Gerombolan Islamophobia (alergi terhadap ajaran Islam) kembali berulah. Setelah mengajukan judicial review (uji materiil) UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, kini mereka membuat onar dengan mengajukan uji materiil UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Padahal nyatanya selama hampir 45 tahun lamanya tak ada persoalan dengan peraturan itu. Para pemeluk agama tidak ada yang menggugatnya. Soalnya, penganut agama mana sih yang mau agama yang diyakininya dinistakan dan dinodai?
Namun, gerombolan pembela aliran sesat Ahmadiah yang menamakan diri sebagai Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) itu melakukan gugatan terhadap UU tersebut. Dengan kuasa hukumnya yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama, pada akhir Nopember 2009 lalu Gus Dur, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, Asmara Nababan, dll mengajukan permohonan uji materiil UU tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK), tentu saja dengan alasan UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan lainnya, sehingga harus dicabut.
Tak ayal lagi, manuver mereka mendapat penolakan dari Pemerintah dan umat beragama, terutama umat Islam yang mayoritas di negeri ini. Ulama dan umat Islam yang tergabung dalam berbagai ormas Islam pun mendaftarkan diri sebagai pihak terkait untuk menggagalkan niat jahat gerombolan liberal tersebut. Sebab, ujar Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, kalau keinginan mereka itu dikabulkan MK sehingga tidak ada aturan hukum kepada penoda dan penista agama, maka akan mudah terjadi anarkis yang menimbulkan konflik horisontal di tengah masyarakat.
Pemohon Konstitusional?
Menteri Agama Suryadharma Ali, perwakilan dari pihak Pemerintah, membantah alasan pemohon. Menurutnya UU tersebut (a quo) telah berjalan sesuai dengan amanat UUD 1945 dan memberikan perlindungan kepada setiap orang untuk menjalani keyakinan agamanya. Berdasarkan pengamatan Pemerintah, para pemohon beragama Islam, Kristen dan Katolik. “Tidak ada satu pihak pun yang menghalangi mereka untuk menjalankan agama yang dianutnya,” tandas Suryadharma dalam sidang uji UU tersebut, Rabu (3/2) di Gedung MK, Jakarta.
“Pemerintah menganggap bahwa para pemohon tidak memenuhi kualifikasi dan a quo sudah tepat dan maka sepatutnya MK tidak dapat menerima permohonan pemohon,” sesalnya karena MK tetap saja memberikan kesempatan untuk pengujian UU tersebut.
Padahal menurut ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), pihak yang dapat diterima sebagai pemohon untuk judicial review haruslah pihak yang dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya. Namun, Ketua Majlis Hakim Mahfud MD menyatakan bahwa pemohon sudah memenuhi legal standing (kualifikasi) sehingga permohonan pemohon diproses.
Perang Pemikiran
Dengan tetap diprosesnya permohonan pemohon, terjadilah perang pemikiran di dalam ruang sidang. Bahkan tak jarang sidang pun menjadi ricuh tatkala kelompok liberal menyampaikan logika ngawur menunjukkan kedangkalannya tentang pemahaman agama. Maka tak ayal lagi pada Rabu, (17/2) ruang sidang pleno MK gempar. “Munafiiik…!” pekik pengunjung yang duduk di balkon atas ruang sidang beberapa kali.
Beberapa saat suasana riuh. Pasalnya, Luthfi Assyaukanie, saksi ahli pihak pemohon, menyatakan bahwa kasus Lia Eden sama dengan awal penyebaran Islam oleh Nabi Muhammad saw. “Apa yang dilakukan oleh Lia Aminudin sama dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Kesalahan Lia sama dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad waktu munculnya Islam,” ujar gembong Jaringan Islam Liberal (JIL) itu.
Sontak pernyataan itu menimbulkan reaksi balik dari pengunjung dan juga para pihak terkait seperti MUI, NU, Muhammadiyah, HTI, dll. Ketua MUI KH Makruf Amin menyatakan kepada penulis bahwa logika Luthfi bathil. Ia menilai, orang-orang JIL bisa seperti itu karena otaknya sudah dicuci dengan logika sekular. Pernyataan nyeleneh itu sebenarnya menggambarkan ide dasar dalam uji materi di MK. “Mereka tidak meyakini Islam dan risalah Nabi Muhammad,” ujar Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI Hafidz Abdurrahman.
