HTI

Afkar (Al Waie)

Kebebasan Beragama atau Penodaan Agama?

Dalam gugatan kelompok Liberal terhadap UU Penodaan Agama, kekeliruan yang mendasar dari penggugat adalah tidak bisa membedakan antara penodaan agama dengan kebebasan beragama. Hal ini menimbulkan kesalahan dalam bersikap.

Jaminan Islam terhadap Kebolehan beibadah

Sebagai agama dan ideologi, Islam mengatur segala hal baik berkaitan dengan keakhiratan ataupun kehidupan dunia. Negara beserta seluruh perangkatnya dalam pandangan Islam harus bersumber dari akidah Islam. Oleh karena itu, tidak boleh ada jabatan, kewenangan dan aturan yang menyalahi akidah Islam dan hukum syariah.

Dalam kehidupan publik seluruh warga negara, tanpa memandang agamanya, wajib tunduk pada aturan yang berlaku. Sebaliknya, negara pun memberikan hak-hak setiap warga negaranya sesuai dengan syariah Islam tanpa diskriminasi. Dengan demikian, seorang ahludz-dzimmah, misalnya, berhak mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan dan perlakuan hukum yang sama dengan warga negara yang beragama Islam.

Dalam kehidupan Islam, orang-orang kafir yang menjadi warga negara Khilafah diberi kebebasan untuk memeluk agama mereka. Islam juga mengharamkan kaum Muslim untuk memaksakan keyakinannya kepada pemeluk agama lain. Tempat ibadah mereka juga harus dijaga, termasuk para pemuka agama mereka. Ini sejalan dengan pernyataan Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah SWT dalam surat al-Hajj ayat 40.1

Meski demikian, kebebasan tersebut bukan tanpa batas. Ahludz-dzimmah, misalnya, dilarang menampakkan syiar-syiar agama mereka seperti membunyikan lonceng gereja di tengah kehidupan kaum Muslim, memajang salib-salib mereka di luar gereja dan rumah, mengeraskan suara-suara peribadatan mereka serta memamerkan babi dan khamar di tengah kaum Muslim.

Selain itu, sebagaimana pernyataan Imam Syafii, Khalifah harus mensyaratkan kepada mereka bahwa siapa saja dari mereka yang mengatakan tentang Kitabullah, Muhammad Rasulullah atau ajaran agama Allah yang tidak pantas dan melakukan berbagai pelanggaran lainnya—seperti berzina dengan wanita Muslim, menjadi mata-mata negara kafir harbi atau menjadi perompak—maka perjanjian dengan mereka terputus.2 Dengan kata lain, mereka tidak lagi dikategorikan sebagai warga negara Khilafah.

Mereka juga tidak diperkenankan untuk menyebarluaskan agama mereka. Hal ini karena perbuatan tersebut merupakan bagian dari upaya penyebaran kemungkaran. Allah SWT berfirman:

وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ

Jika mereka melanggar janji mereka setelah mereka berjanji dan mencela agama kalian maka perangilah orang-orang kafir tersebut karena tidak ada lagi janji atas mereka. Ini agar mereka berhenti (berbuat demikian) (QS at-Taubah [9]: 12).

Ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dalil oleh sebagian ulama atas kewajiban membunuh setiap orang yang mencela (ath-tha’n) agama Islam karena ia telah kafir. Celaan terhadap Islam menurut beliau adalah menisbahkan apa yang tidak pantas pada Islam serta meremehkan bagian ajaran agama yang telah ditegaskan kebenaran pokoknya dan kelurusan cabangnya secara qath’i. Salah satu contoh bentuk penodaan tersebut adalah celaan terhadap Nabi saw. Menurut sebagian besar ulama, orang yang mencela Nabi saw., merendahkan martabatnya atau menyifatinya dengan hal-hal yang tidak pantas maka hukuman baginya adalah hukuman mati.3

Penyimpangan Agama

Setiap keyakinan atau perbuatan yang menyalahi ketentuan syariah dalam pandangan Islam dikategorikan sebagai sesuatu yang mungkar, baik dalam perkara akidah maupun dalam perkara hukum syariah. Oleh karena itu, setiap perbuatan tersebut akan diberi sanksi di dunia dan di akhirat.

Dalam perkara akidah, seorang Muslim dianggap telah melakukan penyimpangan jika telah melakukan hal-hal yang dikategorikan sebagai perbuatan riddah yang mengantarkan-nya pada kekafiran. Jika ia melakukan pelanggaran terhadap hukum syariah maka ia dianggap berdosa. Namun, jika yang ditinggalkan itu adalah hukum yang telah ditetapkan secara qath’i dan ia mengingkari kebenarannya maka ia pun jatuh dalam kekafiran.

