HTI

Afkar (Al Waie)

Memposisikan Ikhtilaf

Kalau kita membaca secara keseluruhan materi permohonan pengujian materiil UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalah-gunaan dan/atau penodaan agama terhadap UUD 1945, topiknya sebenarnya adalah Islam. Kalangan Liberal ingin melakukan dekontruksi Islam dan liberalisasi pemahaman Islam. Agama lain dicantumkan hanya untuk kedok, tidak lebih. Ini diperkuat dengan saksi-saksi ahli yang mereka hadirkan.

Pada tulisan ini kita tidak ingin mendudukkan pendapat mereka, karena pendapat mereka memang batil. Yang ingin kita dudukkan adalah pencatutan peristiwa yang terkait dengan dua ulama sekaligus Imam Mazhab terkemuka, yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Dalam materi permohonan pengujian materiil terhadap UU nomor 1/PNPS/1965 pada poin 143 hal 50-51 antara lain dinyatakan:

Ketentuan pidana pada pasal 3 UU a quo tidak memenuhi syarat kriminalisasi karena tidak berjalan efektif (unenforceable).

Tafsir adalah konsekuensi logis dari kodrat manusia yang berpikir. Dalam kehidupannya, manusia senantiasa berupaya untuk mengartikan dan menemukan makna dari hal-hal yang dialami dan ditangkap oleh inderanya.

Oleh karena itu, sama seperti tafsir merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, tafsir keagamaan juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan ruhani seseorang…

Hukum tidak akan efektif mengkrimina-lisasi perbuatan yang dilakukan secara lazim oleh semua manusia. Bila hukum pidana menjangkau perbuatan-perbuatan yang wajar, hukum tersebut bukan hanya akan kehilangan maknanya, tetapi juga berakibat mengkri-minalisasikan terlalu banyak orang.

Selain itu, sejarah penghukuman terhadap orang-orang yang memiliki penafsiran atau paham yang dianggap menyimpang dari tafsir, atau paham keagamaan yang lain menunjukkan, bahwa penghukuman seseorang karena keyakinannya tidak menjamin bahwa orang tersebut akan mengubah keyakinannya itu. (Contoh: pada tahun 763 Masehi Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, serta seluruh pengikutnya telah dituduh kafir dan murtad. Beliau ditangkap dan dipenjara, disiksa dan diracun hingga meninggal dunia. Meskipun demikian, ajaran dan pengikut Mazhab Hanafi sampai saat ini tetap hidup dan malah berkembang).

Selanjutnya mereka menyatakan pada poin ke 144:

Ketentuan pidana dalam pasal 3 UU a quo tidak memenuhi syarat kriminalisasi karena perumusan tindak pidana harus dilakukan secara teliti dalam menggambarkan perbuatan yang dilarang (precision principle).

Perumusan juga sumir karena mendasarkan pada penafsiran atau kegiatan yang dianggap menyimpang pokok-pokok ajaran agama, yang mana hal ini merupakan sesuatu yang tidak pasti karena tergantung pihak mana yang menafsirkan dan menentukan pokok-pokok ajaran suatu agama. Kecenderungannya, pihak yang mempunyai penafsiran pada gilirannya mengecualikan pihak yang lain. (Contoh: Ahmad bin Hanbal [tahun 241 H/855] dipenjara dan disiksa karena rezim saat itu mengambil aliran Muktazilah sebagai aliran keagamaan resmi negara, hal mana Ahmad bin Hanbal dianggap menyimpang dari doktrin Muktazilah. Setelah negara mengganti aliran keagamaan resmi, saat itu pula Ahmad bin Hanbal dipulihkan dari status penyimpangannya, bahkan diakui sebagai ulama besar).

Inilah penegasan mereka tentang perbedaan pendapat yang bermula dari tafsir yang berbeda.

Kebohongan dan Fitnah Nyata

Terkait Imam Abu Hanifah, kalau kita membaca kitab-kitab tarajum yang mu’tabar, kita tidak pernah mendengar atau membaca cerita seperti ini. Dari mana mereka mendapatkan cerita bohong ini? Sungguh ini merupakan pernyataan yang kurang ajar terhadap wali Allah, imam agung yang telah menjadi panutan umat dari masa ke masa.

Benar bahwa Imam Abu Hanifah ra. menghadapi cobaan dan ujian untuk beberapa kali. Semua itu terjadi semata-mata karena sikap wara’ beliau. Beliau berupaya keras untuk menolak jabatan-jabatan pemerintahan yang akan diamanahkan pada beliau. Pengarang kitab Al-Khayrat al-Hisan menyata-kan,1“Sesungguhnya Ibnu Abu Hubairah telah mencambuk Abu Hanifah sebanyak 110 kali dengan cemeti agar beliau bersedia memegang jabatan sebagai qadhi, tetapi beliau lebih memilih untuk menolak.”

