Hidâyah berasal dari kata hadâ–yahdî–hud[an] wa hady[an] wa hidy[an] wa hidâyat[an]. Hudâ dan hidâyah secara bahasa artinya ar-rasyâd (bimbingan/tuntunan) wa ad-dalâlah (petunjuk). Juga dikatakan, hadaytuhu ath-tharîqa wa al-bayta hidâyat[an], artinya ‘arraftuhu (aku memberitahunya). Manurut al-Azhari di dalam Tahdzîb al-Lughah menukil Abu al-‘Abbas dari Ibn al-A’rabi dan menurut Ahmad bin Muhammad al-Fayumi di dalam Mishbâh Al-Munîr, hidâyah juga berarti al-bayân (penjelasan). Dengan demikian, hidâyah secara bahasa artinya bimbingan, penerangan, petunjuk dan penjelasan.
Al-Hudâ atau al-hidâyah juga adalah lawan dari adh-dhalâl (kesesatan). Secara ‘urf, adh-dhalâl adalah penyimpangan dari jalan yang bisa mengantarkan pada tujuan yang diinginkan, atau penyimpangan dari jalan yang seharusnya. Karena itu, al-hudâ atau al-hidâyah secara ‘urf bisa diartikan sebagai jalan yang bisa mengantarkan pada tujuan yang diinginkan, atau jalan yang seharusnya.
Secara syar’i jalan yang dimaksud adalah jalan yang benar (tharîq al-haqq) dan jalan yang lurus (tharîq al-mustaqim), yaitu Islam dan keimanan terhadapnya. Dengan demikian, secara syar’i, al-huda atau al-hidâyah adalah mendapat petunjuk atau terbimbing pada Islam dan beriman terhadapnya.
Di dalam al-Quran, kata hadâ dan turunannya dinyatakan sebanyak 316 kali di 96 surat. Dari semua ayat itu bisa disarikan, hidayah yang diberikan oleh Allah kepada manusia di dunia ada tiga macam. Pertama: Hidâyah al-Khalq (hidayah penciptaan). Intinya, Allah telah menciptakan dalam diri manusia secara built in adanya fitrah berupa gharîzah at-tadayyun (naluri beragama), kebutuhan dan pengakuan kepada al-Khâliq; dan qâbiliyah (kesediaan) untuk cenderung pada kebaikan maupun keburukan (QS al-Balad: 10; asy-Syams: 7-8). Allah juga menciptakan akal atau kemampuan berpikir untuk memahami dan membedakan yang baik dari yang buruk. Orang yang tidak memperoleh hidayah jenis ini, yaitu orang yang tidak sempurna atau tidak waras akalnya, tidak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.
Kedua: Hidâyah al-Irsyâd wa al-Bayân (hidayah petunjuk/bimbingan dan penjelasan), yaitu berupa penjelasan, petunjuk dan bimbingan yang diberikan Allah dengan risalah yang dibawa oleh Rasul. Di dalamnya terdapat penjelasan tentang keimanan dan kekufuran, kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk akan jalan hidup yang diridhai Allah dan yang tidak, serta akibat dari masing-masingnya baik di dunia maupun diakhirat. Di sinilah al-Quran disebut petunjuk dan Rasul adalah orang yang memberi petunjuk (QS asy-Syura: 52; ar-Ra’d: 7); yaitu yang menyampaikan risalah, menjelaskannya dan menuntun serta membimbing ke jalan Allah.
Ketiga: Hidâyah at-Tawfîq (Hidayah Taufik). Tawfîq (taufik) kepada hidayah hanya berasal dari Allah (QS Hud: 88). Hidayah taufik inilah yang dinafikan dari Rasul saw. (QS al-Qashash: 56). Taufik itu bukanlah penciptaan hidayah dari tidak ada menjadi ada dalam diri manusia. Taufik kepada hidayah itu adalah penyiapan sebab-sebab hidayah untuk manusia. Taufik berkaitan dengan sebab-sebab hidayah, atau sifat-sifat hidayah, yang jika seseorang menyifati diri dengannya maka ia akan mendapat petunjuk (hidayah). Allah tidak memberikan taufiknya secara paksa kepada manusia; melainkan ketika manusia sudah menerima hidâyah al-khalq, menggunakan gharîzah tadayun-nya dan menggunakan akalnya; lalu sampai padanya hidâyah al-irsyâd wa al-bayân melalui Rasul, pewaris Rasul, kaum Muslim atau sarana lainnya; kemudian ia memahaminya dan menerima hujah risalah itu, maka Allah akan memberinya taufik dan memudahkannya memahami hidayah dan mengambilnya dan hidup dengannya. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ
Orang-orang yang mencari petunjuk, Allah menambah mereka petunjuk dan memberi mereka (balasan) ketakwaannya (QS Muhammad [47]: 17).
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami (QS al-‘Ankabut [29]: 69).
Ketika seseorang berusaha mencari dan menjemput hidayah, Allah memberinya taufik sehingga ia mendapat hidayah. Dalam hal ini, Allah SWT tidak memaksa seseorang untuk mendapat hidayah. Allah juga tidak memaksa seseorang untuk sesat. Tidak ada orang yang dari sono-nya ditakdirkan mendapat hidayah atau sebaliknya, tersesat.
