HTI

Refleksi (Al Waie)

Catatan Jubir: HTI Berjuang Untuk Indonesia Lebih Baik

Dalam acara “Debat Minggu Ini” di TV One menjelang kedatangan Presiden Obama pada 17 Maret lalu, Ulil Abshar Abdalla dengan nada tinggi menyatakan bahwa Hizbut Tahrir Indonesia tidak pantas mewakili umat Islam Indonesia karena HTI merupakan ancaman buat NKRI. Sebelumnya, Tobias Basuki menulis di The Jakarta Post (11 Februari 2010) yang berjudul Blasphemy Law, a Shackle to The Indonesian People. Di antaranya dia mengatakan, “The FPI, and particularly the HTI, should not have a say on matters of the Indonesian people. The HTI does not represent the interests of the Indonesian people and our nation.” Artinya, kurang-lebih bahwa HTI dan FPI tidak memiliki kaitan dengan persoalan rakyat Indonesia dan HTI tidak merepresentasikan kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia. Bahkan ia juga mengatakan bahwa HTI berbahaya karena ia ingin menghapus NKRI. Benarkah?

++++

Bila kita menelaah secara riil, sesungguhnya ada dua ancaman utama terhadap negeri ini: sekularisme yang makin memurukkan negeri ini dan neo-imperialisme atau penjajahan model baru yang dilakukan oleh negara adikuasa.

Sejak Indonesia merdeka, telah lebih dari 60 tahun negeri ini diatur oleh sistem sekular, baik bercorak sosialistik pada masa Orde Lama maupun kapitalistik pada masa Orde Baru dan neoliberal pada Masa Reformasi. Dalam sistem sekular, aturan-aturan Islam atau syariah memang tidak pernah secara sengaja selalu digunakan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan Tuhannya saja, misalnya pada saat shalat, puasa, zakat, haji, kelahiran, pernikahan dan kematian. Dalam urusan sosial-kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Di tengah-tengah sistem sekular ini lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai Islam, yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik dan machiavellistik, budaya hedonistik yang amoralistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta sistem pendidikan yang materialistik.

Akibatnya, bukan kebaikan yang diperoleh oleh rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim itu, melainkan berbagai problem berkepanjangan yang datang secara bertubi-tubi. Lihatlah, meski Indonesia amat kaya dan sudah lebih dari 60 tahun merdeka, sekarang ada lebih dari 100 juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan. Puluhan juta angkatan kerja menganggur. Jutaan anak putus sekolah. Jutaan lagi mengalami malnutrisi. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga yang terus-menerus terjadi. Ajaib! Negeri ini penghasil minyak, tetapi untuk mendapatkan minyak tanah rakyatnya harus mengantri berjam-jam. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam. Tak mengherankan bila oleh AFP Indonesia dinobatkan sebagai negara paling liberal setelah Rusia. Sepanjang krisis, kriminalitas dilaporkan meningkat 1000%, angka perceraian meningkat 400%, sementara penghuni rumah sakit jiwa meningkat 300%. Wajar bila lantas orang bertanya, sudah 60 tahun merdeka, hidup kok makin susah.

Ancaman kedua, neo-imperialisme. Indonesia memang telah merdeka. Namun, penjajahan ternyata tidak berakhir begitu saja. Nafsu negara adikuasa (AS dan sekutunya) untuk tetap melanggengkan dominasi mereka atas Dunia Islam, termasuk terhadap Indonesia, demi kepentingan ekonomi dan politik mereka tetap bergelora. Neo-imperialisme dilakukan untuk mengontrol politik pemerintahan dan menghisap sumberdaya ekonomi negara lain. Melalui instrumen hutang dan kebijakan global, lembaga-lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan WTO dibuat tidak untuk sungguh-sungguh membantu negara berkembang, tetapi sebagai cara untuk melegitimasi langkah-langkah imperialistik mereka. Akibatnya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak lagi merdeka secara politik. Penentuan pejabat misalnya, khususnya di bidang ekonomi, harus memperturutkan apa mau mereka. Wajar bila kemudian para pejabat itu bekerja tidak sepenuhnya untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan “tuan-tuan’ mereka. Demi memenuhi kemauan “tuan-tuan” itu, tidak segan mereka merancang aturan (lihatlah UU Kelistrikan yang telah dianulir oleh Mahakamah Konstitusi, juga UU Migas dan UU Penamanan Modal yang penuh dengan kontroversi) dan membuat kebijakan yang merugikan negara (lihatlah penyerahan blok kaya minyak Cepu kepada Exxon Mobil, juga pembiaran terhadap Exxon yang terus mengangkangi 80 triliun kaki kubik lebih gas di Natuna, meski sudah 25 tahun, tidak diproduksi dan kontrak sudah berakhir Januari 2007 lalu). Tak pelak lagi, rakyatlah yang akhirnya menjadi korban, seperti yang kita saksikan sekarang.

