Pengantar Redaksi:
Umat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia tentu tidak membutuhkan liberalisasi agama. Namun, anehnya, beberapa tahun belakangan, liberalisasi agama justru digencarkan di tengah-tengah kaum Muslim, terutama oleh kalangan liberal. Ada apa sebenarnya? Betulkah ini demi kepentingan Islam dan kaum Muslim? Apa urgensinya? Ataukah ini hanya bagian dari agenda dan skenario asing?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, Redaksi mewawancarai Ustadz Harits Abu Ulya, Ketua Lajnah Siyasiyah DPP Hibut Tahrir Indonesia. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Ustadz melihat upaya liberalisasi agama di negeri ini?
Kalangan Liberal saat ini tidak hanya mempropagandakan Liberalisme dalam tataran ide dengan berbagai wasilah media yang mereka miliki serta dalam berbagai even dan momentum yang mereka buat, tetapi sudah merambah ke sektor legislasi atau perundang-undangan. Kerja mereka menolak atau membuat undang-undang. Mereka menolak undang-udang yang sudah ada dengan menempuh jalur judicial review (uji materi). Targetnya adalah revisi atau bahkan pembatalan undang-undang yang digugat. Dengan itu mereka dapat leluasa menjalankan misi liberalisasi kehidupan beragama, khususnya di kalangan umat Islam di Indonesia. Berikutnya ada yang kerjanya membuat draft akademik perundang-undangan dan semisalnya. Isi dari draft ini tentu sangat liberal. Draft terebut kemudian ditawarkan kepada pemerintah dan parlemen dengan harapan bisa diterima dan di adopsi.
Kasus judicial review di MK (Mahkamah Konstitusi) oleh segerombolan LSM, lembaga advokasi hukum dan beberapa person yang meminta MK membatalkan UU No 1/PNPS/1965 jo UU No5 th 1969 terkait penodaan dan penistaan agama adalah bentuk modus kerja pertama. Sebelumnya, mereka melakukan gugatan terhadap UU Pornografi di MK. Adapun upaya kelompok yang membuat Counter Legal Draft KHI (Kompilasi Hukum Islam, UU No.1 Tahun 1974), atau upaya pengajuan draft UU pemidanaan terhadap nikah siri adalah modus yang kedua.
Apakah agenda liberalisasi agama ini berdiri sendiri?
Liberalisasi berdiri dan berdampingan dengan agenda demokratisasi dan HAM, selain isu lingkungan hidup, hak paten, termasuk juga di dalamnya liberalisasi di sektor perdagangan. Ini yang disebut dengan Pentagon Trap; lima perkara pokok yang harus diimplemantasikan oleh Barat (AS) dalam rangka mengemban ideologi Kapitalismenya di berbagai belahan dunia, termasuk dunia Islam khususnya. Liberalisasi agama menjadi derivat dari proyek liberalisasi secara umum.
Jadi liberaliasasi agama ini bagian dari strategi umum liberalisasi?
Ya, umat Islam hendak diliberalkan dalam seluruh aspek kehidupannya; keyakinan, kepemilikan, berperilaku dan berpikir. Agenda liberalisasi tidak didesain untuk satu aspek dengan meninggalkan aspek lain. Target utamanya adalah tegaknya ideologi sekular-kapitalis di Dunia Islam dan langgengnya penjajahan di Dunia Islam.
Siapa aktor-aktor liberalisasi agama di negeri ini?
Aktornya cukup beragam. Ada kalangan intelektual yang tercelup dengan pemikiran Barat, para pejabat di birokrasi, kalangan di lembaga-lembaga tinggi pemerintahan, bahkan dari kalangan guru agama (yang beberapa person dipanggil “kiai” dan semisalnya). Begitu juga beragam orang yang terhimpun dalam LSM-LSM yang focus pada isu HAM, Demokrasi dan Pluralisme. Bahkan ada orang-orang asing yang secara sengaja langsung datang untuk mensupervisi LSM-LSM penggiat isu HAM atau dia sendiri yang menjadi corong dalam berbagai kesempatan yang di desain untuk mereka. Jika diperlukan, para tamu dari Barat (AS) yang mewakili negaranya didatangkn dalam lawatan-lawatan resmi kenegaraan. Mereka kemudian berkoar memberikan stressing pada pentingnya kebebasan dan demokrasi.