Ibn Khalikan juga meriwayatkan2:

Abu Ja’far al-Manshur menghendaki Imam Abu Hanifah untuk memegang jabatan sebagai qadhi. Namun, Imam Abu Hanifah menolak dan bersumpah untuk tidak melaksanakan. Al-Manshur pun bersumpah agar Imam Abu Hanifah melaksanakan. Namun, Imam Abu Hanifah bersumpah untuk tidak melakukannya, sambil berkata, “Saya tidak layak menjadi qadhi…” Abu Hanifah tetap menolak untuk memegang jabatan tersebut. Karena itu, al-Manshur memerintahkan untuk memenjarakan Imam Abu Hanifah.

Kisah yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh al-Hafidz adz-Dzahabi.3

Benar, ada riwayat bahwa meninggalnya Imam Abu Hanifah karena diracun. Namun, itu bukan karena beliau dituduh kafir dan murtad. Beliau syahid karena menjadi korban kekhawatiran Abu Ja’far al-Manshur. Dia khawatir Imam Abu Hanifah mendukung lawan politiknya. Al-Hafidz al-Haitsami menambahkan,4

Masih menurut al-Haitsami, “Al-Manshur sangat takut kepada Abu Hanifah yang dikhawatirkan akan berpihak kepada Ibrahim, karena Abu Hanifah adalah orang yang mampu memberikan arahan dan memiliki harta perniagaan yang sangat banyak. Kemudian al-Manshur, memintanya untuk datang ke Baghdad.”

Dengan diskripsi singkat di atas, jelas sekali bahwa bala’ yang menimpa Imam Abu Hanifah yang berakhir dengan syahidnya beliau bukan karena dituduh kafir apalagi murtad, tetapi konsekuensi dari sikap wara’ beliau. Sikap inilah yang menjadikan beliau cenderung menjauhi penguasa. Itulah sikap pribadi Imam Abu Hanifah. Itu yang pertama.

Kedua, karena kekhawatiran Abu Ja’far al-Manshur kalau-kalau Imam Abu Hanifah mendukung lawan politik al-Manshur. Jadi klaim mereka bahwa Imam Abu Hanifah mendapatkan bala’ karena beliau dituduh kafir atau murtad adalah kebohongan yang nyata serta fitnah yang keji terhadap Imam agung lagi mulia ini.

Kebohongan ini lebih nyata lagi kalau kita kaitkan dengan pujian para ulama, khususnya ulama yang sezaman dengan beliau. Imam Yahya bin Said al-Qaththan, misalnya, menyatakan, “Aku tidak berbohong kepada Allah bahwa aku belum pernah melihat pendapat yang lebih baik daripada pendapat Abu Hanifah.”5

Kesimpulan yang Salah

Lalu terkait dengan Imam Ahmad bin Hanbal, sebelum kita melangkah lebih jauh, mari kita memperhatikan deskripsi Imam al-Hafidz Ibn al-Atsir sebagai berikut6:

Peritiwa-peristiwa tahun 218, mihnah terhadap al-Quran al-Majid. Pada tahun ini al-Makmun menulis surat kepada Ishaq bin Ibrahim untuk menguji pada hakim, saksi serta para ahli hadis dengan al-Quran. Barangsiapa yang menetapkan bahwa al-Quran itu makhluk/baru maka dia akan lapang jalannya. Barangsiapa yang menolak maka ajarkanlah dengan hal itu untuk memerintahkannya berdasarkan pengeta-huan dia, dan memberikan kitabnya untuk menegakkan dalil atas kemakhlukan al-Quran…

Surat tersebut (ditulis) pada bulan Rabiul Awwal. Al-Makmun memerintahkan untuk mengimplementasikannya pada tujuh orang, antara lain: Muhammad bin Saad, sekretaris al-Waqidi; Abu Muslim Mustamilli Yazid bin Harun; Yahya bin Ma’in; Abu Khaisyamah Zuhair bin Harb; Ismail bin Dawud; Ismail bin Abi Mas’ud dan Ahmad bin ad-Dauraqi. Lalu mereka ditanya satu-persatu, mereka dites tentang (kemakhlukan) al-Quran. Mereka semua menjawab bahwa al-Quran itu makhluk. Mereka pun dikembalikan ke Baghdad. Itulah secara umum yang dilakukan oleh al-Makmun.