Bahkan gugatan tertulisnya pada hal 21 lebih parah lagi. Dalam berkas yang diserahkan kepada MK tersebut tertulis, …Jika logika penyimpangan agama ini terus dilanjutkan maka sesungguhnya masing-masing agama merupakan penyimpanagn terhadap yang lainnya. Kristen tentu menyimpang dari Yahudi dalam banyak kasus, misalnya bolehnya memakan daging babi atau tidak khitan dalam Kristen, sementara Yahudi melarang memakan babi dan mengharuskan khitanan. Islam pasti penyimpangan nyata dari agama Kristen yang menganggap Yesus sebagai nabi. Jika ditunjuk ke dalam sejarah maka semua agama sebetulnya muncul sebagai bentuk penyimpangan terhadap doktrin-doktrin agama tradisional sebelumnya.
Artinya, bagi pembela aliran sesat itu tentu Islam dianggap sebagai agama sempalan dari Kristen dan Yahudi. Karena Nabi Muhammad saw. yang membawa Islam, maka dengan demikian beliau pun dianggap sebagai orang yang melakukan penyimpangan. Nah, pada titik ini, beliau dianggap sama statusnya dengan Lia Eden, yang melakukan penyimpangan terhadap Islam.
Hafidz menegaskan bahwa logika dan kesimpulan kelompok liberal itu ngawur. Sebab, mereka membangunnya berdasarkan asumsi yang salah. Apa buktinya bahwa Islam merupakan sempalan dari Kristen dan Yahudi? “Jelas tidak ada. Kalaulah pada bagian tertentu ada persamaan, Islam tetaplah Islam; Kristen tetaplah Kristen; dan Yahudi tetap juga Yahudi. Menyamakan ketiganya karena sama-sama agama samawi juga tidak tepat. Karena secara faktual ketiganya juga berbeda,” tegasnya.
Dalam persidangan itu terasa sekali niat kelompok liberal untuk melegalkan paham ateisme dengan mengarahkan agar Indonesia tunduk di bawah Kovenan Internasional yang dikeluarkan PBB.
Ahli Pemohon MM Billah mencoba membedakan antara religion (agama) dan belief (keyakinan). Ia mencoba menarik makna belief sesuai dengan asal mula kata belief itu dimasukkan ke dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCR). Menurut Billah, tadinya kovenan tersebut dibuat untuk melindungi religion saja. Namun, Rusia yang ateis itu keberatan. Karena itu, Rusia meminta setelah kata religion ditulis juga kata and belief atau keyakinan (baca: keyakinan untuk tidak bertuhan). “Karena Rusia kan tidak meyakini adanya tuhan,” tandas lelaki bertopi putih itu, Rabu (24/2) di MK.
Berdasarkan kovenan itulah Billah menginginkan bahwa kearifan lokal termasuk paham ateisme, agnostik, harus dilegalkan dan dilindungi di Indonesia.
Tentu saja pandangan Billah mengundang penolakan keras dari berbagai pihak, salah satunya adalah dari Aisyah Amini. Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI itu menyatakan mereka menggunakan Kovenan Internasional, padahal dalam UUD secara eksplisit dikatakan perlu memperhatikan moral, keamanan umum, dan agama. “Ateis tidak boleh ada dalam negara ini!” tegasnya pada penulis pada sesi istirahat.
Pada sesi tanggapan, Mualimin Abdi, perwakilan dari Pemerintah menyampaikan kritik pedasnya. “Pak Billah ini menjungkirbalikan pasal. Seharusnya seorang ahli itu membaca pasal itu harus satu nafas, jangan dipotong-potong!” tandasnya.
Makanya penafsiran Kitab Suci itu harus diserahkan kepada ahlinya dan itu mengikat pada umatnya. “Pak Billah ini mengatakan siapa saja bisa menafsirkan, ya pantas saja tafsirannya kacau,” ujarnya geram.
Sebelumnya Billah menyatakan a quo baik Pasal 1, Pasal 2 ayat dua dan frasa penistaan agama mengandung multitafsir sehingga akan muncul ketidakpastian hukum dan mengancam HAM sehingga harus dicabut.
Menyimpangkan Ajaran Islam
Dalam kesempatan berikutnya, Rabu (10/3) siang, giliran Hizbut Tahrir Indonesia membongkar agenda jahat kelompok liberal tersebut. HTI menyatakan bahwa para pemohon yang tersebar dalam berbagai kelompok liberal itu memang mempunyai agenda untuk menyimpangkan ajaran Islam dan umat Islam. Musdah Mulia, salah satunya. “Saya pernah berdebat satu forum dengannya, dia menyatakan tidak apa-apa kawin sejenis (homoseks/lesbian) yang penting sakinah, mawadah, wa rahmah,” ujar Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib menunjukan salah satu penyimpangan pendapat Musdah dari ajaran pokok Islam.
Lebih lanjut Rokhmat menyatakan bahwa orang-orang yang tergabung dalam AKKBB yang kini melakukan judicial review UU tersebut tidak konsisten, karena mereka sering menyatakan bahwa dalam masalah pribadi, negara tidak boleh ikut campur; agama termasuk masalah pribadi jadi negara tidak boleh intervensi. Jadi, tidak aneh bila mereka menggugat UU tersebut.
