Pengantar:
Liberalisasi pemikiran telah merambah dunia pesantren dan lembaga pendidikan Islam secara umum. Tentu, ini sebuah musibah. Pasalnya, meski istilah maupun gerkan liberalisasi terkesan ‘gagah’, kenyataannya ia adalah salah satu cara kafir penjajah Barat untuk melumpuhkan kekuatan umat Islam. Karena kekuatan pertama umat adalah pemikirannya yang berporos pada al-Quran dan as-Sunnah, maka aspek inilah yang mereka jadikan sasaran utama saat ini. Apa akibatnya bagi umat? Sejauh mana bahayanya bagi umat? Bagaimana pula umat harus bersikap dan merespon? Apa saja langkah dan strateginya?
Untuk membincangkan seputar masalah itu, kali ini Redaksi al-wa’ie mewawancarai KH Drs. Hafidz Abdurrahman, MA, dari DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Berikut petikannya.
Kiai, saat ini upaya liberalisasi pemikiran di lingkungan pendidikan, khususnya pesantren, madrasah dan perguruan tinggi terasa makin gencar. Menurut Kiai, apa latar belakang dan motifnya?
Pertama-tama kita harus tahu akar masalah munculnya gagasan liberalisasi pemikiran Islam ini dari mana? Jika kita teliti, gagasan ini bukan dari Islam, juga bukan dari orang Islam. Gagasan ini sebenarnya juga bukan gagasan baru, tetapi merupakan gagasan lama yang digelindingkan oleh negara-negara kafir penjajah. Gagasan ini masuk ke Dunia Islam awalnya dibawa oleh generasi Muslim yang sekolah di Barat. Sebut saja nama-nama seperti Rufa’ah ath-Thahthawi dari Mesir. Ia dikirim pemerintah Mesir pada zaman Muhammad Ali ke Paris antara tahun 1826-1831 M. Setelah kembali ke negaranya, dia mulai memperkenalkan gagasan liberal yang diperolehnya selama di Prancis. Di Indonesia juga tidak jauh berbeda. Sebut saja Harun Nasution, Nurcholis Madjid, dll yang menimba ilmu di Barat, kemudian kembali ke Indonesia melakukan hal yang sama. Karena itu, gagasan ini jelas sekali merupakan gagasan kaum kafir penjajah, yang sengaja disuntikkan ke Dunia Islam dengan motif untuk melemahkan kekuatan kaum Muslim. Tujuannya tidak lain adalah mempertahankan penjajahan mereka di Dunia Islam.
Ide-ide pokok apa saja yang fokus untuk dimasukkan ke lingkungan pendidikan itu, dan ringkasnya seperti apa?
Karena motifnya untuk melemahkan kekuatan kaum Muslim, maka pemikiran Islam yang bisa menguatkan kaum Muslim tentu pertama-tama yang mereka serang. Caranya dengan menumbuhkan keraguan (tasykik) terhadap perkara-perkara yang ma’lumun min ad-din bi ad-dharurah, seperti kewajiban untuk menegakkan dan menerapkan syariah Islam, menegakkan Khilafah dan berjihad melawan kaum kafir. Mereka juga menyerang Khilafah sebagai sistem pemerintahan despot, barbar, berlumuran darah, terbelakang dan sebagainya. Mereka juga merusak keluarga dengan menyerang hukum poligami, nikah dini dan nikah di bawah tangan; sementara perzinaan, homoseksual, transeksual, pornografi dan pornoaksi mereka promosikan.
Tidak hanya menyerang produk hukum, mereka juga menyerang sumber hukum Islam seperti al-Quran dan as-Sunnah; seperti serangan mereka dengan menggunakan teori hermeneutika. Dengan teori hermeneutika, mereka menyerang al-Quran, dan dikatakan bahwa al-Quran yang ada sekarang bukanlah wahyu ilahi yang asli.
Mereka juga membajak ushul fikih, ushul tafsir dan ushul hadis yang ditulis ulama terdahulu, lalu merekonstruksi untuk kepentingan mereka. Dalam ushul fikih, mereka benar-benar mengeksploitasi pendapat ulama yang menjadikan maslahat sebagai dalil, seperti yang dilakukan terhadap Najmudin ath-Thufi, salah seorang ulama ushul mazhab Hanbali. Dalam ushul tafsir, mereka menggunakan riwayat yang dinukil as-Suyuthi untuk menyerang otentisitas al-Quran, dan menggunakan hermeneutika sebagai metode tafsir mereka. Dalam ushul hadis, mereka menggunakan riwayat tentang Abu Bakrah yang dihukum Umar, karena kasus qadzaf, sebagai justifikasi untuk menolak riwayatnya, yang berdampak pada penolakan mereka terhadap kesahihan hadis larangan wanita menjadi penguasa.