Imam at-Taftazani memberikan penjelasan beberapa kategori perbuatan yang dianggap kafir yaitu: mengingkari hukum-hukum yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash yang qath’i dari al-Quran dan as-Sunnah; menghalalalkan maksiat, besar atau kecil, yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i, menganggap ringan kemaksiatan dan mengolok-olok syariat. Oleh karena itu, misalnya, orang yang menganggap khamar itu halal, menganggap halal men-jimak istrinya dalam keadaan haid, menyifati Allah dengan nama yang tidak pantas atau menjelek-jelekkan nama-Nya, perintah-Nya ataupun menafikan janji-Nya maka ia telah kafir.4

Hal senada juga dikatakan oleh Abu al-Izz al-Hanafi yang mengatakan, tidak ada perbedaan di kalangan kaum Muslim bahwa jika seseorang mengingkari perkara wajib yang jelas mutawâtir, keharaman yang jelas mutawâtir atau semisalnya, maka ia diminta untuk bertobat. Jika ia bertobat maka diterima. Namun jika ia menolak maka ia harus dihukum mati.5

Al-Ghazali juga mengatakan bahwa orang yang mengingkari salah satu pokok-pokok syariah yang telah diketahui secara mutawâtir dari Rasulullah saw., seperti mengatakan bahwa shalat lima waktu tidak wajib meski telah dibacakan atasnya firman Allah SWT dan Hadis Rasul, lalu ia mengatakan, “Saya tidak mengatahui ini berasal dari Rasulullah,” atau, “mungkin beliau salah, melakukan penyimpangan.”6

Abdurrahman al-Maliki telah memberikan klasifikasi secara rinci tentang hal-hal apa saja yang membuat seseorang murtad baik berupa keyakinan, keraguan, ucapan ataupun perbuatan. Hal-hal tersebut adalah: (a) meyakini apa saja yang telah dilarang secara qath’i dan mengingkari perkara yang telah diketahui secara umum dalam agama (ma’lûm[un] min ad-dîn bi ad-harûrah) seperti mengingkari kewajiban potong tangan bagi pencuri; (b) meragukan perkara-perkara akidah yang dalilnya qath’i seperti meragukan Nabi Muhammad saw.; (c) mengucapkan sesuatu yang tidak mengandung makna lain (ta’wîl) bahwa hal tersebut adalah kekufuran, misalnya, mengatakan bahwa Isa adalah anak Allah; (d) melakukan perbuatan yang tidak ada kemungkinan (ta’wîl) lain bahwa perbuatan tersebut adalah kekufuran, seperti orang yang sujud di depan patung atau beribadah di gereja dengan cara-cara Nasrani.7

Sanksi Negara

Upaya untuk menjaga kebersihan agama Islam dari berbagai penyimpangan merupakan tugas utama Negara Islam. Dalam rangka menjaga kebersihan dan kekuatan akidah umat Islam, selain aktif memberikan pendidikan kepada warganya, negara juga memberlakukan sejumlah sanksi yang tegas atas siapapun yang melakukan tindakan-tindakan yang mencela dan melecehkan akidah Islam serta melakukan penyebaran pemikiran kufur, pemikiran yang meragukan Islam dan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan aqidah Islam.

Imam al-Mawardi mengatakan, “Tugas pertama Khalifah adalah memelihara pokok-pokok agama dan apa yang telah disepakati oleh para salaf ash-shâlih. Oleh karena itu, jika muncul ahli bid’ah, orang yang menyimpang yang membawa keragu-raguan, maka Khalifah harus memberikan argumentasi yang jelas kepadanya, menunjukinya pada kebenaran serta memberikan apa yang pantas baginya, termasuk sanksi. Ini dilakukan agar agama Allah terpelihara dari kerusakan dan umat tercegah dari penyimpangan.”8

Dalam kitab Nizhâm al-’Uqûbât dijelaskan beberapa tindakan yang dikategorikan menodai agama Islam beserta sanksi yang dapat diterapkan negara atas pelakuknya:

a) orang yang melakukan propaganda ideologi atau pemikiran kufur diancam hukuman penjara hingga 10 tahun. Jika ia seorang Muslim maka sanksinya adalah sanksi murtad, yakni dibunuh;

b) orang yang menulis atau menyerukan seruan yang mengandung celaan atau tikaman terhadap akidah kaum Muslim diancam 5-10 tahun. Jika celaan tersebut masuk dalam kategori murtad maka pelakunya (jika Muslim) dibunuh;

c) orang yang melakukan seruan pemikiran kufur kepada selain ulama, atau menyebarkan pemikiran kufur melalui berbagai media, dipenjara hingga 5 tahun;

d) orang yang menyerukan seruan pada akidah yang dibangun atas dalil zhann atau pemikiran yang dapat mengakibatkan kemunduran umat Islam dicambuk dan dipenjara hingga 5 tahun;

e) orang yang meninggalkan shalat dipenjara hingga 5 tahun; jika tidak berpuasa tanpa uzur, ia dipenjara dua bulan dikalikan puasa yang ia tinggalkan; dan orang yang menolak menunaikan zakat, selain dipaksa membayar zakat, ia dipenjara hingga 15 tahun. 9

Adapun tehadap agama ahludz-dzimmah, Islam telah melarang setiap celaan yang ditujukan pada tuhan-tuhan dan sesembahan agama mereka. Hal ini karena perbuatan tersebut dapat memicu terjadinya perlakukan serupa oleh mereka kepada Allah SWT yang jelas merupakan kemungkaran. Allah SWT berfirman:

وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

Janganlah kalian mencela tuhan-tuhan yang mereka seru selain Allah sehingga mereka mereka mencela Allah dengan dengan permusuhan dan tanpa ilmu (QS al-An’am [6]: 108).