Tentang ujian yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal ini, mari kita memperhatikan dialog al-Mu’tashim al-’Abbasi dengan Imam Ahmad. Al-Mu’tashim berkata, “Wahai Ahmad, bicaralah, dan jangan takut!” Imam Ahmad berkata, “Demi Allah, aku sudah masuk di sini berada di hadapanmu. Sungguh dalam hatiku tidak ada walau sekecil biji kurma sekalipun rasa takut kepadamu.” Al-Mu’tashim berkata, “Apa pendapatmu tentang al-Quran?” Beliau menjawab, “Al-Quran adalah firman Allah yang qadim dan bukan makhluk…”

Mendengarkan penjelasan Imam Ahmad ini, al-Mu’tashim berkata, “Penjarakan dia!”7

Cobaan baik di penjara maupun dicambuk telah dialami oleh Imam Ahmad sejak masa pemerintahan Al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq. Namun, ketika tampuk pemerintahan di pegang oleh al-Mutawakkil, kebijakannya berbeda dengan pendahulu-nya.8Al-Mutawakkil malah mencela pendahulunya yang menyatakan bahwa al-Quran itu makhluk dan masyarakat dilarang untuk memperdebatkan hal tersebut. Pada masa pemerintahan al-Mutawwakil inilah pintu dibuka lebar-lebar untuk para ulama hadis untuk menyebarkan serta meriwayatkan hadits. Imam Ahmad mendapat perhatian khusus dari Khalifah; ia mengagungkan serta memuliakan Imam Ahmad bin Hanbal.9

Dengan fakta di atas, jelas sekali bahwa fitnah yang dialami oleh Imam Ahmad dan ulama-ulama yang lain serta umat ketika itu bukan karena negara memonopoli penafsiran atas Islam. Yang terjadi adalah para pengikut Muktazilah yang kemudian didukung oleh Khalifah memaksakan pemahamannya kepada yang lain, yakni ulama hadis dan para fukaha. Kasus ini pun reda dengan sendirinya ketika Khalifah tidak memberlakukan pemahaman tertentu dalam masalah akidah dan memaksakannya pada masyarakat.

Tentang fenomena Mu’tazilah ini secara ringkas Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali menjelaskan,10“Fenomena Muktazilah adalah fenomena mereka yang melakukan takwil dan salah. Karena itu, posisi mereka adalah layaknya orang yang berijtihad dan salah. Jadi masalahnya adalah masalah yang memungkinkan terjadi ikhtilaf karena takwil yang tidak tepat.”

Dengan demikian, bala’ yang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal sama sekali tidak ada relevensinya dengan dampak negatif pembatasan kebebasan tafsir terhadap ajaran agama (baca: Islam) atau keterlibatan negara dalam membatasi tafsir terhadap ajaran agama.

Memposisikan Ikhtilaf

1. Pengertian ikhtilâf.

Secara bahasa makna ikhtilâf adalah11 bervariasi dalam pendapat dan berbeda dalam menyampaikan (pendapat). Di dalam al-Quran banyak sekali kata kerja dari ikhtilâf (Lihat: QS Maryam [19]: 37; an-Nahl [16]: 124; asy-Syura [42]: 10).

Ringkasnya, kata ikhtilâf lebih sering menunjuk pada mawdhû’ yang tidak qath’i, dan lebih sering merupakan pengantar dialog atau diskusi. Ibn Mas’ud ra. pernah berbeda pendapat dengan Amirul Mukminin Ustman ibn Affan ra. tentang menyempurnakan shalat ketika pergi untuk haji. Namun, mereka berdua tidak berselisih. Bahkan Ibn Mas’ud menyempurnakan shalat bersama dengan Ustman seraya berkata, “Berselisih (khilâf) itu buruk.”12

Masih tentang ikhtilâf, Al-Hafidz Ibnu Qayyim menegaskan,13 “Terjadinya ikhtilâf antarmanusia adalah suatu hal yang sangat wajar terjadi bahkan merupakan keniscayaan karena beragamnya tujuan, pemahaman dan kekuatan pemahaman. Namun yang tercela adalah kedengkian serta permusuhan satu atas sebagian yang lain.”

Ikhtilâf berbeda dengan kata khilâf. Khilâf merupakan isim masdar dari fi’il madhi khâlafa artinya melawan.14 Dalam kamus Mu’jam Al-Wasîth dinyatakan:15 sesuatu yang berlawanan dikatakan berbeda satu sama lain.

Al-Hafidz al-Jurjani menyatakan,16 Khilâf itu adalah perselisihan yang berlangsung di antara dua pihak yang bertentangan untuk merealisasikan yang haq atau membatilkan yang batil.”

Dalam al-Quran antara lain:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ

Hendaknya kamu hati-hati terhadap mereka yang menyalahi perintahnya (QS an-Nur [24]: 63).