Tidak hanya itu, mereka juga menghidupkan kembali perdebatan yang sudah mati, dan dilupakan oleh kaum Muslim pada masa lalu, sebagaimana perdebatan antara Muktazilah, Jabariyah dan Ahlussunnah. Mereka juga menghidupkan gagasan-gagasan yang diusung oleh sekte sesat, seperti Ismailiyyah, Qaramithah dan Bathiniyyah. Bahkan karya sekte ini yang masih dalam bentuk manuskrip (makhthuthat) banyak diterbitkan di Leiden University – Belanda, agar bisa dibaca dan diadopsi oleh kaum Muslim.
Adapun terhadap paham yang berasal dari luar, mereka berusaha melakukan kompromi. Mula-mula mengatakan, bahwa ini bukan dari Islam, tetapi tidak bertentangan dengan Islam. Setelah pikiran dan perasaan umat mulai tercemar, maka mereka mengatakan, bahwa ini berasal dari Islam. Bahkan ada yang berani mengatakan, Islam mengajarkan ini. Contohnya, seperti paham Demokrasi, Pluralisme, Dialog Antar Agama, dsb.
Lalu bagaimana cara membantah ide-ide itu?
Semua itu sudah ditulis dan dibantah oleh Hizbut Tahrir maupun aktivis Hizbut Tahrir. Karena ini panjang, maka bagi yang ingin mengetahui bantahannya, bisa merujuk pada buku-buku, atau karya-karya mereka.
Kalangan liberal itu mengklaim bahwa mereka itu pembaru dan yang mereka lakukan adalah memperbarui ide dan penafsiran Islam. Bagaimana pandangan Kiai?
Ya, boleh saja mereka mengklaim, tetapi kita harus melihat faktanya. Dulu Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dkk diklaim sebagai pembaru (mujaddid). Namun, itu hanyalah klaim. Sebab, kenyataannya tidak ada karya-karya orisinal mereka yang layak untuk mentahbiskan mereka sebagai pembaru. Nucholis, Ulil, dkk, misalnya, ditahbiskan sebagai pembaru, ya itu juga klaim. Namun, apa buktinya bahwa mereka layak disebut pembaru. Kalaupun ada yang baru dari mereka, sebenarnya itu bukanlah hal baru, tetapi hasil jiplakan dari karya-karya Orientalis. Mereka hanya melakukan copy and paste. Tidak lebih. Masak orang yang melakukan copy and paste disebut pembaru. Dulu Ibn Khaldun menyebut mereka yang melakukan copy and paste filsafat Yunani di Dunia Islam, kemudian diklaim sebagai filsafat Islam, dengan istilah muntahilun (penjiplak). Jadi, itulah istilah yang pas untuk mereka, bukan mujaddid. Terlalu besar, dan menurut saya, sebutan mujaddid untuk mereka itu keterlaluan, atau dalam bahasa al-Quran itu seperti istihza’ (ngenyek).
Bagaimana strategi yang telah dan akan dijalankan untuk memasukkan ide-de liberal itu ke lingkungan pendidikan khususnya pesantren itu?
Santri itu biasanya lugu, karena di pesantren tidak pernah diajarkan politik. Mereka yang mondok di pesantren umumnya dari kalangan menengah ke bawah. Kondisi ekonomi mereka juga pas-pasan, kalau tidak bisa dikatakan miskin. Namun, yang seperti itu, justru biasanya pinter-pinter. Nah, mereka inilah yang kemudian diambil, diberi beasiswa, disekolahkan ke luar negeri, kemudian diberi pekerjaan dan proyek dengan gaji yang menggiurkan. Mereka ini tidak mempunyai kesadaran politik, bahwa mereka sebenarnya sedang dijaring menjadi agen intelektual penjajah.
