Pada zaman Nabi saw. ada seorang perempuan dari Makhzumiyah melakukan pencurian. Kasus ini menjadi perhatian besar kaum Quraisy. Mereka lalu berdiskusi untuk meminta keringanan dari Nabi saw. agar wanita itu bebas dari jerat hukum. Akhirnya, mereka sepakat untuk mengutus Usamah bin Zaid, orang yang sangat dicintai oleh Rasulullah saw. Usamah pun menyampaikan misinya. Mendengar hal itu, Rasulullah berkata kepada Usamah, “Wahai Usamah, apakah engkau hendak meminta keringanan atas penerapan salah satu hukum Allah?” Beliau lantas berpidato di hadapan masyarakat, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena jika ada yang mencuri dari kalangan bangsawan/pejabat mereka membiarkannya. Sebaliknya, ketika ada yang mencuri dari kalangan masyarakat lemah mereka menerapkan hukum dengan tegas. Demi Allah, andai saja Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya.”
Begitu sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Abu Dawud dan an-Nasai.
Merujuk pada hadis tersebut, setidaknya ada dua pelajaran yang dapat kita petik. Pertama: kita perlu waspada, sebab Indonesia sedang berjalan menuju jurang kebinasaan sebagaimana bangsa terdahulu. Di Indonesia, hukum hanya berlaku bagi kaum papa. Belum lepas dari ingatan, para pelaku kasus Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) yang menelan uang rakyat Rp 600 triliun bebas berkeliaran. Pejabat yang merampok uang rakyat dalam kasus Century tetap berkuasa. Sebaliknya, Nenek Minah yang mengambil tiga kakao seharga Rp 1500 dijatuhi hukuman 1,5 bulan. Siapapun yang ingin menyelamatkan negeri Muslim terbesar ini harus menghentikan kezaliman tersebut.
Kedua: Rasulullah saw. sangat keras menolak permintaan keringanan hukuman bagi pelaku kejahatan sekalipun dia keluarga pembesar Quraisy. Kalau hal demikian saja ditentang oleh Nabi saw., apalagi makelar kasus alias markus. Padahal menurut Neta S. Pane dari Indonesian Police Watch, bukan hanya markus yang ada melainkan juga makelar proyek.
Upaya untuk membongkar kebobrokan hukum terus dilakukan, tetapi berhenti di tengah jalan. Sekadar contoh, Panitia Khusus (Pansus) Century DPR RI sudah menegaskan bahwa mantan pejabat BI, Boediono yang kini menjadi wakil presiden, dan Sri Mulyani yang kini menjadi menteri keuangan harus ditindaklanjuti secara hukum. Namun, tak ada tanda-tanda tindak lanjut hukum tersebut. Presiden pun tampak membelanya. Keputusan politik sudah jelas. Jalan sudah terang. Namun, hukum tidak berjalan. Begitu juga markus dalam kasus Gayus. Fakta sudah ditemukan. Polisi sudah mencopot jabatan jenderal yang diduga terlibat. Aliran dana gampang ditelusuri. Nama-nama pejabat yang diduga terlibat sudah terpampang. Namun, hukum berhenti. Masalah-masalah hukum yang melibatkan pejabat dan orang besar hampir dapat dipastikan selalu menguap, tak ada tindak lanjut. Mengapa?
Ada yang menarik ketika saya berdiskusi dengan Pak Tyasno Sudarto, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Saya menanyakan pandangan beliau terkait masalah di atas. Ada dua hal yang menurutnya sebagai penyebab, yaitu rusaknya sistem dan rusaknya orang/pemimpin. Memang, sistem hukum yang diterapkan saat ini tidak menjamin keadilan karena hukum yang diterapkan merupakan hukum buatan manusia. Teks hukum dapat ditarik ke sana ke mari sesuai kepentingan.
Selain itu, sistem penyelesaian masalah yang digunakan pun bermasalah. Mereka menggunakan manajemen konflik, bukan resolusi konflik. Dengan manajemen konflik, konflik dilanggengkan sehingga hukum dilupakan. Misalnya, ketika Pansus DPR telah mengeluarkan rekomendasi, muncullah kasus LC fiktif yang diduga melibatkan inisiator Pansus, dan dibukalah kembali kasus suap pemilihan Gubernur BI Miranda Goeltom yang melibatkan anggota DPR. Tindak lanjut kasus Century pun berhenti. Setiap ada pembongkaran kasus hukum oleh satu pihak, dimunculkanlah kasus hukum yang melibatkan pihak pembongkar tersebut. Sebab, sama-sama berkasus. Akhirnya, proses hukum kedua-duanya berhenti. Hal ini terus berjalan. Inilah kejahatan sistemik.
Karenanya, untuk menyelamatkan Indonesia harus ada penggantian sistem hukum. Semestinya, sistem hukum yang diterapkan adalah hukum syariah Islam yang bersumber dari Allah SWT, Zat Yang Mahaadil. Syariah Islam sajalah yang menjamin keadilan dan membawa keberkahan. Rasulullah bersabda, “Penegakkan satu di antara hukum-hukum Allah SWT lebih baik daripada hujan turun empat puluh malam di negeri Allah, Zat Yang Maha Gagah Perkasa.” (HR Ibnu Majah, II/848). Padahal kita tahu di dalam al-Quran hujan digambarkan sebagai simbol rezeki dan keberkahan.
Saat ini, penerap hukum tak dapat diharapkan. Ternyata, markus melibatkan para pejabat tinggi penegak hukum. Beberapa jenderal polisi terlibat. Jaksa terlibat. Pengacara pun terlibat. Mafia peradilan makin terang sosoknya. Karenanya, jargon ‘penegakkan hukum’ hanya akan melahirkan ketidakadilan apabila isi hukum yang diterapkan itu sendiri justru penuh ketidakadilan. Semakin diterapkan semakin tidak adil. Apalagi hukum diterapkan oleh penegak hukum yang juga terlibat makelar kasus. Kata Rasulullah saw., “Penegak hukum itu ada tiga jenis; dua masuk neraka dan satu masuk surga. Penegak hukum yang menegakkan hukum yang tidak benar, padahal ia tahu, ia di neraka. Penegak hukum yang menegakkan hukum yang tidak benar, sementara ia tidak tahu sehingga terampaslah hak masyarakat, ia pun di neraka. Penegak hukum yang menegakkan hukum yang benar ada di surga.” (HR al-Baihaqi dan an-Nasa’i).
Lagi-lagi, sudah saatnya ada pergantian sistem hukum yang diterapkan saat ini dengan syariah Islam. Juga harus ada penggantian pemimpin saat ini dengan khalifah yang menerapkan syariah Islam. Hanya ini satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Indonesia dan seluruh umat manusia. []