Uskup Inggris Didenda karena Menyangkal Holocaust
Pengadilan Jerman pada hari Jumat (16/4) memvonis Uskup Katolik, Richard Williamson, untuk membayar denda setelah dihukum. Pasalnya, sang Uskup menyangkal Holocaust (genosida sistematis yang dilakukan Jerman Nazi terhadap Yahudi). Dengan sikapnya itu, Williamson terkena dakwaan yang mengharus-kannya dihukum berdasarkan perundang-undangan Jerman. Pengadilan Ratisbonne di wilayah selatan Jerman telah memvonis Williamson untuk membayar denda sepuluh ribu Euro (13,500 dolar), setelah divonis bersalah. Ini lebih ringan dari tuntutan sebelumnya, yaitu denda sebesar dua belas ribu Euro.
Tuduhan ini bermula ketika Uskup Inggris yang telah berumur 70 tahun ini mempertanyakan terkait beberapa aspek Holocaust, yang berlangsung selama wawancara saat kunjungannya ke Jerman pada bulan November 2008, dan dipublikasikan oleh televisi Swedia pada 21 Januari 2009.
Hukuman terhadap Uskup menunjukkan standar ganda sistem demokrasi. Mangklaim menyatakan kebebasan berpendapat, namun pendapat yang mengkritik Yahudi dianggap sebagai sebuah tindakan kriminal.
Karadzic Perintahkan Penyerangan terhadap Rumah Kaum Muslim
Mantan pemimpin Serbia Bosnia, Radovan Karadzic, memerintahkan penyerangan terhadap rumah-rumah yang dihuni kaum Muslim di Kota Pale, Serbia. Perintah itu tak hanya dikumandangkan sekali, namun beberapa kali dalam berbagai kesempatan secara terbuka. Hal itu diungkapkan seorang saksi yang dihadirkan dalam Pengadilan Kejahatan Perang International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) atas mantan orang nomor satu Serbia Bosnia yang kini menghadapi dakwaan genosida itu. “Dia mengatakan kepada hadirin bahwa setiap rumah Muslim harus diserang karena itulah cara untuk mempertahankan rumah Serbia,” ungkap Mr Crncalo yang menjadi saksi mata.
Ia kemudian mulai menangis saat menceritakan bagaimana istrinya berada di antara 43 orang tewas ketika kota itu diserang pada bulan Agustus 1995. “Ada darah di mana-mana, mengalir di jalan-jalan, potongan-potongan daging manusia berserakan…,” katanya.
Ia melihat istrinya terbaring lemah. “Ketika saya mendatangi istri saya, ada perempuan berbaring di sebelah istri saya, lengannya terputus dan menempel tubuh istri saya. Saya hanya menangis,” tambahnya.
Israel Tolak Tandatangani Konvensi Non-Proliferasi Nuklir
Entitas Zionis lagi-lagi menolak penanda-tanganan Konvensi Non-Proliferasi Nuklir meskipun Presiden AS, Barack Obama menyerukan semua negara untuk menyetujui dan menandatangani konvensi tersebut. Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak mengatakan, “Kami katakan kepada teman dan sekutu kami, tidak ada alasan untuk menekan dan memaksa Israel agar menandatangani Konvensi Non-Proliferasi Nuklir.”
Dia menambahkan, Israel tidak pernah mengancam untuk menghancurkan negara atau bangsa lain. Sebaliknya, menteri Zionis ini menuduh bahwa negara-negara Islamlah selama ini yang selalu mengancam Israel. “Apa yang dilakukan Iran hari ini sama seperti yang telah dilakukan pada masa lalu oleh Suriah, Libya dan Irak, yang telah menandatangani konvensi tersebut, namun melanggarnya secara teratur dengan melakukan ancaman yang jelas terhadap keberadaan Israel,” tandanya.
