Diakui atau tidak, Skandal Century bukan saja telah menciderai kekuasaan SBY-Budiono dan Demokrat, tetapi juga telah membuka selubung tabir kekuasaannya sehingga keperkasaan koalisi yang begitu besar dan tambun itu ternyata rapuh. Hasil akhir voting Sidang Paripurna DPR soal Century membuktikan itu; 325 suara memilih opsi C, sementara 212 suara memilih opsi A. Memang aneh, kekuasaan yang diperoleh dengan kemenangan telak, lebih dari 60%, dan hanya berlangsung satu kali putaran saat Pilpres 2009 yang lalu, ternyata begitu rapuh.
Yang menarik, saat kekuasaannya yang sudah rapuh dan nyaris terpuruk, Obama berencana datang. Lalu menjelang rencana kedatangannya—meski akhirnya ditunda hingga bulan Juni depan—mencuat kembali isu terorisme. Ada apa sebenarnya?
Kalau kita konsisten dengan kesimpulan primer bahwa terorisme adalah fabricated issue (isu buatan) yang dirancang oleh AS untuk mengokohkan cengkeraman dan penjajahannya terhadap Dunia Islam, maka apa yang sedang terjadi sekarang di negeri ini, sejak awal kemunculan isu ini, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan tersebut. Memang betul, ada pelaku lapangan yang melakukan aksi. Namun masalahnya, isu tersebut seolah-olah muncul pada momen-momen tertentu, saat-saat dibutuhkan; saat kekuasaan SBY-Budiono rapuh, saat kunjungan ke Australia dan saat Obama berencana datang. Inilah tiga kebetulan yang terjadi dalam waktu bersamaan. Karena itu, siapapun yang mempunyai nalar sehat pasti akan bertanya: kok bisa?
Rencana kedatangan Obama, yang akhirnya ditunda menjadi bulan Juni nanti, selain untuk memantapkan kepentingan AS di negeri ini, juga digunakan penguasa negeri ini untuk mempertahankan kekuasaannya. Sejak awal, kita telah mencium aroma tidak sedap, ketika tim screet service AS dikirim beberapa minggu sebelum rencana kedatangan Obama bulan Maret lalu. Saat itu, isu terorisme ini belum muncul, dan Sidang Paripurna DPR belum memutuskan hasil akhir soal Century. Karena itu, dengan mudah bisa dibaca, bahwa isu terorisme ini merupakan titik pertemuan banyak kepentingan untuk mengokohkan kekuasaan masing-masing. Bagi penguasa di sini, isu ini tentu sangat strategis untuk meningkatkan great dan loyalitasnya, di antara para pesaingnya yang lain di mata AS. Selain untuk marketing di luar negeri, seperti yang kita lihat saat kunjungannya ke Australia, di dalam negeri isu ini juga bisa digunakan untuk mengalihkan opini masyarakat, sekaligus mengerem bola salju isu Century agar tidak terus membesar dan melibas kekuasaannya. Apalagi setelah sang penguasa dengan percaya diri membela mati-matian dua pembantunya. Pembelaan ini sebenarnya bisa menjadi blunder yang justru bisa menggerogoti kekuasaannya, sebagaimana yang pernah diingatkan oleh Amien Rais. Namun, toh dia tetap nekad.
Memang betul, setelah hasil akhir Rapat Paripurna DPR, isu Century ini seolah-olah tenggelam dan lenyap ditelan bumi. Meski masih ada sejumlah aktivis terus mengangkat isu ini, tampaknya ia belum mampu menggeser isu utama, terorisme. Andai saja tidak ada isu terorisme ini, sangat mungkin Skandal Century tersebut benar-benar menjadi godam yang akan menghempaskan kekuasaan pemangkunya. Namun, isu terorisme “untuk sementara” benar-benar mampu menyelamatkannya. Sampai kapan? Wallâhu a’lam.
Obama sendiri perlu menjaga kekuasaannya di mata rakyatnya, juga kepentingan AS di dunia, khususnya di Dunia Islam. AS saat ini memang sedang didera hutang yang sangat besar, diperkirakan mencapai USD 16 triliun, dan tidak mampu bayar. Dalam perdagangannya dengan Cina, AS meminta Cina untuk mengapreasiasi Yuan, dan tidak dipatok dengan nilai tetap sehingga tidak menyulitkan AS. Namun, permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Cina. Hanya saja, sampai saat ini belum ada satu pun negara adidaya di dunia yang bisa mengakuisisi AS dengan semua hutangnya, sebagaimana yang dilakukan AS terhadap Meksiko. AS tentu sangat takut jika ada Khilafah yang berdiri dengan mata uang tunggalnya, Dinar dan Dirham, satu-satunya adidaya yang bisa mengakuisisi AS dengan semua hutangnya. Namun, kapan dan di manakah Khilafah itu akan berdiri?
Karena itu, dalam konteks dua perspektif inilah, Indonesia begitu penting bagi AS. Selain khitthah politik AS yang hingga kini masih tetap berjalan di Indonesia, dengan potensi pasar, demografi dan kekayaan alamnya, Indonesia merupakan koloni yang sangat penting bagi AS. Hanya saja, setelah dekade tahun 90-an, hubungan militer AS-Indonesia renggang. Kondisi ini memperlemah cengkeraman AS di negeri ini. Karena itu, AS ingin memperkuat posisinya dengan meningkatkan kembali kerjasama militer di antara keduanya. Menlu AS Hillary Clinton menyatakan (25/2/2010), AS menginginkan kerjasama lebih lanjut dalam bidang militer dan perang melawan terorisme dengan Indonesia. Sepertinya keinginan itu juga mendapat sambutan dari Indonesia. Pejabat militer di Indonesia menegaskan (13/3/2010), rencana kehadiran Obama harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kerjasama militer. Jika ini terjadi maka hampir bisa dipastikan, cengkeraman AS akan semakin meningkat di negeri ini. Ini jelas berbahaya, bukan saja bagi Islam dan umatnya, tetapi juga militer dan negeri ini sendiri. Inilah kepentingan pertama AS di Indonesia.
Selain menjadi koloni penting bagi AS, Indonesia juga bisa menjadi ancaman bagi AS, terutama ketika rakyatnya menginginkan negeri ini menjadi Khilafah. Itulah mengapa, proyek liberalisasi dengan dana miliaran hingga triliunan terus-menerus dijalankan di negeri ini. Tentu targetnya adalah menghancurkan kekuatan negeri Muslim dan populasi umat Islam terbesar di dunia ini. Jika proyek ini berhasil maka negeri Muslim terbesar ini, baik secara geografis maupun demografis, akan tetap bisa dikangkangi oleh AS. Sebaliknya, jika tidak, maka Indonesia yang akan menjadi adidaya dengan Khilafahnya itu justru akan mengakuisisi AS. Tinggal kita di mana, menjadi kaki tangan AS, pecundang Islam dan umatnya, atau pejuang Khilafah? Semuanya memang terserah kepada kita. Namun, Nabi saw. mengingatkan, bahwa bersabar itu hanya sebentar, as-shabru sa’ah. Selanjutnya, kita akan menuai hasilnya. []