HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

Merumuskan Kembali Arah Perjuangan Ormas Islam

Peran ormas Islam dalam upaya menegakkan Islam dan menyelesaikan persoalan keumatan selama ini tak dapat dipinggirkan. Namun, harus juga diakui bahwa aktivitas yang dilakukan masih mengarah pada solusi parsial dan tambal sulam. Misal, ada ormas yang bergerak dalam bidang sosial. Berdirilah panti jompo, rumah singgah, rumah sakit, panti asuhan, dll. Dengan upaya ini sebagian masalah kemiskinan dapat diatasi. Di bidang pendidikan, sekolah/perguruan tinggi maupun pesantren yang didirikan ormas Islam tidak dapat dipungkuri telah memberikan warna bagi pembentukan individu islami. Namun, dilihat dari segi biaya tetap tinggi. Budaya kampus juga tidak beda antara kampus yang didirikan oleh ormas Islam dengan kampus umum.

Ada juga sebagian ormas Islam yang menempuh arah perjuangan melalui jalur politik praktis. Berdirilah partai Islam/berbasis massa Islam. Secara praktis, keberadaan partai Islam/berbasis massa Islam belum memberikan pengaruh signifikan bagi penegakkan Islam dan pembelaan masalah keumatan. Sikap yang muncul adalah kompromi. Dalam kasus Century, partai tersebut terbelah sikap. Pada saat Pilkada, sering koalisi dilakukan hanya sebatas kepentingan, bahkan bila perlu koalisi dengan partai Kristen. Arah perjuangan pun menjadi tidak jelas. Tidak mengherankan, dalam Muktamar Nahdhatul Ulama (NU) beberapa waktu lalu muncul sikap mempertanyakan elit ormas yang masuk ke dalam politik praktis, Tuntutan agar ormas menjauhi kehidupan politik pun mengemuka. Untuk itu, perlu merumuskan kembali arah perjuangan ormas Islam.

Tidak Dikotomi

Layaknya perjalanan, perjuangan ormas Islam memerlukan arah yang jelas. Bukan sekadar jelas, tujuan tersebut juga benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Tapak demi tapak perjuangan Nabi Muhammad saw. menggambarkan dengan jelas bahwa arah perjuangan beliau adalah tegaknya kehidupan Islam secara kâffah. Gerbang keberhasilannya adalah tegaknya masyarakat Islam di Madinah. Secara ringkas, meminjam ungkapan Ali bin Nayif Suhud, “Tujuan hijrah Nabi saw. ke Madinah adalah untuk menegakkan negara yang menerapkan Islam (ad-Dawlah al-Islamiyyah), mengemban dakwah Islam, dan bersungguh-sungguh melakukan jihad di jalan-Nya sehingga tidak ada lagi fitnah di muka bumi ini.” (Al-Mufashal fî Ahkâm al-Hijrah, I/24).

Para Sahabat dan generasi berikutnya melanjutkan dengan menjaga penerapan Islam kâffah dalam sistem Khilafah.

Dari dulu tetap saja ada dua kutub besar dalam langkah perjuangan umat, yakni gerakan kultural dan gerakan struktural (politik). Ada yang berupaya untuk memisahkannya. Ormas bergerak di tataran kultural, sedangkan partai politik bergerak di tataran struktural. Padahal realitas menunjukkan tidak perlu ada dikotomi gerakan kultural dengan gerakan politik. Rasulullah saw. sejak diberi wahyu tak kenal lelah melakukan apa yang sekarang dikenal dengan gerakan kultural. Beliau menyampaikan dakwah untuk memberikan pemahaman tentang akidah, syariah dan dakwah. Terjadilah revolusi pemikiran; dari semula meyakini banyak Tuhan menjadi tauhid; sebelumnya menyembah sesama manusia menjadi menyembah Pencipta manusia; tolok ukur materialistik berubah menjadi halal-haram; orientasi hidup dunia berubah total menjadi meraih akhirat tanpa melupakan dunia; dll. Muncullah budaya tauhid, persaudaraan (ukhuwah), memperhatikan fakir miskin, berpihak pada kaum yang lemah (dhu’afa) dan dilemahkan (mustadh’afîn), anti kezaliman/kefasikan/kekufuran, menentang kecurangan dalam timbangan, dll.

Berikutnya, lahirlah generasi Sahabat binaan Nabi saw. yang berkepribadian Islam (syakshiyah islamiyyah) dan berkarakter. Mereka berjuang di tengah-tengah masyarakat. Inilah sisi gerakan kulturalnya.

Namun, Rasulullah saw. tidak berhenti sampai di situ. Hasil dari gerakan kulturalnya itu berproses menjadi kelompok orang yang berjuang secara politik. Mereka tidak berhenti pada diri sendiri. Pribadi-pribadi itu mengorganisasi diri dalam perjuangan politik di tengah-tengah umat. Kelompok ini digambarkan oleh Allah SWT:

وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ

Siapa saja yang mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang (QS al Maidah [5]: 56).

