Pengantar
Telaah kitab kali ini bermaksud menjelaskan kepada kaum Muslim dan non-Muslim, guna memberikan gambaran yang jernih, tentang bagaimana Negara Islam memberlakukan hukum Islam kepada warga negaranya, termasuk non-Muslim yang ada di wilayah kekuasaannya. Sebab, dalam memberlakukan hukum Islam atas warga negaranya, Negara Islam tidak membedakan antara warga negara yang Muslim dan non-Muslim. Hal ini sebagaimana dalam Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 7 yang berbunyi: Negara memberlakukan syariat Islam atas seluruh rakyat yang memiliki kewarganegaraan (Khilafah) Islam, baik Muslim maupun non-Muslim. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 28).
Hukum Islam untuk Muslim dan Non-Muslim
Islam yang dibawa Rasulullah, Muhammad saw., adalah agama yang berisi tentang konsep bagaimana mengatur interaksi manusia dengan Allah, dirinya dan sesama manusia (An-Nabhani, Nizhâm al-Islâm, hlm. 129). Semua manusia diperintah agar terikat dengan konsep Islam ini, baik yang menyangkut masalah ushûl (pokok), yakni akidah Islam, maupun masalah furû’ (cabang), yakni hukum syariah Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 29). Dengan kata lain, semua manusia terkena khithâb da’wah, yakni seruan untuk memeluk Islam; dan khithâb taklif, yakni keharusan manusia mengamalkan hukum Islam (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 140). Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT, di antaranya:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ
Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya (QS Saba’ [34] : 28).
Terkait dengan firman Allah ini, Ar-Razi berkata, “Kaffa[tan], artinya bahwa risalah itu untuk semua, yakni umum untuk semua manusia, sehingga mereka dilarang keluar dari ketundukan terhadap risalah itu.” (Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, XXV/207).
Rasulullah saw. juga bersabda:
بُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَ أَسْوَدَ
Aku diutus untuk semuanya, yang berkulit merah maupun hitam (HR Muslim).
Kedua nash ini dan yang lainnya menunjukan dengan jelas bahwa yang diseru dengan syariah Islam adalah semua manusia, sama saja apakah mereka itu Muslim ataupun kafir. Karena itu, tidak benar orang yang mengatakan bahwa orang kafir hanya diseru untuk beriman dengan Islam, tidak dengan pelaksanaan hukum furû’ (cabang). Sebab, risalah itu umum meliputi seruan keimanan (akidah) sekaligus seruan pelaksanaan hukum furû’ (cabang)-nya (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, III/29).
Banyak nash yang berisi khithâb asy-Syâri’ (seruan Allah) untuk semua manusia—Muslim dan non-Muslim, baik yang terkait dengan thalab al-fi’li (tuntutan agar melakukan) maupun thalabut tarki (tuntukan agar meninggalkan) terkait persoalan-persoalan furû’ (cabang). Allah SWT, misalnya, berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ
Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian (QS al-Baqarah [2] : 21).
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ
Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia kepada Allah (QS Ali Imran [3]: 97).
وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
Orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk dibunuh) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu niscaya mendapat (pembalasan) dosanya (QS al-Furqan [25]: 68).
Ini semua merupakan dalil yang jelas bahwa mereka—orang-orang kafir—termasuk yang terkena taklîf (perintah) dengan hukum furû’ (cabang); juga bahwa perintah terhadap masalah ushûl (pokok), termasuk perintah terhadap masalah furû’ (cabang)nya; perintah terhadap semua, termasuk perintah terhadap bagiannya. Misalnya, perintah shalat, termasuk perintah terhadap rakaat, bacaan, berdiri dan lainnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 30).
Oleh karenanya, orang-orang kafir pun diazab apabila mereka tidak beriman dan tidak melaksanakan hukum Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, III/30).
Ar-Razi mengatakan, “Ashab kami (Madzhab Syafii) berhujjah dengan ayat ini (Al-Mudatstsir: 42-46) bahwa orang-orang kafir itu diazab karena mereka meninggalkan perkara-perkara cabang (furû’) dari syariah Islam (Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, 30/716).
Dengan demikian, hukum Islam itu diperintahkan kepada semua manusia, baik Muslim maupun non-Muslim. Sebab, nash-nash dalam hal ini datang dengan pengertian umum. Sesuatu yang umum tetap atas keumumannya selama tidak ada nash (dalil) lain yang mengkhususkannya. Sejauh ini tidak ada dalil yang mengkhususkan bahwa hukum Islam itu khusus untuk kaum Muslim saja sehingga ia tetap pada pengertiannya yang umum (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 30).
Negara Wajib Memberlakukan Hukum Islam untuk Semua
Karena syariah Islam itu diperintahkan kepada semua manusia, baik Muslim maupun non-Muslim, maka Negara Islam harus memberlakukan hukum Islam kepada setiap rakyat yang memiliki kewarganegaraan (Khilafah) Islam, baik Muslim maupun non-Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 31). Allah SWT berfirman:
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
Putuskanlah perkara mereka menurut apa yangtelah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (QS al-Maidah [5]: 48).
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu (QS a-Nisa’ [4]: 105).
Nash ini umum meliputi Muslim dan non-Muslim. Sebab,kata an-nâs (manusia) dalam firman Allah ‘supaya kamu mengadili manusia adalah kata umum (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, II/232).