Para ulama, menurut al-Qurthubi, menyatakan bahwa larangan mencela tuhan-tuhan mereka bersifat tetap bagi umat pada segala keadaan; jika orang-orang kafir mencegah diri dan takut untuk mencegah Islam, Nabi saw. atau Allah azza wajalla, maka tidak halal bagi seorang Muslim untuk mencela salib-salib mereka, agama mereka dan gereja-gereja mereka; dan tidak melakukan hal-hal yang dapat mengantarkan pada hal tersebut karena itu akan mendorong terjadinya kemaksiatan.10 Oleh karena itu, jika sebuah media di dalam Negara Islam terbukti melakukan penistaan terhadap tuhan dan keyakinan agama ahludz-dzimmah maka penanggung jawab media tersebut akan divonis penjara hingga enam bulan.11

Pada masa pemerintahan Islam. aturan di atas telah ditegakkan oleh Nabi saw. dan para Khalifah setelahnya. Jabir ra. berkata, “Ummu Marwan telah murtad. Lalu Rasulullah saw. memerintahkan untuk menawarkan Islam kepadanya. Jika ia bertobat maka diterima, namun jika tidak maka ia dibunuh.” (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).

Umar bin Abdul Aziz, misalnya, pernah mendebat dan menyadarkan Ghilan ad-Dimasyqi, seorang tokoh Qadariah yang berpendapat bahwa tidak ada takdir Allah dan Allah tidak bersemayam di atas ’Arsy. Namun, pada masa Hisyam bin Abdul Malik, orang tersebut kembali menyebarkan idenya. Setelah mendapatkan bantahan dari Khalifah dan Imam al-Auza’i, sementara ia tetap kukuh dengan pendapatnya, maka ia pun dibunuh dan disalib.12

Penutup

Pasca runtuhnya negara Khilafah, munculnya berbagai penodaan terhadap agama Islam yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik atas nama individu atau kelompok, terus tumbuh dari waktu ke waktu. Tindakan mereka ini terus dibiarkan oleh negara dengan alasan kebebasan berpendapat. Umat Islam memang tidak tinggal diam menyaksikan hal tersebut. Meski demikian, upaya mereka senantiasa terbentur oleh tembok kekuasaan.

Seharusnya hal tersebut semakin menyadarkan umat bahwa negara sekular saat ini sangat sulit diharapkan bahkan mustahil melindungi agama Islam dan umatnya dari berbagai penistaan. Karena itu, Khilafah Islamlah—yang akan menjaga dan memelihara Islam serta kaum Muslim, termasuk mencegah dan membasmi berbagai pelecehan agama—menjadi sangat relevan dan wajib untuk segera diwujudkan. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Catatan kaki:

1 Ibnu Qayyim, …, hlm. 1170/III

2 Ibnu Qayyim, Ahkâm Ahl adz-Dzimmah, Beirut: Dar Ibnu Hazm (1997), hlm. 1234/III.

3 Al-Qurthubi, Al-Jâmi li Ahkâm al-Qur’ân, 82-63/VIII.

4 At-Taftazani, Syarh al-Aqâ’id an-Nasafiyyah, Mesir: al-Maktabah al-Azhariyyah asy-Syarif (2000), hlm. 150.

5 Abu al-Izz al-Hanafiy, Syarh at-Thahawiyyah fî al-‘Aqîdah as-Salafiyyah, Arab Saudi: Jami’ah Imam Muhammad bin Saud al-Islamiyyah hlm. 268.

6 Al-Ghazali, Al-Iqtshâd fî al-I’tiqâd, Beirut: Dar wa Maktabah al-Hilal (1993), hlm. 271.

7 Al-Maliki, An-Nizhâm al-‘Uqûbât, Beirut: Dar al-Ummah (1990), hlm. 85.

8 Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, Beirut: Dar al-Fikr (1960), hlm. 15.

9 Al-Maliki, An-Nizhâm al-‘Uqûbât, Beirut: Dar al-Ummah (1990), hlm. 200.

10 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Riyadh: Dar Alim al-Kutub (2003), hlm. 61/VII.

11 Ziyad Ghazal, Masyrû’ Qânûni Wasâ’il al-A’lam fî Dawlah al-Khilâfah, ttp: Dar Waddah li an-Nasyr, hlm. 69.

12 Ibnu Mandzhur, Mukhtashar Târîkh Damsyiq, 263/VI, tp, tt, al-Maktabah as-Syamilah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*