Kata khilâf berbeda dengan ikhtilâf. Ikhtilâf lazimnya pada hal-hal yang sifatnya zhanni. Khilaf juga untuk hal-hal yang sifatnya qath’i. Lazimnya kata ikhtilâf obyeknya adalah pemikiran, sedangkan khilâf obyeknya adalah seseorang.17Dengan asumsi ini, penggunaan kata ikhtilâf lebih lazim digunakan dibanding kata khilâf. Ikhtilaf biasanya merupakan entry point untuk saling memahami dan saling menyempurnakan. Para ulama biasa juga menggunakan dua kata tersebut, dan sering dengan “madlûl” yang kurang lebih sama. Namun, lazimnya kata ikhtilâf untuk hal-hal yang terpuji, sedangkan khilâf untuk hal-hal yang tercela.18

Dengan diskripsi ringkas di atas kita menjadi paham bahwa kalau kita bicara ikhtilâf, selalu terkait dengan dua hal: (1) sesuatu yang tidak qath’i atau terkait dengan hal-hal yang zhanni; (2) pendapat atau pemikiran.

2. Memposisikan ikhtilâf dalam Islam.

Secara faktual, ikhtilâf merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tabiat manusia. Ikhtilâf terjadi seiring dengan berbedanya kemampuan dan kapasitas berpikir, fisik, intelektualitas serta kebiasaan maupun bahasa. Kadang apa yang dipandang oleh seorang sebagai maslahat, ternyata bagi yang lain mafsadat, dan sebaliknya. Apa yang disukai oleh seseorang, kadang justru dibenci oleh yang lain, dan sebaliknya.

Karena itu, keberadaan syariah Allah merupakan suatu keniscayaan untuk merealisasikan kebaikan yang hakiki untuk mereka pada setiap masa, menjauhkan keburukan atau benturan pendapat serta perbedaan pendapat yang menimbulkan perselisihan dan perpecahan.

Selain itu, hukum syariah yang datang di dalam al-Quran dan as-Sunnah di dalamnya banyak masalah yang masuk kategori “mengandung banyak arti”, baik dari sisi bahasa maupun dari sisi syariah. Untuk hal-hal yang semacam ini wajar apabila manusia berbeda dalam memahaminya. Bahkan perbedaan pemahaman ini bisa sampai batas terjadi variasi dan perbedaan untuk makna yang membutuhkan penjelasan.19

Kalau kita memperhatikan ikhtilâf yang terjadi di antara para Sahabat dan Tâbi’în sesungguhnya tidak menyentuh inti agama (usûl ad-dîn).20 Ikhtilâf tidak terjadi pada keesaan Allah, bahwa al-Quran itu wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw., yang merupakan mukizat beliau. Tidak pula terkait dengan pokok-pokok kewajiban seperti shalat lima waktu, haji, zakat dan puasa. Dengan kata lain, ikhtilâf tidak terjadi pada salah satu rukun Islam, tidak pula terkait dengan hal yang termasuk kategori “ulima min ad-dîn bi adh-dharûrah”,21seperti keharaman khamr, babi, makan bangkai, kaidah umum tentang waris, dll. Dengan demikian, ikhtilâf itu tidak menyentuh rukun-rukun agama dan juga tidak menyentuh hal-hal yang masuk hal-hal yang pokok yang sifatnya umum.22 [Bersambung]

Catatan kaki:

1 Ibn Hajar al-Haitsami, Al-Khayrât al-Hisan, hlm. 41-42.

2 Ibn Khalikan, Wâfiyyat al-A’yân, V/406.

3 Adz-Dzahabi, Siyâr A’lam an-Nubalâ’, VI/401.

4 Ibn Hajar al-Haitsami, Al-Khayrât al-Hisan, hlm. 92; Ahmad Farid, Min A’lam as-Salaf, hlm. 182.

5 Adz-Dzahabi, Siyâr A’lam an-Nubalâ’, VI/402.

6 Ibn al-Atsir, Al-Kâmil fî at-Târîkh, III/179.

7 Syaikh Ahmad Faridh, Min A’lam as-Salaf, hlm. 455-456.

8 Ibid.

9 Ibid., hlm. 457-458.

10 Al-Ghzali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 81.

11 Syaikh Abdullah bin Beh, Adab al-ikhtilâf, hal 1; lihat http://www.saaid.net/mktarat/m/29.htm

12 Fakhruddin ar-Razi, Al-Mahsûl, IV/335.

13 Syaikh Abdullah bin Beh, Adab al-ikhtilâf, hlm. 2.

14 Ibid.

15 Mu’jam al-Wâsith, I/522.

16 Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, hlm. 135.

17 Syaikh Abdullah bin Beh, Adab al-ikhtilâf, hlm. 1.

18 Dr. Zaid bin Muhammad ar-Rumani, Fiqh al-Khilâf wa al-Ikhtilâf Syarâ’it wa Adabuh, hlm. 9.

19 Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 12.

20 Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah.

21 Dr. Zaid bin Muhammad ar-Rumani, Fiqh al-Khilâf wa al-Ikhtilâf Syarâ’it wa Adabuh, hlm. 9.

22 Syaikh Abdullah bin Beh, Adab al-Ikhtilâf, hlm. 3.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*