HTI

Hadis Pilihan (Al Waie)

Menjaga Diri Dari Su’ al-Khatimah

Imam an-Nawawi menilai hadis ini termasuk pokok agama sehingga beliau memilih dan memasukkannya di dalam Al-Arba’ûn an-Nawawiyah sebagai hadis keempat setelah hadis tentang Rukun Islam.

Dari hadis ini bisa dipetik faedah-faedah berikut: Pertama, proses perkembangan janin di dalam rahim; yaitu 40 hari pertama terbentuk zigot hasil pertemuan sel sperma dan sel telur. Keduanya yang semula terpisah dan terpencar kemudian dihimpun di dalam rahim, bertemu dan berpadu sehingga terbentuk bakal janin (yujma’u khalquhu fî bathni ummihi). Proses tersebut juga dijelaskan di dalam al-Quran QS al-Hajj [22]: 5 dan al-Mu’minun [23]: 14. Hadis ini merupakan salah satu bukti kenabian Muhammad saw. karena informasi seperti itu tidak mungkin disampaikan oleh seorang yang ummi kecuali karena mendapat informasi dari Allah, Zat Yang mengetahui kejadian itu. Pengetahuan tersebut secara sains baru bisa dibuktkan setelah ada penemuan alat modern pada abad 20.

Kedua, hadis ini menjelaskan bahwa pada usia kehamilan 120 hari, Allah mengutus Malaikat dan meniupkan ruh ke janin tersebut. Lalu Malaikat itu diperintahkan untuk menuliskan rezeki, ajal, amalnya dan apakah bahagia ataukah sengsara. Dalam riwayat Imam al-Bukhari, proses penulisan empat perkara itu sebelum ruh ditiupkan.

Ketiga, keadaan atau perbuatan di akhir hidup menentukan nasib manusia di Hari Akhir nanti apakah di neraka atau di surga. Al-Kitab dalam hal ini bukan berarti bahwa Allah menakdirkan seseorang menjadi penghuni surga hingga bagaimana pun perbuatan orang itu sepanjang hidupnya, ia tetap saja akan mengakhiri hidup dengan perbuatan ahli surga, maka ia pun masuk surga. Atau sebaliknya, Allah menakdirkan seseorang menjadi ahli neraka hingga bagaimanapun hidupnya, dia tetap akan mengakhiri hidup dengan perbuatan ahli neraka, maka ia pun masuk neraka. Sebab, jika demikian maka itu artinya Allah menzalimi hamba. Mahasuci Allah dari yang demikian dan sekali-kali Dia tiada menzalimi hamba-Nya (QS Fushshilat [41]: 46).

Makna al-kitab dalam masalah ini tidak lain adalah ilmu Allah. Artinya, sejak awal Allah mengetahui akhir kehidupan seorang hamba, apakah mengerjakan perbuatan ahli surga sehingga akan masuk surga, ataukah mengerjakan perbuatan ahli neraka sehingga akan masuk neraka.

Hadis ini menyatakan akhir perbuatan manusia menentukan nasibnya di Hari Akhir, di surga atau di neraka. Hadis ini juga menyatakan bisa saja orang yang secara lahiriah melakukan perbuatan ahli surga ternyata mengakhiri hidup dengan perbuatan ahli neraka, atau sebaliknya.

Hadis ini mengindikasikan agar seseorang tidak berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah. Sebab, meski ia telah lama mengerjakan perbuatan ahli neraka, maka kalau ia bertobat dengan tawbat[an] nashûhâ, Allah akan menerima tobatnya dan mengampuninya, dan bisa saja ia mendapat husnu al-khâtimah dan nanti akan masuk surga.

Hadis ini sekaligus merupakan peringatan agar kita tidak tertipu dengan perbuatan-perbuatan baik yang telah kita lakukan. Namun, hendaknya setiap kita berharap perbuatan baik itu diterima oleh Allah, sekaligus khawatir akan akhir perbuatan kita. Hendaknya setiap kita khawatir perbuatan yang sedang dilakukan akan menjadi akhir perbuatannya. Sebab, ajal telah ditetapkan oleh Allah, namun tiada seorang pun yang mengetahui kapan datangnya jadi bisa datang kapan saja. Karena itu, jangan sampai kita lengah hingga melakukan kemaksiatan, perbuatan buruk, perbuatan ahli neraka, apalagi sampai kafir dan syirik, lalu itu menjadi akhir perbuatan dan kita mendapatkan sû’ al-khâtimah. Wa al-‘iyâdz biLlâh.

Karena itu pula, hendaknya setiap kita terus-menerus menjaga perbuatan agar merupakan ketaatan, perbuatan baik, perbuatan ahli surga, hingga jika itu menjadi akhir perbuatan di dunia, kita mendapatkan husnu al-khâtimah, dan di Hari Akhir akan masuk surga.

Sebagai hamba yang lemah, sepantasnya kita mengulang-ulang doa sebagaimana yang diulang-ulang oleh Nabi saw.: Allâhumma yâ muqalliba al-qulûb tsabbit qulûbanâ ‘alâ dînika wa yâ musharrifa al-qulûb sharrif qulûbanâ ilâ thâ’atika (Ya Allah, duhai Zat Yang membolak-balik hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu; duhai Zat Yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami menuju ketaatan kepada-Mu). [Yahya Abdurrahman]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*