Seperti apa strategi liberalisasi agama yang mereka jalankan?
Ada beberapa strategi. Pertama: penguatan di legal frame, legislasi perundang-undangan yang substansinya liberal, baik dalam bentuk penyiapan draft UU yang substansinya liberal atau penghadangan setiap RUU yang akan membatasi ruang gerak liberalisasi. Misalkan yang terbaru terkait konten media, kelompok liberal akan mati-matian menentang RPM (rancangan Peraturan Menteri) perihal konten media. Kalau perundang-undangan perihal konten media tidak searah dengan nafas liberalisasi, tentu agenda liberalisasi akan terpasung dan tereduksi efektivitasnya. Apalagi semua orang sadar, betapa pentingnya peran media untuk mengintrodusir pemikiran dan pemahaman liberal kepada umat Islam. Media sebagai jendela informasi masyarakat sangat berpengaruh terhadap konstruksi perilaku dan mindset (cara berpikir) masyarakat. Saya juga melihat, Departemen Agama yang mengurusi masalah agama pada bagian Litbang disusupi orang liberal. Mereka sangat fokus dan respek pada ide-ide liberal. Bahkan saat ini sedang dilakukan penelitian untuk merumuskan dakwah Islam yang berwawasan multikultural. Ini sebuah ide untuk mengimplementasikan tercapainya masyarakat yang menganut ide sesat “pluralisme’ yang merelatifkan semua nilai kebenaran.
Kedua: dengan penerbitan buku-buku dan penyebarluasannya secara terorganisasi. Buku tersebut memahamkan konsep atau ide-ide sesat liberal, termasuk di dalamnya dalam masalah agama. Misalkan terbitnya buku yang tidak kredibel Ilusi Negara Islam oleh Wahid Institute.
Ketiga; mem-branding (penokohan) person-person tertentu, dari kalangan intelektual (cendekiawan Muslim) dan tokoh agama untuk naik ke permukaan, menjadi “artis” di tengah umat, agar umat menjadikan mereka sebagai rujukan dalam persoalan agama dan sikap mereka terkait dengan politik. Tentu dari “agen-agen” lokal ini, yang selalu keluar dari mulut-mulut mereka adalah ide-ide liberal. Otomatis, umat yang mayoritas masih perlu bimbingan (awam) ini akan mudah menjadi pengekor dan menggerombol di belakang tokoh-tokoh yang dimainkan ini. Kuncinya, dukungan dan kolaborasi media yang berperan besar dalam menyukseskan strategi ini.
Keempat: propaganda “interfaith dialogue”, dialog lintas agama atau forum lintas agama untuk melahirkan sikap-sikap toleran (tasâmuh) di antara tokoh-tokoh agama. Para tokoh-tokoh agama Islam didorong untuk menerima racun “pluralisme” sebagai agama baru, dengan bahasa tasâmuh (toleransi), tawâsut (sikap moderat) dan semisalnya. Bisa jadi nanti shalat boleh dilakukan di gereja atau kebaktian boleh dilakukan di masjid. Pendeta mati perlu di-talqin dan kiai jelang ajalnya boleh dibaptis.
Kelima: kurikulum pendidikan juga menjadi obyek garapan dari proyek liberalisasi. Inilah sektor yang sangat menentukan bagaimana mainstream pemikiran dan sikap generasi Islam kedepan.
Keenam: kerjasama lintas ormas atau institusi dalam berbagai even budaya dan pemikiran. Di sana banyak jebakan yang akan mereduksi konsistensi ideologi Islam yang dimiliki.
Inilah beberapa bentuk strategi yang secara intensif mereka kerjakan.
Lebih khusus, gerombolan orang liberal ini juga menyusun strategi untuk menghadapi para pejuang syariah dan khilafah: (1) strategi yang ditujukan untuk “membunuh” ide syariah dan Khilafah; (2) strategi yang ditujukan untuk membunuh karakter para pengemban dakwah syariah dan Khilafah dan gerakannya; (3) strategi mengalihkan perhatian pada aktivitas-aktivitas cabang; (4) strategi mengadu domba antarkelompok Islam dan membenturkan kelompok Islam dengan elemen-elemen masyarakat lain; (5) jalan kekerasan.