Nah, sebagai gerakan dakwah, HTI melakukan berbagai upaya untuk turut serta bersama komponen umat yang lain menyelamatkan negeri ini melalui berbagai kegiatan politik. HTI menyebutnya dakwah siyasiyah (dakwah politis). Yang utama adalah seruan melalui berbagai cara (unjuk rasa, petisi, penulisan di media massa, diskusi, pengiriman delegasi dan sebagainya) untuk menerapkan syariah Islam dan menghentikan sekularisme. Inilah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan lebih jauh. Secara konsisten HTI juga mengkritisi setiap kebijakan, seperti kenaikan BBM, penandatanganan DCA dengan Singapura dan sebagainya; juga peraturan seperti RUU APP, UU Migas, UU Sumberdaya Air dan sebagainya yang dinilai bertentangan dengan syariah.

Kemudian, menyangkut keutuhan wilayah Indonesia, HTI berulang menegaskan penentangannya terhadap gerakan separatisme dan segala upaya yang akan memecah-belah wilayah Indonesia. Menjelang jajak pendapat Timor Timur beberapa tahun lalu, misalnya, HTI menentang keras karena itu akan menjadi jalan bagi Timor Timur lepas. Benar saja, akhirnya terbukti Timor Timur setelah jajak pendapat yang penuh rekayasa itu benar-benar lepas dari Indonesia.

Karena itu, jelas sekali bahwa dakwah HTI dilakukan adalah demi Indonesia ke depan yang lebih baik. Bila hancurnya Khilafah disebut sebagai ummul jara’im, maka diyakini bahwa tegaknya kembali syariah dan Khilafah akan menjadi pangkal segala kebaikan, kerahmatan dan kemashlahatan, termasuk bagi Indonesia.

Karena itu, dalam konteks Indonesia, ide Khilafah yang substansinya adalah syariah dan ukhuwah, sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan baru (neo-imperialisme) yang nyata-nyata sekarang tengah mencengkeram negeri ini yang dilakukan oleh negara adikuasa. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan global bisa dihadapi secara sepadan. Lalu syariah nantinya akan menggantikan sekularisme yang telah terbukti memurukkan negeri ini. Karena itu pula, perjuangan HTI harus dibaca sebagai bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dalam berusaha mewujudkan Indonesia lebih baik di masa datang, termasuk guna meraih kemerdekaan hakiki negeri ini atas berbagai bentuk penjajahan yang ada.

++++

Mengapa bisa muncul anggapan bahwa HTI mengancam NKRI? Ada banyak kemungkinan. Bisa karena tidak paham substansi dari syariah dan Khilafah yang diperjuangkan HTI. Bisa juga karena memang tidak suka pada ide ini. Mereka yang tidak paham, insya Allah tidak sulit dipahamkan. Dengan sedikit penjelasan, biasanya mereka akan mudah memahami apa sesungguhnya ancaman yang tengah menimpa negeri ini dan apa substansi Khilafah yang tidak lain adalah justru untuk menyelamatkan negeri ini dari ancaman itu.

Adapun yang tidak suka bisa jadi karena ada penyakit dalam hatinya, bisa juga karena mereka telah diuntungkan oleh sistem sekular yang ada sekarang ini. Dari sini sebenarnya kita bisa mengatakan bahwa mereka, termasuk Ulil, yang menentang ide syariah itulah yang tidak menginginkan Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim dan mengakui bahwa kemerdekaan negeri terjadi atas berkat rahmat Allah, menjadi lebih baik di masa mendatang. Mereka juga berarti menginginkan penjajahan (baru) tetap terus berlangsung karena mereka turut diuntungkan meski hal itu telah menyengsarakan rakyat banyak.

Jadi, mestinya bukan HTI, melainkan orang-orang seperti Ulil dan gerombolannya yang berpaham sekular itulah yang harus dinyatakan membahayakan masa depan NKRI. Waspadalah! []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*