tokoh pejuang Islam di negri ini, tapi mengapa sepak terjang mereka tentang memperjuangkan Islam secara kaffah selalu ditutup-tutupi..
    alangkah lucunya negri ini

  3. Mudah-mudahan lahir lagi ulama-ulama seperti A Hassan di negeri ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*