Adakah peran/unsur asing di balik agenda liberalisai agama ini? Apa indikasinya?
Tentu ada peran asing karena hakikatnya proyek ini aslinya datang dari asing. Contoh yang dilakukan pada gugatan (judicial review) oleh gerombolan orang-orang liberal terkait UU penistaan agama (UU No.1/PNPS/1965) dengan menghadirkan saksi ahli Prof. W Cole Durham Jr (seorang ahli hukum dan spesialisasi hukum kebebasan beragama internasional dan pernah berhasil di Peru merekomendasikan kebebasan beragama) dari AS. Bisa jadi dia ini gurunya orang-orang liberal yang berkoar-koar saat ini. Ini indikasi nyata keterkaitan proyek liberalisasi dengan asing, baik posisinya hanya sebagai donatur ataupun sebagai “guru” dan supervisor dari ‘agen-agen” lokal pengusung liberalisme. Dari pengakuan mulut mereka sendiri, yaitu adanya lembaga-lembaga asing yang konsisten membiayai LSM-LSM komparador lokal untuk merancang secara sistemik di tengah-tengah umat Islam agar ide dan agenda liberalisasi bisa diterima. Misal pada kasus penyusunan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI), Siti Musdah Mulia harus mengucapkan terima kasih ke The Asia Foundation dan ini bukan basa-basi karena LSM Internasional asal AS ini kerap men-support dana. Bahkan untuk riset lapangan CLD-KHI, The Asia Foundation mengucurkan Rp 6 miliar. Jaringan Orang Liberal (JOL), menurut pengakuan si Ulil Abshar, menerima bantuan dari TAF Rp 1,4 miliar pertahun. Kasus lain; pemberian beasiswa dan kemudahan kepada kalangan intelektual muda umat Islam yang potensial untuk mengenyam pendidikan di Barat dan pulang menjadi pion-pion (budak) proyek westernisasi di Dunia Islam.
Sebenarnya apa tujuan utama liberalisasi agama itu?
Tidak lain lahirnya individu dan masyarakat sekular dan eksisnya penjajahan mereka di Dunia Islam. Umat Islam diasingkan dari agama (akidah dan syariahnya). Mereka ingin mengasingkan agama dari kehidupan masyarakat dan membatasi kegiatan keagamaan sebagai urusan pribadi dan suka-suka hati dan pikiran masing-masing orang. Agama diprivatisasi dan aturannya direduksi sebatas nasihat dan ritual an sich. Agama dikebiri untuk tidak masuk wilayah publik. Umat Islam, dengan agamanya, akhirnya sama saja dengan tidak beragama.
Menurut saya, liberalisasi agama juga sebuah eufimisme untuk menjadikan umat Islam itu ateis, karena akibat yang ditimbulkan adalah terhempasnya keyakinan umat dan terabaikannya syariah yang bisa berujung pada pengingkaran Allah SWT sebagai al-Khâliq (Pencipta) dan al-Mudabbir (Pengatur).
Lalu seberapa bahayanya bagi Islam, umat Islam dan negeri ini?
Bagi umat Islam liberalisasi secara umum akan menghasilkan kerusakan yang masif, di segala sektor dalam kehidupan riil mereka; baik di level individu, keluarga maupun masyarakat. Liberalisasi akan melahirkan kehidupan masyarakat yang materialis, permisif dan hedonis. Liberalisme hanya akan menimbulkan kesenjangan sosial, melahirkan penyakit sosial dan menghancurkan moral masyarakat; membawa umat Islam masuk dalam ruang kehidupan yang keluar dari fitrah mereka sebagai hamba Allah SWT. Peradaban hewani akan menjadi warna masyarakat, karena fungsi wahyu dan peran keyakinan tidak lagi ada. Yang berkuasa adalah akal dan nafsu. Ujung perjalanan dari masyarakat yang liberal adalah kehancuran nilai dan makna hidup. Noam Chomsky, cendekiawan masyhur dari AS, menyatakan prediksinya bahwa dalam waktu dekat Liberalisme akan menemui kehancuranya, menyusul Fasisme dan Komunisme.