Frasa ‘hizb Allah’ dalam ayat itu bermakna kelompok/jamaah. Karenanya, Imam ath-Thabari memaknainya dengan ‘al-Anshar’, yakni para penolong agama Allah (Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, X/427).

Mereka bersama-sama dengan Nabi saw. memberikan sikap terhadap kebijakan-kebijakan dan sikap penguasa ketika itu. Al-Quran menjelaskan bagaimana Rasulullah dan Sahabat menentang keras sikap Abu Lahab sebagai penguasa kala itu (lihat QS al-Lahab), mengeluarkan sikap terhadap kebijakan para pembesar yang melegalisasi pembunuhan bayi perempuan (QS at-Takwir), dll. Mereka melakukan perang pemikiran (shirâ’ al-fikri), propaganda dan perjuangan politik (kifâh siyâsi), pencerdasan kepada publik dan peningkatan daya sosial yang menekankan pada semangat perlawanan terhadap kefasikan/kezaliman/kekufuran. Ini menggambarkan bahwa gerakan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat merupakan gerakan politik.

Berdasarkan hal ini jelas bahwa arah perjuangan ormas Islam tidak boleh mendikotomikan gerakan kultural dengan gerakan struktural (politik). Artinya, ormas Islam tetap harus berpolitik tetapi tidak boleh terjebak “politik praktis” (baca: politik sekular). Mengapa? Sebab, secara fundamental, politik sekular tidak mengijinkan sekaligus menentang berkuasanya hukum Islam. Politik sekular hanya akan memalingkan arah gerakan Islam itu sendiri. Selain itu, berpolitik bukan berarti terjebak untuk terseret-seret kekuatan politik tertentu. Bila tidak, umat Islam hanya akan menjadi pelengkap penderita seperti terjadi selama ini. Mereka hanya dibutuhkan suaranya pada saat Pilkada atau Pemilu. Setelah itu, selesai urusan. Justru aktivitas politik ormas Islam adalah berjuang menerapkan syariah Islam itu sendiri. Ormas Islam bersama segenap komponennya harus mengusung politik Islam yang sesungguhnya. Hanya dengan cara demikian ormas Islam akan dapat mengarahkan kondisi masyarakat dan negara ini.

Ormas Islam memadukan gerakan kultural dan struktural seperti tadi. Namun, ia tetap harus menetapkan prioritas dalam meraih tujuan untuk melanjutkan kehidupan Islam tadi. Karenanya, perjuangan ormas Islam harus mengarah pada tujuan tegaknya Islam secara kâffah, tanpa melupakan masalah temporer yang muncul seperti kristenisasi, kemiskinan, liberalisasi, cengkeraman asing, dll. Mereka melakukan dakwah di tengah umat untuk memberbaiki masyarakat dan melakukan perubahan total dengan Islam. Hasilnya, lahirlah kader pembaruan ideologis, munculnya kesadaran umat, tumbuhnya gerakan kaum Muslim yang melakukan perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman.

Sikap Politik Berbahaya

Ormas Islam tak bisa tidak harus mengusung politik Islam. Untuk itu, perlu dijauhkan sikap politik yang justru membahayakan perjuangan Islam itu sendiri. Pertama: sekularisasi. Sekularisasi merupakan proses membumikan sekularisme, yakni memisahkan Islam dari kehidupan. Terjebak pada pemikiran sekular hanya berarti menyimpangkan arah perjuangan Islam.

Dalam panggung politik Indonesia, upaya sekularisasi demikian gencar. Sekadar contoh, ketika ramai muncul Perda tentang minuman keras, baca al-Quran, jilbab, dll segera muncul sikap bahwa Indonesia bukan negara agama. Dalam persidangan Mahkamah Konstistusi tentang Pornografi dan Penodaan agama, tidak ada argumentasi syar’i yang dijadikan dasar keputusan. Islam hanya dipakai untuk simbol saat pengambilan ‘sumpah’ saksi saja. Ormas Islam justru harus menggali dan mengedepankan argumentasi syar’i disamping argumentasi faktual logikal.

Kedua: pragmatisme. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Tidak melihat halal-haram. Persoalan ideologis dipinggirkan. Yang penting bagi orang pragmatis adalah manfaat sesaat baik berupa kedudukan, jabatan, uang atau kekuasaan. Bila ormas Islam terjebak pada pragmatisme maka pada satu sisi ia dapat tergelincir dari hukum syariah; pada sisi lain, ormas demikian tidak akan dapat melakukan perubahan karena diombang-ambingkan oleh kepentingan sesaat.

Ketiga: moderatisme (tidak kekanan, tidak kekiri). Padahal Islam tidak mengenal moderatisme. Tidak ada prinsip: ‘tidak iman, tidak kafir’, ‘tidak Islam, tidak kufur’. Istilah ‘ummat[an] wasatha’ dalam QS al-Baqarah ayat 143 tidak tepat dimaknai sebagai umat yang di tengah dalam arti moderat. Sebab, ‘ummat[an] wasatha’ artinya adalah umat yang adil (HR Ahmad). ‘umat terbaik/al-khiyar’ (Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, III/141).