Apalagi dalam praktiknya, Rasulullah saw. telah memberlakukan hukum Islam atas non-Muslim. Ibnu Umar menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
أَنََّ اليَهُودَ جَاؤُوْا إِلىَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ مِنْهُمْ وَامْرَأَةٍ زَنَيَا، فَأَمَرَ بِهِمَا فَرُجِمَا
Sesungguhnya kaum Yahudi pernah datang kepada Rasulullah saw. dengan membawa seorang laki-laki dan seorang perempuan di antara mereka, yang keduanya telah berzina, lalu Rasulullah memerintahkan untuk merajam keduanya (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. juga pernah mengirim surat kepada penduduk Najran yang beragama Nasrani:
إِنْ مَنْ بَايَعَ مِنْكُم بِالرِّبَا فَلاَ ذِمَّةَ لَهُ
Siapa saja yang berjual-beli di antara kalian dengan riba, baginya tidak ada perlindungan (dzimmah).
Hadis ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari asy-Sya’bi secara mursal. Al-Marghinani berkata hadis ini mursal. Namun hadis mursal menurut kami (Mazhab Hanafi) tetap merupakan hujjah (Al-Marghinani, Al-Bidâyah, 3/364).
Semua ini merupakan dalil tentang kewajiban memberlakukan semua hukum Islam kepada semua rakyat, yang dalam hal ini tidak ada perbedaan antara Muslim dengan non-Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 32).
Kekhususan untuk Non-Muslim
Khithâb (seruan) Asy-Syâri’ yang terkait dengan perbuatan hamba itu bersifat umum, mencakup Muslim dan non-Muslim tanpa ada perbedaan, karena keumuman seruan Asy-Syâri’ terhadap risalah Islam. Kewajiban Khalifah memberlakukan syariah Islam kepada semua rakyat secara umum, Muslim dan non-Muslim, selama mereka tunduk pada kekuasaan Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, III/33). Namun, ada kekhususan ketika syariah Islam tidak diberlakukan kepada non-Muslim. Artinya, mereka tidak dipaksa untuk melakukannya, dan tidak dijatuhi sanksi ketika mereka meninggalkannya.
Pertama: apa yang menjadi akidah (keyakinan) bagi mereka. Dalam hal ini Khalifah tidak boleh memaksa mereka agar meninggalkan akidah dan kepercayaannya dan memberlakukan akidah Islam kepada mereka. Allah SWT berfirman:
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) (QS al-Baqarah [2]: 256).
Ibnu Athiyah dalam Al-Muharrar al-Wajîz, 1/343, menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “Ad-Dîn (agama) dalam ayat ini adalah al-Mu’taqad (akidah atau keyakinan) dan al-Millah (agama), dengan qarînah (indikasi) firman Allah SWT: Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.” (QS al-Baqarah [2]: 256).
Rasulullah saw. bersabda:
أَنَّهُ مَنْ كَانَ عَلَى يَهُودِيَّتِهِ أَوْ نَصْرَانِيَّتِهِ فَإِنَّهُ لاَ يَفَتَنُ عَنْهَا وَعَلَيْهِ الْجِزْيَةُ
Sesungguhnya siapapun yang tetap beragama Yahudi dan Nasrani tidak boleh diganggu (dipaksa keluar) dari agamanya dan ia wajib membayar jizyah.” (Hadis dikeluarkan oleh Abu Ubaid dalam al-Amwâl dari jalan Urwah).
Dengan demikian, apa yang termasuk akidah (keyakinan) bagi non-Muslim, meski Islam tidak menganggapnya sebagai akidah, maka mereka tidak boleh diganggu dan dilarang dengan akidahnya itu, dan sebaliknya mereka dibiarkan melakukan apa yang menjadi akidah atau keyakinannya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 32).
Kedua: syariah Islam yang dalam pelaksanaannya mensyaratkan Islam, yang ditetapkan berdasarkan nash Asy-Syâri’, seperti shalat, puasa, haji, zakat dan pelsaksanaan syariah Islam lainnya yang mensyaratkan Islam. Dalam hal ini, non-Muslim tidak boleh, bahkan dilarang melakukannya, sebab syaratnya adalah Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, III/30).
Ketiga: setiap perbuatan yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw. dan para Sahabatnya membiarkan non-Muslim melakukannya, seperti mereka meminum khamar, melakukan prosesi pernikahan, dan yang sejenisnya, maka mereka tidak boleh diganggu dan dihalangi dalam melakukannya selama hal itu dilakukan tanpa mengganggu ketertiban umum (nizâmul ’ âm). Artinya, mereka boleh meminum khamar selama itu dilakukan di dalam kehidupan khusus mereka, bukan dalam kehidupan umum, tempat kaum Muslim ada bersama mereka, seperti di pasar umum, dan lainnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 32).
Dengan ini jelas, fakta menunjukkan bahwa non-Muslim justru merasa bangga dan bahagia hidup di bawah naungan Islam, seperti yang dikatakan T.W. Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Daftar Bacaan
Al-Marghinani, Ali bin Abu Bakar bin Abdul Jalil al-Faghani, Al-Bidâyah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), 1995.
An-Nabhani, Taqiyuddin, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VII, 2002.
—————, Muqaddimah ad-Dustur aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
—————, Nizhâm al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2001.
—————, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, Juz II, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan V, 2003.
—————, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, Juz III, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan III, 2005.
Hizbut Tahrir Indonesia, “Perlakuan Negara Khilafah Terhadap Non Muslim,”
http://hizb-indonesia.info/2010/01/08/perlakuan-negara-khilafah-terhadap-non-muslim.
Ibnu Athiyah, Abu Muhammad Abdul Hak, Al-Muharrar al-Wajîz, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), 2001.
Ar-Razi, Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi, Mafâtîh al-Ghayb (Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi), tanpa penerbit, tanpa tahun.
syukron untuk pembahasan telaah kitab yang mengupas dustur, saya berharap dalam situs ini bisa dimuat pembahasan setiap pasalnya, mungkin yang belum terbit di Alwa’e edisi cetak juga, untuk bahan halqoh