Ikhtilaf tidak terjadi pada keesaan Allah dan kewahyuan al-Quran sebagai wahyu Allah yang diturunkan pada Rasulullah saw. yang merupakan mukjizat beliau; tidak pula terkait dengan pokok-pokok kewajiban seperti shalat lima waktu, haji, zakat dan puasa. Dengan kata lain, ikhtilaf tidak terjadi pada salah satu rukun Islam dan perkara-perkara yang termasuk dalam kategori “ulima min ad-dîn bi adh-dharurah”1; seperti keharaman khamar, babi, makan bangkai, atau kaidah umum tentang waris. Dengan kata lain, ikhtilaf tidak menyentuh rukun-rukun agama dan hal-hal pokok yang sifatnya umum.2
Secara umum Syaikh Dr. Ahmad Syuwaiki3 mengklasifikasikan ikhtilaf dalam dua kategori besar. Pertama: ikhtilaf yang terpuji. Ikhtilaf ini terkait dengan masalah-masalah furû’ dalam agama yang dalilnya zhanni seperti yang telah menjadi Ijmak Sahabat, ikhtilaf yang terjadi di antara mereka dan ikhtilaf yang terjadi di antara para ulama salaf. Kedua: ikhtilaf yang tercela. Ikhtilaf terjadi dalam masalah ushuluddin dan pada masalah-masalah yang qath’i dalam masalah-masalah furû’ dalam Islam serta hal-hal yang sudah dijelaskan dengan tegas dalam nash, seperti ‘ikhtilaf’ orang-orang kafir dan perpecahan mereka dalam masalah agama.
Terkait dengan klasifikasi ikhtilaf ini Imam Asy-Syafii menegaskan,4 “Ikhtilaf ada dua bentuk. Salah satunya haram. Saya tidak berkata yang seperti itu untuk yang lain. Setiap hal yang hujjah-nya telah ditegakkan oleh Allah dalam Kitab-Nya atau melalui lisan Nabi-Nya secara tegas (manshûsh) lagi jelas tidak halal ikhtilaf di dalamnya bagi mereka yang mengetahuinya..Adapun yang tidak seperti itu memungkinkan ada takwil dan dipahami berdasarkan qiyas. Orang yang melakukan takwil atau qiyas pada makna yang terkandung pada hadis atau qiyas meski mungkin berbeda dengan yang lain…”
Imam a-Haramain juga berkata,5 “Tidak boleh dikatakan bahwa setiap mujtahid dalam masalah ushul yang merupakan ilmu kalam atau dalam masalah akidah itu mushib (benar).”
Imam Ibn Abdil Bar menegaskan,6“Para ulama salaf—rahimahumullâh—melarang untuk berdebat tentang Allah Jalla Tsana’uhu, tentang sifatnya dan nama-nama-Nya. Adapun dalam masalah fikih mereka sepakat bahwa di dalamnya (boleh) berdebat serta diskusi.”
Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi berkata,7 bahwa sesungguhnya yang furû’ tidak terdapat dalil qath’i di dalamnya. Adapun untuk yang ushûl (pokok) terdapat dalil yang qath’i. Karena itu, tidak boleh menjadikan setiap mujtahid di dalam masalah ushûl sebagi benar (mushib). Namun, untuk masalah cabang boleh syariah menjawab dengan dua hukum yang saling bertentangan. Karena itu, dalam masalah furû’ yang dalilnya zhanni boleh menilai seorang mujtahid sebagai yang benar (mushib). Berbeda dengan ushûl (pokok). Dalam masalah ushûl tidak boleh syariah memberikan dua hukum yang bertentangan. Karena itu, tidak boleh pula menjadikan setiap mujtahid di dalamnya sebagai yang benar.
Allah SWT berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
Berpeganglah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan jangan bercerai-berai (QS Ali Imran [3]: 103).
Menurut Imam al-Qurthubi8ayat tersebut bukanlah dalil pengharaman ikhtilaf dalam masalah cabang karena sesungguhnya itu bukanlah ikhtilaf. Sebab, pengertian ikhtilaf itu adalah hal-hal yang menghalangi islâh dan berkumpul. Adapun terkait dengan hukum yang sifatnya ijtihadi maka ikhtilaf di dalamnya merupakan sebab dieksposnya kewajiban-kwajiban serta intisari makna syariah. Para Sahabat sering berikhtilaf dalam hukum dari banyak peristiwa. Namun, pada saat yang sama mereka saling mengasihi. Rasulullah saw. bersabda, “Ikhtilaf diantara umatku adalah rahmat.”
Ikhtilaf yang dilarang oleh Allah adalah ikhtilaf yang merupakan sebab kerusakan.