Sikap moderat dalam arti selalu kompromi, tidak kekanan tidak kekiri, hanya akan menjadikan ormas Islam bersikap abu-abu. Dampaknya, tidak jelas mana yang haq dan mana yang batil. Masyarakat pun sulit mengikuti kebenaran dan mendukung perjuangan.

Keempat: sikap apolitis. Sikap apolitis tidak kalah berbahaya. Dengan sikap apolitis, ormas Islam tidak peduli terhadap realitas yang ada. Orang yang apolitis, misalnya, akan mengatakan, “Untuk apa ngurusin masalah kasus Century, bagi kita kan tidak ada pengaruhnya. Itu kan urusan elit.”

Merumuskan Arah Politik

Praktik politik sistem sekular adalah homo homini lupus; manusia menjadi serigala terhadap manusia yang lain. Slogannya pun adalah, “Kiranya dapat diterima akal bila demi tuntutan profesionalnya, seorang serdadu harus membunuh dan seorang politikus harus menipu’ (It is thought that by the necessities of his profession a soldier must kill and politici on lie). Fakta politik seperti inilah yang menjadikan sebagian kalangan Muslim tertipu hingga menyimpulkan bahwa politik itu kotor.

Islam berbeda dengan itu. Politik dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyâsah; artinya mengurusi urusan, melarang, memerintah (Kamus Al-Muhîth, dalam kata kunci sâ-sa). Nabi saw. menggunakan istilah politik (siyâsah) dalam hadis: “Bani Israil diurusi urusannya oleh para nabi (tasûsu hum al-anbiyâ’). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah.” (HR Muslim).

Jadi, politik artinya adalah mengurusi urusan umat. Berkecimpung dalam dunia politik berarti memperhatikan kondisi kaum Muslim dengan cara menghilangkan kezaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan kaum kafir atas mereka. Politik Islam karenanya berarti mengurusi urusan masyarakat melalui kekuasaan melarang dan memerintah dengan landasan hukum/syariat Islam (Kurnia, Al-Jamaah, Tafarruq dan Ikhtilaf, hlm. 33-38).

Di antara aktivitas politik yang dapat diperankan ormas Islam adalah:

1. Membina umat. Ormas terus melakukan pembinaan di tengah-tengah umat sehingga muncul orang-orang yang berkepribadian Islam. Umat dibina perilakunya dengan selalu dikaitkan dengan akidah dan syariah.

2. Membangun kesadaran politik umat (wa’yu siyasi), yaitu kesadaran umat tentang bagaimana mereka memelihara urusannya dengan syariah Islam. Ormas Islam harus berada di garda terdepan dalam menyuarakan syariah dan menyatukan umat dalam Khilafah sebagaimana diwajibkan dalam banyak hadits Rasulullah saw.; bukan malah menjauhi aktivitas dan aktivis pejuang syariah dan Khilafah.

3. Mengoreksi penguasa. Imam al-Ghazali menyatakan, Dulu tradisi para ulama mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Mereka mengikhlaskan niat. Pernyataannya pun membekas di hati. Sekarang terdapat penguasa yang zalim, namun para ulama hanya diam. Andaikan mereka bicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama. Adapun kerusakan ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapapun yang digenggam cinta dunia niscaya tidak akan mampu menguasai kerikilnya, apalagi untuk mengingatkan para penguasa dan para pembesar.” (Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, 7/92).

4. Membongkar rencana jahat negara kafir penjajah. Dulu Rasulullah saw. sering kali diberi wahyu yang isinya membongkar rencana jahat kaum kafir yang hendak membunuh beliau, persekongkolan Yahudi, dll. Ormas Islam sudah selayaknya mencontoh Nabi saw. dengan membongkar rencana jahat negara kafir yang ingin tetap mencengkeramkan kakinya di negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia.

5. Menyatukan umat untuk menerapkan syariah dan Khilafah. Imam Ibn Hazm mengatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan adanya Imam merupakan satu keniscayaan; kecuali sekte an-Najadat (sekte Khawarij)—pendapat mereka sesungguhnya telah menyalahi ijmak.” (Ibn hazm, Marâtib al-Ijmâ’ I/124). Ormas Islam harus menjadikan tegaknya syariah Islam dan penyatuan umat ke dalam Khilafah sebagai visi dan misinya. Sudah bukan saatnya mempertahankan sekat-sekat organisasi. Kini, perlu sinergisitas antarberbagai komponen umat dalam mewujudkan visi dan misi tadi. Umat dan ormas Islam dalam menyelesaikan persoalan lokal perlu mendudukkan bahwa itu bagian dari persoalan global.

Berdasarkan hal tersebut, sudah saatnya ormas Islam menapaki kembali arah perjuangan ini. Hanya dengan cara begitu saja kebangkitan umat Islam akan terwujud, dengan izin Allah SWT. Wallâhu a’lam. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*