HTI

Ibrah (Al Waie)

Menyayangi Istri

Usai menunaikan shalat magrib berjamaah dan berzikir di mushala samping rumahnya, ustad muda yang aktivis itu tampak merenung cukup lama. Ia tampak kelelahan setelah seharian bekerja di rumahnya karena ’ditinggal’ istrinya yang hari itu harus mengikuti kegiatan dakwah dari pagi sampai sore. Sebagai ustad, tentu ia bukannya tidak paham betapa beratnya beban seorang istri sekaligus ibu rumah tangga. Namun, dengan menjalani sendiri seluruh pekerjaan rumah tangga hari itu—mulai dari memasak air, menyapu rumah dan halaman, mencuci piring/gelas dan pakaian, memasak dan menyediakan makan bagi anak-anaknya, memandikan mereka, mengantar mereka ke sekolah sekaligus mendampinginya (karena ada yang duduk di TK), mengasuh mereka sekaligus menenangkan mereka jika sesekali menangis dan rewel, menceboki mereka saat mereka BAK/BAB sekaligus mengganti pakaiannya, melerai mereka saat mereka bertengkar, dll—benar-benar pekerjaan yang amat menguras energi. Apalagi itu dilakukan sejak pagi hingga sore. Itu baru satu hari. Bagaimana kalau harus tiap hari? Bisa-bisa stres! Karena itu, ustad muda itu makin menyadari betapa tanpa kehadiran istri, mengurus rumah tangga dengan keempat anaknya yang masih kecil-kecil itu ternyata tak seenteng yang ia bayangkan.

Sejak itu ia pun mulai menyadari, betapa ia kadang egois. Sebagai suami dan kepala rumah tangga ia merasa yang paling capek karena mencari nafkah, berdakwah, mengurus jamaah, dll. Ia merasa, dirinyalah yang paling sibuk sehingga sedikit saja istri kurang dalam hal pelayanan kepadanya, entah karena dianggap lamban, atau rumahnya sedikit berantakan, atau masakannya sedikit kurang enak, dll, ia gampang mengeluh, bahkan mencela.

Kini, di tengah-tengah perenungannya, ia pun amat menyesal. Tak terasa, air matanya menetes membasahi pipinya. Usai salat magrib itu, ia menyadari betapa ia sering berbuat tidak adil terhadap istrinya. Sejak itu, ia mulai bersikap sabar dan tak mengeluh lagi jika dalam pandangannya istrinya kurang dalam melayani dirinya atau mengurus rumah tangganya.

*****

Seorang suami memang pantas untuk menghargai, menghormati, memuliakan dan menyayangi istrinya betapapun dalam pandangannya, istrinya itu banyak kekurangannya. Sebab, jika pun ukurannya dikembalikan pada standar materi, pekerjaan menjadi seorang istri/ibu rumah tangga sesungguhnya amat mahal. Bagaimana tidak?!

Dari sisi waktu, jika seorang suami/ayah bekerja secara umum dari pagi sampai sore, atau paling banter sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, maka seorang istri/ibu rumah tangga—meminjam ungkapan seorang ustadzah—bekerja kadang jauh sebelum terbit fajar dan baru berhenti setelah ‘terpejam mata suami’. Karena itu, bisa dikatakan, seorang ibu rumah tangga jauh lebih tangguh dan super ketimbang suaminya.

Dari sisi materi, di situs www.reuters.com disebutkan bahwa setelah dilakukan survei kepada 18.000 ibu rumah tangga di Toronto, Kanada, mengenai daftar pekerjaan rumah tangga mereka sehari-hari (seperti memasak, membersihkan rumah, merawat anak, mengurus keluarga, dan sebagainya), sebuah perusahaan standar penggajian mendeskripsikan nilai, harga dan gaji yang pantas atas “pekerjaan” para ibu rumah tangga ini bila mereka digaji. Di Kanada, dari sekian banyak tugas dan pekerjaan domestik, seorang ibu rumah tangga—jika digaji secara layak—pendapatan perbulannya bisa mencapai $124.000. Jumlah itu setara dengan Rp 1.116.000.000,- (baca: satu miliar seratus enam belas juta rupiah). Ini bila kurs $1= Rp 9.000,- saja.

Jika sebesar itu yang harus diperoleh oleh seorang ibu rumah tangga, tentu hanya seorang suami yang berkedudukan sebagai CEO sebuah perusahaan besar atau minimal seorang pemilik multiusaha sukses yang bisa menggaji istrinya setiap bulan. Tentu nominal tersebut terbilang sangat besar dilihat dari standar negara manapun, hatta negara paling modern dan maju sekalipun.

Karena itu, “Sebuah kesalahpahaman yang sangat jamak jika pilihan seorang wanita untuk menjadi seorang ibu rumah tangga dianggap lebih mudah dan lebih ringan daripada menjadi seorang wanita karir…,” kata Lena Boltos, seorang surveyor yang melakukan survey dan kalkulasi tersebut (Hidayatullah.com, 30/3/2010).

Jika sebesar itu nilai “profesi” sebagai seorang ibu rumah tangga, maka secara berseloroh kita bisa mengatakan, betapa tidak cerdasnya seorang istri/ibu sampai rela mengorbankan urusan keluarga/rumah tangganya hanya karena sibuk bekerja dengan gaji yang tentu tidak seberapa dibandingkan dengan nominal di atas. Lebih tidak cerdas lagi jika seorang suami menganggap rendah istrinya, tidak mau menghargai dan memuliakan istrinya, hanya karena ia banyak di rumah sekadar menjalani “profesi”-nya sebagai ibu rumah tangga.

Itu dari sisi materi. Bagaimana jika dilihat dari kacamata Islam? Dalam pandangan Islam, seorang ibu rumah tangga bertanggung jawab penuh atas seluruh urusan keluarga/rumahtangganya karena posisinya sebagai umm[un] wa trabbah al-bayt (ibu sekaligus manajer rumah tangga). Ia jugalah yang bertanggung jawab atas perawatan dan pendidikan anak-anaknya. Seorang penyair Arab mengatakan, ”Al-Ummu Madrasah al-Ula, Idza A’dadtaha A’dadta Sya’ban Khayr al-‘Irq” (Seorang ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya. Jika engkau mempersiapkan ia dengan baik maka sama halnya dengan engkau mempersiapkan bangsa berakar kebaikan).

Lebih dari itu, betapa mulia dan terhormatnya kedudukan seorang istri/ibu rumah tangga tergambar dalam hadis penuturan Anas ra. berikut:

Kaum wanita pernah datang menghadap Rasulullah saw. Mereka bertanya, ”Ya Rasulullah, kaum pria telah pergi dengan keutamaan dan jihad di jalan Allah. Adakah amal perbuatan untuk kami yang dapat menyamai amal para mujahidin di jalan Allah?” Rasulullah saw. menjawab, “Siapa saja di antara kalian berdiam diri di rumahnya (melayani suaminya, mendidik anak-anaknya dan mengurus rumahtangganya), sesungguh-nya ia telah menyamai amal para mujahidin di jalan Allah.” (HR al-Bazzar).

Subhanallah! Karena itu, tak ada alasan bagi para suami, apalagi para aktivis dakwah, untuk tidak memuliakan dan menyayangi istrinya, setulus hati. Kalau mungkin, berterima kasihlah kepadanya, setiap hari!

Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*