HTI

Telaah Kitab (Al Waie)

Persamaan Hak dan Kewajiban Warga Negara

Pengantar

Negara merupakan metamorfosis lanjutan dari suatu mujtama’ (masyarakat) yang memerlukan instrumen berupa UUD (dustûr) dan undang-undang (qânûn). UUD dan UU ini bersifat memaksa dan mengikat bagi kelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk mewujudkan keinginan-keinginan bersama. Dengan itu keinginan-keinginan tersebut tidak saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain.

Oleh karena itu, negara (dawlah) sebagai institusi pelaksana bagi sekumpulan konsep (mafâhîm), kriteria (maqâyis) dan keyakinan (qanâ’ât) yang telah diterima oleh sekelompok manusia (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 6) haruslah mampu menciptakan suasana kehidupan yang aman dan nyaman. Dengan begitu, setiap individu warga negara benar-benar merasa berada dalam naungan sebuah otoritas (kekuasaan), seperti yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

إِنَََّ السُّلْطَانَ ظِلُّ اللهِ فِي اْلأَرْضِ، يَأْوِي إِلَيْهِ كُلُّ مَظْلُوْمٍ مِنْ عِبَادِهِ

Sesungguhnya otoritas (kekuasaan) itu merupakan naungan Allah di muka bumi; setiap orang yang terzalimi di antara para hamba-Nya pergi berlindung padanya (HR al-Baihaqi).

Telaah kitab dalam kesempatan kali ini akan mengkaji Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 5 yang berbunyi: Setiap warganegara (Khilafah) Islam mendapatkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan ketentuan syariah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 23).

Muslim Bukan Syarat Warga Negara

Tidak seperti ocehan provokatif yang dilontarkan oleh mereka yang membenci Islam dan kaum Muslim, bahwa Negara Khilafah—yang tidak lama lagi akan tegak kembali dengan izin Allah—akan memaksa dan membantai setiap non-Muslim yang ada di wilayahnya. Sungguh, ini merupakan ocehan yang sama sekali tidak bernilai. Sebab, Negara Khilafah tidak mensyaratkan warga negaranya harus Muslim, sebagaimana dalam pasal 5 Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam.

Ada dua syarat sehingga seseorang dapat dianggap sebagai warga negara Khilafah. Pertama: ia harus menetap di dalam wilayah Negara Khilafah Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 24). Di antara para ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Hanifah, Abu Yusuf dan ar-Razi; dari kalangan ulama kontemporer di antaranya adalah al-Maududi dan Sayyid Quthub (Tubuliak, al-Ahkâm as-Siyâsiyah li al-Aqalliyât al-Muslimah fî al-Fiqh al-Islâmi, hlm. 151).

Kedua: ia harus loyal terhadap negara dan sistem (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 142).

Dalil untuk syarat pertama, yaitu harus menetap di dalam wilayah Negara Khilafah, adalah: Pertama, firman Allah SWT:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. (Terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, tidak ada kewajiban sedikitpun atas kalian melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah (QS al-Anfal [8]: 72).

Sayyid Quthub rahimahullâh berkata, “Mereka—yakni orang-orang yang tidak berhijrah—tidak dianggap sebagai anggota masyarakat Islam; Allah pun tidak memberi mereka hak untuk mendapatkan pertolongan—apapun bentuknya—dari masyarakat Islam. Sebab, mereka secara riil bukan bagian dari masyarakat Islam. Bagi mereka berlaku firman Allah: (Terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, tidak ada kewajiban sedikitpun atas kalian melindungi mereka.” (Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân, III/1.559).

Al-Maududi rahimahullâh juga berkata, “Ayat ini menjelaskan dua asas warga negara: iman dan tinggal di Negara Islam atau pindah ke Negara Islam. Apabila seseorang beriman, namun ia tidak meningalkan kewarganegaraan negara kufur, yakni tidak berhijrah ke Negara Islam, dan tidak menetap di Negara Islam, maka ia tidak dianggap sebagai bagian dari rakyat Negara Islam. Adapun orang-orang yang beriman yang menetap di Negara Islam, sama saja apakah ia dilahirkan di Negara Islam, atau ia pindahan dari negara kufur, maka mereka dianggap bagian dari rakyat Negara Islam; mereka mendapatkan hak yang sama serta wajib tolong-menolong dan lindung-melindungi di antara mereka.” (Al-Maududi, Tadwîn ad-Dustûr al-Islâmi, hlm. 56-57).