Dengan alasan yang sama, mereka pun berupaya sekuat tenaga agar pornoaksi dan pornografi tidak dilarang. Artinya, mereka meminta seks bebas dibiarkan juga dengan dalih itu urusan pribadi. Padahal sudah jelas-jelas itu haram dalam pandangan Islam. “Tetapi mengapa mereka meminta Pemerintah untuk mengkriminalisasi nikah siri? Padahal halal dalam Islam,” paparnya.
Menurut Rokhmat ketidakkonsistenan pendapat para pemohon tersebut menunjukkan bahwa mereka itu termasuk kelompok Islamophobia, karena mereka konsisten menyerang yang halal dan menganjurkan berbuat keharaman. Padahal kalau dilihat dari KTP-nya mayoritas pemohon adalah beragama Islam.
Rokhmat pun mengkritik pendapat yang menyebutkan bahwa Pemerintah tidak boleh ikut campur dalam perkara privasi. Jelas keliru karena meskipun privasi bukan berarti harus dibiarkan, narkoba, misalnya. “Narkoba saja negara ikut campur, padahal itu uang, uang saya, yang rusak diri saya, kok saya ditangkap dan dipenjara, apalagi masalah agama yang akibatnya jauh lebih besar ketimbang narkoba, jelas negara wajib ikut campur untuk menjaganya dari penistaan!” paparnya.
Pagi harinya pada kesempatan yang sama, pernyataan Thamrin Amal Tomagola, salah seorang ahli dari Mahkamah Konstitusi mendapat kritik keras dari pihak terkait Front Pembela Islam (FPI). Senada dengan para pemohon, Thamrin menginginkan negara tidak boleh mengeksekusi apakah seseorang atau kelompok itu sesat/menistakan agama atau tidak. “Berbahaya kalau negara tidak campur tangan karena akan menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat dengan cara main hakim sendiri. Justru untuk menghindari kekacauan itulah negara harus mengeksekusi mana aliran sesat mana yang tidak,” kritik Ketua Umum FPI Habib Riziq Shihab di dalam sidang tersebut.
Riziq pun mempertanyakan mengapa Pemerintah berlaku diskriminatif dalam menerapkan UU tersebut. “Mengapa Pemerintah tidak menggunakan UU tersebut buat membubarkan aliran sesat Ahmadiyah?” tanyanya retorik.
Padahal UU yang sama telah dikenakan ke berbagai aliran sesat termasuk Lia Eden dan Ahmad Musadeq. “Sikap Pemerintah inilah yang menyebabkan gejolak di tengah masyarakat!” tandasnya.
Baru satu saja aliran sesat yang tidak ditindak, masyarakat marah dan bertindak sedemikian rupa, apalagi kalau semua aliran sesat dibiarkan karena UU tersebut dicabut sehingga Pemerintah tidak mempunyai kewenangan untuk mengeksekusi.
Perkokoh Penjajahan
Muhammad Ismail Yusanto pun dengan tegas menolak pandangan Thamrin dan gerombolan liberal lainnya. Sebab, menurut Jubir HTI itu, cara pandang seperti itu adalah sekular, yang mengerdilkan agama pada aspek individual, ritual dan moralitas belaka. Hal ini menyebabkan pengabaian syariah Islam oleh negara dalam aspek ekonomi, politik, dan sosial. Cara berpikir seperti ini akan mengokohkan ideologi Kapitalisme yang menjadi penyebab kehancuran negara, termasuk Indonesia.
Jadi, menurut Ismail, Tim Advokasi Kebebasan Beragama telah membuka pintu untuk terjadinya kekacauan sosial karena mereka menginginkan dihapusnya UU yang melindungi kehormatan agama. Dengan kata lain, mereka melindungi pengacak-acak agama, penyebar ateisme dan pelanggar HAM. Akibatnya adalah semakin berkembangnya sepilis a+ (sekularisme, pluralisme, liberalisme, ateisme plus penjajahan) di negeri ini. Na’ûdzu billâh! [Joko Prasetyo]
salam
allahu akbar Dia yg melindungi agamaNya dari penyeleweng yg tidak takut pada azabnya. bacalah Quran dengan fahaman yg betul
bukankah Allah mengancam mereka yg maksiat pada Allah dan rasulNya dengan neraka? bagi mereka yg percayakan akhirat pasti berhati2 dalam semua perbuatan dn perkataannyay supaya tidak bercanggah dengan Allah dan rasulNya.
orang liberal memang aneh,,, udah gila kali ya mereka.