Alhasil, ikhtilaf itu ada dua: yang terpuji dan yang tercela. Ikhtilaf yang terpuji berlaku dalam masalah-masalah furû’ yang dalilnya zhanni. Adalah masalah ushul yang dalilnya qath’i atau masalah furû’ yang qath’i tidak boleh ada ihktilaf. Ikhtilaf dalam hal yang seperti ini tercela.
Bagi seorang Muslim mengadopsi satu hukum syariah untuk satu amal adalah suatu keniscayaan.
Islam adalah agama yang sempurna. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan baik individu, masyarakat maupun bernegara. Allah menegaskan dalam firman-Nya:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya dibandingkan dengan Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Tentang ayat ini al-Hafidz Asy-Syaukani menegaskan,9 Untuk mereka yang masuk kategori ahlul yaqin, tidak ada yang lebih baik daripada hukum Allah. Namun, tidak demikian bagi orang yang bodoh dan pemuja hawa nafsu.
Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa hukum syariah yang datang di dalam al-Quran dan as-Sunnah itu, banyak persoalan yang di dalamnya mengandung beberapa makna ditinjau dari sisi bahasa maupun syariah. Karenanya, wajar jika terjadi ikhtilaf di antara kaum Muslim. Namun, ini hanya pada tataran pemikiran atau konsep. Adapun pada tataran implementasi (amal), justru menjadi keharusan dan tidak ada alternatif lain bagi seorang Muslim untuk mengadopsi (tabanni) satu hukum ketika dia harus melakukan suatu aktivitas. Sebab, seorang Muslim wajib terikat dengan hukum Allah dalam seluruh aktivitas yang di lakukan. Hukum Allah atas satu masalah bagi seorang Muslim adalah satu, tidak lebih. Karenanya, setiap Muslim harus menentukan satu hukum atas suatu masalah dan kemudian melaksanakannya. Karena itu, seorang Muslim wajib mengadopsi hukum syariah tertentu ketika melakukan aktivitas, baik ia mujtahid maupun muqallid.
Hanya Khalifah yang Berwenang untuk Mengadopsi Hukum.
Tentang kewajiban mengangkat seorang khalifah (imam) untuk menerapkan syariah-Nya, syeikh Muhammad Abu Zahrah menegaskan,10 “Seluruh Ahlushunnah, Murjiah dan Khawarij sepakat akan kewajiban adanya Imamah (Khilafah). Umat juga wajib taat kepada Imam yang adil, yang menegakkan hukum Allah atas mereka dan mengurus urusan mereka dengan hukum-hukum syariah yang dengan itulah Rasulullah saw. diutus; kecuali (firqah) an-Najdat dari Khawarij…”
Dengan demikian, kewajiban mengangkat khalifah/imam untuk menerapakan hukum Allah, dan melakukan ri’âyah berdasarkan hukum-Nya merupakan “amr[un] muttafaq” bagi seluruh umat Islam.
Rasulullah saw. bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ
Bani Israel diurus urusannya oleh para nabi. Ketika seorang nabi meninggal maka akan nabi lain menggantikannya. Namun, tidak ada nabi setelahku, dan akan banyak para khalifah yang jumlahnya menjadi banyak. (HR Muslim).
Terkait dengan hadis ini Imam al-Hafidz an-Nawawi menjelaskan,11 “Maksudnya, para khalifah itu mengatur urusan mereka seperti lazimnya para pemimpin dan para wali terhadap rakyatnya. Adapun maksud politik itu adalah melaksanakan sesuatu berdasarkan hal-hal yang menunaikan kemaslahatnya.”
Penjelasan singkat Imam an-Nawawi terhadap hadis diatas mendiskripsikan pada kita apa peran Khalifah terhadap rakyatnya.
Tentang definisi Khilafah, Syaikh Abdul Majid al-Khalidi mendefinisikannya dengan,12 “Kepemimpinan umum untuk seluruh kaum Muslim di dunia, untuk menegakkan hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.”
Sekali lagi, latar belakang tabanni adalah karena perbedaan pendapat untuk satu masalah. Jelas, urgen untuk pelaksanaan hukum syariah pada masalah ini didasarkan pada tabanni atas satu pendapat tertentu. Sebab, hukum syariah yang didefinisikan dengan “seruan Pembuat syariah yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan hamba itu” datang di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Di dalam al-Quran dan as-Sunnah banyak sekali hal-hal yang mengandung banyak interpretasi, baik berdasarkan bahasa Arab maupun syariah. Karena itu, alami dan bahkan suatu keniscayaan jika ada perbedaan dalam memahami nash-nash yang ada. Bahkan ikhtilaf dalam pemahaman tersebut sampai pada terjadinya variasi pemahaman dan perbedaan atas makna yang dimaksud. Karena itu, perbedaan atas satu masalah mengharuskan seorang Muslim untuk mengambil satu pendapat saja dari berbagai pendapat yang berbeda tadi. Semuanya memang merupakan hukum Allah. Namun, hukum atas satu masalah bagi seorang Muslim hanya satu, tidak lebih. Alhasil, satu hukum tertentu saja yang diambil. Berdasarkan ini tabanni atas satu hukum syariah tertentu adalah lazim dan merupakan keniscayaan bagi seorang seorang Muslim dalam melaksanakan suatu aktivitas.