Kedua, sabda Rasulullah saw., yang di antaranya adalah hadis dari Sulaiman bin Buraidah ra., yang di dalamnya dituturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ الى دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ ما لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِريْنَ، فَإِنْ أَبَوْا أنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ، يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ. وَلاَ يَكُونُ لَهُمْ فِي الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ شَيْءٌ. إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ

Serulah mereka berpindah dari negerinya (darul kufur) ke Darul Muhajirin (Darul Islam) dan beritahukanlah kepada mereka, bahwa jika mereka telah melakukan semua itu maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum Muhajirin dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum Muhajirin. Jika mereka enggan untuk berpindah, sampaikan kepada mereka bahwa status mereka seperti status kaum Muslim yang tidak memiliki tempat tinggal tetap (nomaden); bagi mereka berlaku hukum Allah yang berlaku bagi orang-orang yang beriman, namun mereka tidak berhak mendapatkan ghanîmah dan fai’ sedikitpun, kecuali mereka turut berjihad bersama kaum Muslim (HR Muslim).

Hadis ini dengan jelas menegaskan bahwa siapa saja yang tidak berpindah ke Negara Islam tidak dianggap sebagai warga negara Khilafah. Akibatnya, ia tidak memiliki hak dan kewajiban yang sama, seperti yang dimiliki oleh warga negara Khilafah Islam, sekalipun ia seorang Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 24).

Rasulullah saw. bersabda:

أَنَا بَرِيْءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهَرِ المُشْرِكِيْن

Aku berlepas diri dari seorang Muslim yang tinggal di antara komunitas kaum musyrik (HR at-Tirmidzi).

Hadis ini menjelaskan bahwa Rasulullah saw. berlepas diri dari seorang Muslim yang hidup di negara kufur (Dârul Kufur), yang menjadikan statusnya tidak sama dengan status seorang Muslim yang hidup di Negara Islam (Dârul Islam). Hal ini menunjukkan bahwa seorang Muslim yang hidup di negara kufur (Dârul Kufur) bukanlah rakyat Negara Islam (Tubuliak, Al-Ahkâm as-Siyâsiyah li al-Aqalliyât al-Muslimah fî al-Fiqh al-Islâmi, hlm. 153).

Adapun dalil untuk syarat yang kedua, yaitu harus loyal terhadap negara dan sistem adalah fakta dalam Watsîqah (Piagam) Madinah, yang kemudian oleh Dr. Hasyim Yahya al-Mallah (2007: 41) disebut dengan UUD Madinah (Dustûr al-Madînah), yang di antara isinya (butir ke-11) menyatakan: Setiap insiden atau perselisihan yang terjadi di antara pemilik piagam ini, yang dikhawatirkan dampak buruknya, maka keputusannya harus diserahkan kepada Allah SWT dan Muhammad saw. (Al-Buthi, Fiqh as-Sîrah, hlm. 205). Hal ini menunjukkan bahwa setiap warga negara Muslim dan non-Muslim harus tunduk dan loyal terhadap negara.

Melalui uraian di atas, Muslim bukanlah syarat untuk menjadi warga negara Khilafah. Seorang non-Muslim yang rela tinggal di dalam Negara Islam serta loyal terhadap negara dan sistemnya merupakan bagian dari warga negara Khilafah, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti halnya warga negara Khilafah yang lain dari kaum Muslim. Sebaliknya, seorang Muslim yang menetap di negara kufur bukan bagian dari warga negara Khilafah sehingga ia tidak memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti kaum Muslim yang menjadi warga negara Khilafah.

Hak dan Kewajiban Warga Negara non-Muslim

Dalam hukum Islam, warga negara Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi, yaitu setiap warga negara yang beragama selain Islam. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 24).

Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warga negara Negara Islam. Mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan dan harta benda mereka.

Warga negara non-Muslim berhak menjalankan keyakinan dan agama mereka. Begitu juga dalam hal makanan dan pakaian; warga negara non-Muslim berhak mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik, selama masih dalam koridor peraturan umum (yakni selama masih dibenarkan oleh syariah Islam), serta berhak melakukan pernikahan dan perceraian di antara mereka berdasarkan ketentuan agama dan keyakinannya (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 145).