Selain itu, lembaga pendidikan mereka juga mulai terbuka dengan Pemerintah. Dulu, pesantren-pesantren salaf itu kebanyakan menolak bantuan dana dari Pemerintah, karena dianggap haram, minimal syubhat. Sekarang mereka malah senang dapat bantuan, karena dengan begitu pesantrennya menjadi besar. Padahal bantuan yang diberikan pemerintah itu adalah hibah, atau proyek yang sengaja digelontorkan melalui negara-negara donor.
Bukan hanya santri dan pesantrennya, tetapi organisasi yang menjadi rumah bagi pesantren itu juga tidak luput dari sasaran. Bahkan menurut pengakuan Ulil, organisasi-organisasi tersebut mendapatkan dana miliaran rupiah dari lembaga donor, seperti Ford Foundation, Asia Foundation, dll. untuk proyek liberalisasi ini.
Meski demikian, semuanya itu belum akan berhasil, karena pesantren memiliki tingkat kemandirian yang tinggi. Karena itu, negara-negara kafir penjajah itu juga berusaha agar pesantren mengubah kurikulum pendidikannya. Ini bisa ditempuh melalui dua jalur, yaitu bantuan dana dengan imbalan, sebagaimana yang pernah ditawarkan oleh Bush saat bertemu dengan tokoh-tokoh Muslim di Indonesia, atau tekanan Pemerintah, sebagaimana yang dilakukan dalam proyek terorisme dan pesantren.
Tidak hanya itu, upaya menyibukkan para pengasuh pesantren dengan politik praktis pun dilakukan, agar mereka lebih sibuk berpolitik, daripada mengurus pesantrennya. Dengan masuknya mereka di dunia politik sekular, kapitalistik dan oportunistik ini, maka gaya hidup mereka pun berubah sehingga menjadi permissif dan lebih akomodatif. Gaya hidup ini juga telah mengubah cara pandang dan berpikir mereka. Seluruh proses ini, diakui atau tidak, telah dimainkan dalam rangka menyukseskan proyek liberalisasi pesantren.
Bahaya apa yang akan timbul dari masuknya ide-ide itu bagi lingkungan pendidikan itu sendiri, khususnya pesantren dan umat umumnya?
Bahaya paling besar tentu bukan hanya untuk pesantren, organisasinya, kiai dan santrinya, tetapi menimpa Islam dan kaum Muslim. Dulu pesantren dibentuk di daerah-daerah karena dua alasan: Pertama, sebagai benteng perlawanan terhadap penjajah, dan wadah penggemblengan mujahidin. Ini bisa kita lihat pada sosok KH Hasyim Asy’ari, KH Yusuf Hasyim, Bung Tomo dan sejarah PP Tebuireng. Kedua, sebagai wadah pendidikan kaum Muslim yang tidak ingin mendapatkan pendidikan sekular, dan mahal. Karena itu, jika pesantren sebagai benteng pertahanan umat ini hancur, maka kekuatan umat Islam di Indonesia ini dengan mudah bisa dilumpuhkan. Kalau kekuatan umat Islam di Indonesia sudah lumpuh, maka dengan mudah penjajah akan melanggengkan penjajahannya di Indonesia.
Siapa yang harus merespon hal itu dan bagaimana meresponnya?
Karena serangan terhadap pesantren adalah serangan terhadap umat Islam, maka semestinya seluruh umat Islam di Indonesia tidak boleh tinggal diam. Mereka harus bangkit, dan melakukan perlawanan, terutama kalangan pesantren. Caranya: Pertama, dengan melakukan tashfiyah al-afkar (purifikasi pemikiran). Yang bukan dari Islam, bertentangan dengan Islam dan merusak Islam benar-benar harus dibuang. Ini hanya bisa dilakukan kalau pesantren mempunyai afkar mutabannat, yang murni dari Islam. Kedua, dengan cara membangun kesadaran politik Islam. Dengan itu, mereka bisa mewaspadai setiap upaya yang hendak melemahkan umat Islam, termasuk pesantren, baik dalam bentuk bantuan, tekanan maupun hasutan. Ketiga, karena gerakan yang dihadapi ini merupakan gerakan besar, yang didukung dengan dana, para penguasa komprador dan negara-negara besar, maka harus ada upaya bersama dari internal pesantren, organisasi Islam, parpol dan umat Islam untuk sungguh-sungguh melakukan perlawanan hingga Allah menyelamatkan umat Muhammad ini dari makar jahat kaum kafir penjajah. []