HTI

Hadis Pilihan (Al Waie)

Semua Yang Menyalahi Islam Tertolak

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Siapa saja yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami ini, yang bukan bagian darinya, maka tertolak (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah)

Hadis ini diriwayatkan dari jalur Abdullah bin Ja’far al-Makhrami az-Zuhri dan Ibrahim bin Saad. Keduanya dari Saad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf, dari al-Qasim bin Muhammad, dari Aisyah ra.

Hadis ini juga diriwayatkan dengan lafal:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا، فَهُوَ رَدٌّ

Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan kami maka tertolak (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah, dll).

Al-Muhdatsah adalah sesuatu yang diada-adakan, atau sesuatu yang baru, yang belum ada contoh sebelumnya. Lafal fî amrinâ maknanya adalah fî dîninâ (di dalam agama kami). Kata radd[un] maknanya adalah mardûd[un] (tertolak)—dalam bentuk mashdar dalam makna maf’ûl; seperti kata khalq yang bermakna makhlûq (yang diciptakan).

Imam an-Nawawi memasukkannya di dalam Hadis Arba’in, hadis ke lima. Hadis ini mengandung kaidah induk dalam Islam. Ibn Rajab al-Hanbali di dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam menyatakan, “Hadis ini adalah salah satu pokok agung dari Islam. Ia merupakan neraca amal pada lahiriahnya; sebagaimana hadis “perbuatan itu bergantung pada niat” adalah neraca amal pada batinnya. Setiap amal yang tidak ditujukan meraih ridha Allah maka pelakunya tidak mendapat pahala sedikitpun. Demikian juga setiap amal yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya adalah tertolak. Setiap hal baru dalam perkara agama ini yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya bukanlah bagian dari agama sedikitpun (tertolak).

Manthûq kedua hadis ini menyatakan bahwa setiap hal baru dan setiap perbuatan yang menyalahi ketentuan Islam, yakni menyalahi syariah, adalah tertolak. Adapun dari mafhûm-nya bisa dipahami, bahwa amal dan hal baru yang tidak menyalahi—artinya yang sesuai dengan ketentuan Islam dan syariahnya—adalah diterima. Jadi makna hadis ini adalah bahwa siapa saja yang amal perbuatannya keluar dari syariah, tidak terikat dengan syariah, adalah tertolak.

Hadis di atas menyatakan tidak semua hal yang baru tertolak. Karena hadis itu bukan hanya menyatakan man ahdatsa, tetapi melengkapinya dengan sifat mâ laysa minhu (yang bukan bagian darinya). Jadi yang tertolak adalah hal baru apa saja—baik pendapat, ucapan atau perbuatan—yang menyalahi atau keluar dari koridor agama atau syariah.

Sabda Nabi saw. laysa ‘alayhi amrunâ mengindikasikan bahwa semua amal perbuatan seseorang harus berada dalam koridor hukum-hukum syariah dan hukum syariah menjadi pemutus atas amal perbuatannya itu melalui perintah dan larangannya. Jadi, siapa yang perbuatannya berjalan di bawah hukum-hukum syariah, sesuai dengan hukum-hukum syariah, adalah diterima. Sebaiknya, siapa yang perbuatannya keluar dari hal itu adalah tertolak. Dengan demikian, hadis ini menegaskan wajibnya terikat dengan syariah.

Tentang perbuatan menyalahi perintah maka harus dilihat. Perintah syariah adakalanya disertai penjelasan tentang tatacara atau langkah-langkah praktis pelaksanaannya (kayfiyah al-adâ’), artinya kayfiyah al-adâ’-nya telah ditetapkan atau telah dibatasi. Contohnya shalat, haji, dan sebagian besar ibadah. Karena itu, melakukannya dengan tatacara yang berbeda, menyalahi dan keluar dari tatacara yang telah ditetapkan itu, adalah haram dan disebut telah melakukan bid’ah. Misalnya, bersujud tiga kali dalam satu rakaat, melempar jumrah sebanyak delapan kali, dan sebagainya. Inilah yang secara istilah disebut bid’ah, yaitu menyalahi tatacara syar’i yang telah dijelaskan oleh syariah dalam melaksanakan perintah syariah. Sebagian besar ibadah dijelaskan kayfiyah al-adâ’-nya.

Adakalanya perintah bersifat umum atau mutlak tanpa disertai penjelasan kayfiyah al-adâ’-nya. Misal, Rasul memerintahkan agar melakukan transaksi salam dalam timbangan, takaran dan tempo yang jelas; menukarkan emas dengan emas dan perak dengan perak harus semisal dan sama; dsb. Namun, kayfiyah al-adâ’ atau langkah-langkah praktis pelaksanaannya tidak dijelaskan. Langkah-langkah melakukan transaksi itu—apakah harus berdiri, duduk, saling berjabat tangan, membaca ayat lebih dahulu, dsb—tidak dijelaskan. Misal lain, Rasul memerintahkan berdiri ketika ada jenazah lewat, tetapi bagaimana berdirinya tidak dijelaskan. Rasul juga memerintahkan untuk memilih istri/suami yang agamanya baik, tetapi beliau tidak menjelaskan bagaimana tatacara memilihnya.

Dalam masalah muamalah kondisinya seperti ini, yakni tidak dijelaskan kayfiyah al-adâ’ atau langkah-langkah praktis pelaksanaannya. Perintah dalam masalah muamalah ini bersifat umum atau mutlak. Penyimpangan terhadap perintah syariah dalam masalah muamalah ini tidak disebut bid’ah. Akan tetapi, penyimpangan itu ada dalam cakupan hukum syariah. Jika berkaitan dengan hukum taklîfi maka disebut haram, makruh atau mubah. Tidak berdiri saat jenazah lewat tidak disebut bid’ah, tetapi dikatakan itu adalah mubah. Sebab, riwayat Imam Muslim menyatakan bahwa beliau tetap duduk ketika ada jenazah lewat. Seseorang yang tidak menutup auratnya di hadapan orang asing tidak dikatakan telah berbuat bid’ah, tetapi dikatakan telah melakukan keharaman.

Jika penyimpangan itu dalam hukum wadh’i maka disebut batil atau fasad. Inilah yang berlaku dalam seluruh akad. Jika menyalahi ketentuan tentang pokok atau substansi akad misalnya menyalahi ketentuan ijab qabul, obyek akadnya tidak jelas (majhûl) atau yang berakad bukan orang yang berhak melakukannya, maka akadnya batil. Adapun jika penyimpangan itu bukan tentang pokok atau substansi akad, misal mahar tidak disebutkan dalam akad nikah, gaji belum disebutkan saat akad kerja, dsb, maka dikatakan akadnya fasad. Demikianlah seterusnya. WalLâha’lam. [Yahya Abdurrahman]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*