Dalil atas ketentuan di atas adalah firman Allah SWT:

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) (QS al-Baqarah [2]: 256).

Berdasarkan ayat ini Negara Islam tidak boleh memaksa orang-orang non-Muslim untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Ini terbukti melalui fakta bahwa hingga hari ini masih ada komunitas Yahudi dan Kristen yang tinggal di kawasan Timur Tengah walaupun Negara Islam pernah berkuasa di kawasan tersebut selama 1300 tahun.

Adapun berkenaan dengan aturan-aturan lain yang digariskan syariah Islam, yang terkait dengan hubungan sosial kemasyarakatan—seperti sistem sanksi, sistem peradilan, sistem pemerintahan, ekonomi dan lainnya—maka warga negara non-Muslim wajib terikat dengan hukum syariah Islam sama seperti warganegara Muslim (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 146).

Dasar atas ketentuan di atas adalah dalil-dalil umum yang mencakup semua warga negara, Muslim dan non-Muslim, seperti perintah menghukumi di antara manusia dengan adil (QS an-Nisa’ [4]: 58); Rasulullah pernah menghukum mati orang Yahudi karena membunuh seorang perempun (HR al-Bukhari); Rasulullah pernah merajam laki-laki dan perempuan Yahudi karena keduanya berzina (HR al-Bukhari); dan banyak lagi lainnya, yang menunjukkan bahwa dalam hal ini tidak ada bedanya antara warganegara Muslim dan non-Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 25-26; Radhi, Hizb at-Tahrîr Tsaqâfatuhu wa Manhâjuhu fî Iqâmah Dawlah al-Khilâfah al-Islâmiyah, hlm. 272-273).

Dengan melakukan kajian atas peraturan dan hukum-hukum Islam terhadap warganegara non-Muslim, kita dapat melihat bahwa Negara Khilafah bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti oleh kaum non-Muslim. Khilafah adalah sebuah negara yang akan membawa mereka keluar dari kegelapan dan penindasan sistem kapitalis, menuju cahaya dan keadilan Islam. Perlakuan Khilafah terhadap warga negara non-Muslim semacam inilah yang kemudian membuat banyak orang memeluk agama Islam. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Daftar Bacaan

Al-Buthi, Dr. Muhammad Said Ramadhan, Fiqh as-Sîrah Dirâsât Manhajiyah li Sîrah al-Musthafa ‘Alaihis Salam (Beirut: Darul Fikr), 1990.

Al-Mallah, Dr. Hasyim Yahya, Hukûmatur Rasûl saw. Dirâsah Târikhiyah–Dustûriyah Muqâranah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), Cetakan I, 2009.

Al-Maududi, Abul A’la, Tadwîn ad-Dustûr al-Islâmi (Beirut: Muassasah ar-Risalah), 1980.

An-Nabhani, Taqiyuddin, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VII, 2002.

—————, Al-Syakhshiyah al-Islâmiyah, Juz II (Beirut: Darul Ummah), Cetakan V, 2003.

—————, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

Quthub, Sayyid Quthub, Fi Zhilâl al-Qur’an (Beirut: Darusy Syuruq), Cetakan IX, 1980.

Hizbut Tahrir Indonesia, “Perlakuan Negara Khilafah Terhadap Non Muslim,

http://hizb-indonesia.info/2010/01/08/perlakuan-negara-khilafah-terhadap-non-muslim/

Radhi, Muhammad Muhsin, Hizb at-Tahrîr Tsaqâfatuhu wa Manhâjuhu fî Iqâmah Dawlah al-Khilâfah al-Islâmiyah (Baghdad: Al-Jami’ah Al-Islamiyah), 2006.

Tubuliak, Sulaiman Muhammad, al-Ahkâm as-Siyâsiyah lil Aqalliyât al-Muslimah fî al-Fiqh al-Islâmi (Beirut: Darun Nafa’is), Cetakan I, 1997.

One comment

  1. ERREN NURUL HIKMAH

    saat nya khilafah memimpin dunia dengan syari’ah . . .
    ALLAHUAKBAR . . .
    nagara indonesia harus diselamatkan dengan syari’ah agar semua penduduk dapat merasakan indah nya hukum ALLAH ketika syari’ah itu diterapkan.
    semangat …. !!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*