Sumber-sumber Israel mengatakan bahwa ketidaktaatan entitas Zionis terhadap Konvensi Non-Proliferasi Nuklir yang ditandatangani pada tahun 1970, agar Israel tidak harus membuktikan ketiadaan kepemilikan senjata nuklir, atau tidak mengizinkan inspektur internasional mendatangi fasilitas nuklirnya, yang diyakini oleh para ahli asing telah memproduksi plutonium hingga 200 hulu ledak nuklir.
Ketika Obama ditanya tentang kemungkinan AS menekan entitas Zionis untuk mengungkap kemampuan nuklirnya, ia menjawab, “Berkenaan dengan Israel, tidak akan ada komentar terkait program-programnya. Apa yang saya inginkan adalah kenyataan bahwa kami mendorong terus semua negara untuk menjadi anggota Konvensi Non-Proliferasi Nuklir.”
Sikap Obama ini menunjukkan dia tidak jauh beda dengan presiden AS sebelumnya, selalu mendukung kebijakan nuklir Israel. Di sisi lain AS mempersoalkan kepemilikan nuklir negeri-negeri Islam seperti Iran dan Pakistan.
Pesawat AS Bunuh Lagi 13 Warga Sipil Pakistan
Lagi, serangan yang dilakukan oleh pesawat tanpa awak AS telah menewaskan sedikitnya 13 warga sipil dan beberapa orang lainnya luka-luka di wilayah pedalaman Pakistan. Insiden ini terjadi di sekitar 20 kilometer sebelah barat kota utama di Waziristan Utara Miran Shah pada Senin (12/4).
Laporan sebelumnya menyatakan bahwa lima orang tewas dalam serangan pesawat tanpa awak yang dioperasikan oleh CIA. Pada hari Selasa (13/4), jumlah korban tewas meningkat menjadi 13 sebagaimana hasil pencarian warga yang menemukan mayat lagi di bawah reruntuhan dari rumah yang hancur. Penduduk setempat mengkonfirmasi bahwa semua orang tewas dalam serangan adalah warga sipil yang tak bersalah. Sejak tahun lalu, AS telah melakukan banyak serangan seperti pada wilayah kesukuan Pakistan. Washington mengklaim target serangan udara adalah para militan, namun sebagian besar serangan telah membunuh warga sipil.
Hizbut Tahrir Kecam Pemilu yang Melegalkan Disintegrasi Sudan
Pada hari Ahad 27 Rabiuts Tsani 1431 H/11 April 2010 dimulai pemungutan suara untuk memilih presiden, para penguasa daerah, anggota parlemen dan anggota legislatif daerah. Pemungutan suara akan berlangsung selama tiga hari. Beberapa partai seperti Partai Umat Nasional memboikot Pemilu ini dengan alasan bahwa Konggres Nasional akan memanipulasi Pemilu ini. Pemilu ini dilangsungkan berdasarkan Perjanjian Nevasha yang menetapkan dilakukannya Pemilu sebelum dilangsungkan referendum untuk pemisahan selatan.
Hizbut Tahrir wilayah Sudan telah membongkar rencana-rencana Amerika, kerusakan dan bahaya perjanjian tersebut (Perjanjian Nevasha) bagi negeri dan masa depannya. Hizbut Tahrir telah menjelaskan bahwa tujuan Amerika adalah memisahkan selatan Sudan dan mengerat-ngerat wilayah Sudan yang masih tersisa menjadi negara-negara kecil yang lemah dan mudah dikontrol. Pemilu ini tujuannya mewujudkan pemerintahan yang diterima oleh masyarakat di Sudan dan diakui di tengah masyarakat internasional. Presiden al-Basheer telah berkhianat ketika ia mengatakan, “Kami menjadi yang pertama mengakui negara selatan jika Anda memilih pemisahan agar yang lain segera memberikan pengakuan.”
Dari sini jelas sekali bahwa Pemilu ini adalah demi kemaslahatan Amerika dan sebaliknya menjadi malapetaka bagi Sudan, penduduknya dan masa depannya [Farid Wadjdi; dari berbagai sumber].