Terkait dengan Khalifah, tabanni atas suatu hukum merupakan hal yang sangat urgen untuk melakukan ri’âyah asy-syu’ûn terhadap masyarakat. Dalil kebolehan Khalifah melakukan tabanni adalan Ijmak Sahabat.13 Khalifah hendaknya melakukan tabanni atas hukum-hukum tertentu yang sifatnya umum berlaku bagi seluruh kaum Muslim baik terkait dengan urusan pemerintahan, kekuasaan, seperti zakat, pajak, hubungan luar negeri, serta tiap hal yang menyangkut keutuhan negara maupun keutuhan pemerintahan. Untuk tabanni ini perlu diperhatikan. Apabila Khalifah tidak bisa melakukan ri’âyah asy-syu’ûn terhadap masyarakat berdasarkan hukum syariah kecuali dengan tabanni hukum tertentu untuk hal tersebut, maka tabanni dalam hal ini wajib bagi Khalifah berdasarkan kaidah syariah:
مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Selama suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya suatu perkara maka perkara tersebut menjadi wajib pula.
Namun, apabila Khalifah mampu melakukan ri’âyah asy-syu’ûn tanpa harus men-tabanni hukum-hukum syariah tertentu maka tabanni dalam kondisi seperti hukumnya mubah. Sebab, pada dasarnya tabanni hukumnya memang mubah (boleh), bukan wajib. Pasalnya, para Sahabat ra. telah berijmak bahwa Imam/Khalifah itu melakukan tabanni, dan mereka tidak berijmak bahwa Khalifah harus melalukan tabanni. Berdasarkan ini tabanni bagi Khalifah tidak wajib kecuali jika aktivitas ri’âyah asy-syu’ûn tidak sempurna kecuali dengan tabanni.
Sekali lagi, Ijma Sahabat menegaskan bahwa wewenang tabanni itu hanya ada pada Khalifah. Berdasarkan Ijmak inilah lahir kaidah-kaidah yang masyhur seperti: “Perintah Imam menghilangkan perbedaaan” atau, “Perintah Imam/Khalifah wajib dilaksanakan”14.
Ijmak Sahabat tersebut antara lain tentang keputusan memerangi orang murtad.15 juga sikap para Sahabat terhadap tanah-tanah dari negeri yang ditaklukkan dengan perang.16
Itu yang terkait dengan tabanni Khalifah atas hukum-hukum yang berkaitan dengan aktivitas ri’âyah asy-syu’ûn. Untuk hal-hal yang lain seperti hukum ibadah, Khalifah tidak melakukan tabanni, kecuali zakat dan jihad. Selain itu, Khalifah juga melakukan tabanni untuk hal-hal yang urgen demi menjaga keutuhan negara. Khalifah tidak melakukan tabanni untuk suatu pemikiran yang terkait dengan akidah Islam.17
WalLâhu al-Musta’ân wa Huwa Waliyy at-tawfîq. []
Catatan kaki:
1 Dr. Zaid bin Muhammad Ar-rumani, Fiqh al-Khilâf wa al-Ikhtilâf Syarâ’it wa Adabuh, hlm. 9.
2 Syaikh Abdullah bin Beh, Adab al-Ikhtilâf, hlm. 3.
3 Syaikh Dr Muhammad Syuwaiki, Al-Khalash wa al-Ikhtilâf an-Nâs, hlm. 40.
4 Al-Imam al-A’zham asy-Syafii, Ar-Risâlah.
5 Imam al-Haramain, Syarh al-Waraqât.
6 Imam al-Hafidz Ibn Abdil Bar, Jâmi’ Bayân al-’Ilm wa Fadhlihi.
7 Imam Abu Ishaq asy-Syirazi, At-Tabshirah fî ‘Ilm Ushûl al-Fiqhi.
8 Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, IV/159.
9 Imam al-Hafidz asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, II/219.
10 Allamah asy-Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Tarîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah, hlm. 21.
11 Imam al-Hafidz An-Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh an-Nawawi, VI/316.
12 Syaikh Dr. Abdul Majid al-Khalidi, Qawâ’id an-Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 229-230.
13 Syaikh Abdul Majid al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 336.
14 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddinah ad-Dustûr, hlm. 19.
15 Al-Hafidz Ibn Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, XVII/106; Wa al-‘Awâshim min al-Qawâshim, hlm. 45.
16 Imam Abu Yusuf, Al-Kharaj, hlm. 14; Fath al-Bâri, XVII/106.
17 Syaikh Dr. Abdul Majid al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 355-368.