Memang ada sejumlah ayat yang menisbatkan hidayah dan kesesatan kepada Allah semata (misal: QS al-An’am [6]: 39, 125; al-A’raf [7]: 43; Yunus [10]: 35; ar-Ra’d [13]: 27; an-Nahl [16]: 93; al-Kahfi [18]: 17; al-Qashash [28]: 56 dan Fathir [35]: 8). Redaksi ayat-ayat ini maknanya jelas bahwa yang melakukan hidayah dan penyesatan adalah Allah, bukan hamba. Ini artinya bahwa seorang hamba tidaklah mendapat petunjuk karena dirinya sendiri melainkan jika Allah menunjukinya, dan sebaliknya jika Allah menyesatkannya, ia tersesat.
Namun, dengan menghimpun ayat-ayat tentang hidayah dan kesesatan, dan memahaminya secara tasyrî’i, akan tampak jelas bahwa makna ayat-ayat itu bukanlah penisbatan hidayah dan kesesatan dari sisi melangsungkan hidayah dan kesesatan, tetapi maksudnya adalah penisbatan dalam hal penciptaan. Artinya, Allah sajalah yang menciptakan hidayah dan kesesatan itu. Namun, penciptaan itu bukan berarti paksaaan dari Allah kepada hamba untuk mendapat petunjuk atau tersesat. Pengalihan makna penisbatan ini karena adanya indikasi-indikasi: Pertama, ada sejumlah ayat yang menisbatkan hidayah, kesesatan dan penyesatan kepada hamba (misal: QS al-Baqarah [2]: 157; Ali Imran [3]: 69; al-Maidah [5]: 105; al-An’am [6]: 144; al-A’raf [7]: 38; Yunus [10]: 88, 108; Thaha [20]: 85; asy-Syu’ara’ [26]: 99; Saba’ [34]: 50; a-Zumar [39]: 41; Fushshilat [41]: 29 dan Nuh [71]:27) dan setan (QS an-Nisa’ [4]: 60). Redaksi ayat-ayat ini jelas menunjukkan bahwa manusialah yang melangsungkan hidayah dan kesesatan sehingga dia menyesatkan dirinya dan orang lain, dan setan juga menyesatkan manusia. Ayat-ayat ini mengalihkan makna penisbatan hidayah dan kesesatan kepada Allah dari penisbatan pelangsungan hidayah dan kesesatan kepada makna penisbatan penciptaan.
Kedua: banyak ayat menyatakan bahwa Allah memberikan pahala kepada orang yang mendapat petunjuk dan menjatuhkan siksa kepada orang yang tersesat serta menghisab perbuatan manusia. Apabila pelangsungan hidayah dan kesesatan dinisbatkan kepada Allah, artinya Allah yang memaksa manusia untuk mendapat hidayah atau tersesat, lalu Allah menimpakan siksa kepada orang yang tersesat dan menyiksa orang kafir, fasik, munafik dan pelaku maksiyat. Ini jelas merupakan kezaliman. Mahasuci Allah dari yang demikian, sekali-kali Dia tidaklah menzalimi hamba-Nya (QS 41: 17).
Dengan menghimpun semua ayat tersebut jelaslah bahwa Allah sematalah yang menciptakan hidayah dan kesesatan. Sebaliknya, hambalah yang menempuh ihtidâ’ (mencari petunjuk) sehingga ia mendapat hidayah, dan hambalah yang menempuh idhlâl (menempuh kesesatan dan penyesatan) sehingga ia tersesat dan bisa menyesatkan diri dan orang lain.
Seperti itulah kehendak dan keinginan (masyî‘ah wa irâdah) Allah SWT dalam hal ini. Allah SWT berfirman:
يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (QS an-Nahl [16]: 93)
Maksud ayat ini bukanlah bahwa seseorang mendapat petunjuk karena paksaan dari Allah dan seseorang tersesat karena paksaan dari Allah. Maksudnya bukanlah bahwa Allah memaksa seseorang untuk sesat dan memaksa seseorang untuk mendapat petunjuk. Akan tetapi, maknanya adalah bahwa menurut kehendak dan keinginan (masyî‘ah wa irâdah) Allah, seseorang yang mencari petunjuk akan mendapat petunjuk dan siapa yang menempuh kesesatan akan tersesat. Jadi orang mendapat petunjuk maupun tersesat, semua itu sesuai dengan masyî‘ah wa irâdah Allah itu.
Jadi, Allah telah menciptakan dalam diri manusia qâbiliyah (kesediaan atau kapasitas) untuk kebaikan maupun keburukan. Allah juga telah menjelaskan jalan kebaikan atau jalan hidayah maupun jalan keburukan atau jalan kesesatan (QS asy-Syams: 8; al-Balad: 10). Lalu Allah membebaskan manusia untuk memilih jalan hidayah atau jalan kesesatan itu (QS al-Kahfi: 29). Jika orang mencari dan menjemput hidayah, yaitu mengupayakan sifat-sifat hidayah ada dalam dirinya atau memilih jalan hidayah, maka Allah memberinya taufik sehingga ia mendapat hidayah dan Allah menambah hidayah kepadanya. Sebaliknya, jika orang mencari dan menjemput kesesatan atau memilih jalan kesesatan maka ia akan tersesat, Allah tidak memberinya taufik, bahkan Allah akan menambah kesesatannya.
Selama sifat-sifat yang bertentangan dengan hidayah masih bercokol maka Allah tidak akan memberikan hidayah taufik (QS 2: 6,7; 83: 14; 11: 36). Di sinilah Allah menyatakan tidak akan memberi hidayah kepada orang kafir (QS 2: 264), orang fasik (QS 61: 5), orang zalim (QS 2: 258), orang yang sesat (QS 16: 37) dan orang yang melampaui batas lagi berdusta (QS 40: 28).
Allâhumma ihdinâ ash-shirâth al-mustaqîm, wa mâ tawfîqî illâ biLlâh. [Yahya Abdurrahman]