Liberalisme juga menjadikan Islam tidak lagi sakral sebagai agama. Kebenaran Islam menjadi relatif. Bahkan teks-teks wahyu perlu mereka gugat dan revisi agar selaras dengan keinginan hawa nafsu mereka. Wahyu itu di anggap up to date kalau memberikan ruang dan keniscayaan untuk selalu mengikuti kemauan dan keinginan nafsu-nafsu manusia yang bebas aturan (sistem). Kelompok orang liberal di Indonesia, misalnya, mencoba mengkodifikasi ulang al-Quran menurut versi dan metodologi liberal mereka. Islam dipasung menjadi sekadar informasi kajian intelektual yang tidak perlu ada komitmen apapun terhadapnya, kecuali sebagai pengetahuan.
Akan banyak penistaan terhadap Islam, sementara pelakunya lenggang kangkung. Hukum akan mandul menghadapi kezaliman terhadap Islam dan umatnya. Ini sekaligus akan merangsang respon yang tak terkontrol. Kontraksi sosial ini akan melahirkan ketidakpercayaan terhadap pemerintahan. Indonesia akan terkoyak dan terancam keutuhannya.
Kalau begitu bagaimana menghentikan agenda liberalisasi agama ini?
Tanggung jawab terbesar untuk menangkal berkembangnya ide liberal dan derivat-derivat akibatnya ada di tangan Pemerintah selaku pemegang kebijakan tertinggi untuk mengatur dan mengelola uruan rakyat. Minimal Pemerintah harus melakukan: Pertama, mengkonstruk ulang peran media massa sebagai media informasi, edukasi (pendidikan) dan kontrol sosial. Media harus menjadi bagian dari proses pembentukan aspek intelektual, watak, moral, kemajuan dan kekuatan umat; menjadi media efektif untuk melahirkan islamic personality dan peradaban yang berbasiskan ideologi yang haq; sekaligus menjadi alat untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat. Seharusnya Pemerintah tidak membiarkan para kapitalis (pemodal)—hanya demi rating dan uang—menghadirkan suguhan kepada umat sesuatu yang bisa mendekonstruksi moral masyarakat bahkan lahirnya generasi dengan kepribadian “copy paste” apa yang dilihat dan di dengar dari media.
Kedua, Pemerintah sebagai pihak regulator tidak boleh berselingkuh dengan sistem demokrasi sekular. Sebab, itu hanya akan melahirkan kebijakan pragmatis dan rakyat selalu akan menjadi korban. Saatnya penguasa negeri yang dihuni mayoritas umat Islam seperti Indonesia menyadari kekeliruan ini dan segera berpaling pada aturan mulia, yaitu syariah Islam.
Ketiga, gerakan-gerakan Islam harus bangkit melipatgandakan usaha dakwah (edukasi)-nya dengan beragam wasilah dan tehnik (uslûb) kepada umat agar mereka memiliki imunitas dan bisa membuang jauh-jauh ide sesat Liberalisme. Para tokoh dan ulama jauh lebih terbebani untuk menjaga dan membimbing umat dari usaha pengrusakan akidah dan syariah Islam. Ulama harus memiliki kesadaran politik (wa’yu siyâsi) yang cukup agar paham peta perang pemikiran dan budaya ini, selain sangat mafhum dalam tsaqâfah Islam.
Keempat, umat harus berjuang mewujudkan sistem Islam (Khilafah) yang menjadi payung satu-satunya bagi umat untuk bisa hidup mengejawantahkan Islam sebagai rahmatan lil ’alamin.
Praktisnya, apa yang harus kita lakukan saat ini?
Kita harus melawan. Ideologi harus di lawan dengan ideologi. Ini bukan ranah pertarungan fisik (jihad dengan arti perang) dan ini perlu usaha kolektif, tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Apalagi kalau berbicara upaya mewujudkan sistem Islam (Khilafah) yang akan mampu mereduksi seluruh penjajahan dengan berbagai modusnya di Dunia Islam.
Selain itu, kita harus terus menjaga keyakinan dan konsistensi kita pada Islam. Jangan lupa bersandarlah kepada Allah SWT agar semua jadi mudah. Pasti perjuangan ini akan happy ending di dunia akhirat. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []