HTI

Telaah Kitab (Al Waie)

Cara Negara Mengatasi Penyimpangan Akidah

Pengantar

Setelah tidak ada institusi Negara Khilafah, beragam sikap dan perbuatan penyimpangan akidah (riddah) dilakukan secara terbuka dan terang-terangan. Undang-undang yang ada di negara Kapitalisme-sekular terlihat mandul dan tidak dapat berbuat banyak menghadapi para pelaku penyimpangan akidah yang telah mengimunisasi dirinya dengan racun demokrasi, kebebasan dan HAM. Padahal di antara peran negara adalah menjaga kemurnian akidah yang dianut oleh warga negaranya.

Bagaimana Negara Khilafah mengatasi kasus penyimpangan akidah (riddah) ini ketika berdirinya nanti? Telaah kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ ad-Dustûr) Negara Islam pasal 7, ayat 3 yang berbunyi: “Orang-orang yang murtad dari Islam, atas mereka dijatuhkan hukum murtad jika mereka sendiri yang melakukan kemurtadan. Jika kedudukannya sebagai anak-anak orang murtad atau dilahirkan sebagai non-Muslim, maka mereka diperlakukan bukan sebagai orang Islam sesuai dengan kondisi mereka selaku orang-orang musyrik atau ahli kitab.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 28).

Definisi Murtad

Menurut ar-Raghib al-Ashfahani dalam Mufradât Alfâdz al-Qurânul Karîm, riddah dan irtidâd adalah, “ar-rujû’ fi ath-tharîq al-ladzi jâ’a minhu” (kembali ke jalan dimana ia datang). Akan tetapi, kata riddah khusus untuk kekafiran, sedangkan kata irtidâd mencakup kekafiran maupun yang lain.

Terkait definisi riddah, ulama beragam dalam mendefinikannya. Misalnya, Al-Kasani al-Hanafi mengatakan, “Riddah adalah mengeluarkan kata kufur melalui lisan setelah adanya iman. Sebab, riddah adalah pernyataan tentang keluar dari iman.” (Al-Kasani, Badâi’ ash-Shanâi’, VII/198).

Ad-Dardiri al-Maliki mengatakan, “Riddah adalah tindakan kufur seorang Muslim dengan perkataan yang jelas, atau dengan perkataan yang menjadikan dia kufur, atau dengan perbuatan yang mengandung kekufuran.” (Ad-Dardiri, Asy-Syarh ash-Shaghîr ‘ala Aqrab al-Masâlik, IV/431).

Asy-Syarbini asy-Syafii mengatakan, “Riddah adalah memutus Islam dengan niat, perkataan kufur atau perbuatan, baik itu dikatakan sebagai sebuah penghinaan, penentangan, atau keyakinan.” (Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtâj, IV/133).

Adapun dalam mazhab Hambali tidak ditemukan definisi riddah, yang ada adalah definisi murtad. Al-Bahuti al-Hambali berkata, “Murtad munurut syariah adalah orang yang kafir setelah ia Muslim, baik dengan ucapan, kenyakinan, keraguan, atau perbuatan.” (Al-Bahuti, Kasysyâf al-Qanâ’, VI/136).

Berdasarkan definisi di atas, riddah adalah perbuatan yang menyebabkan seseorang keluar dari iman dan Islam. Pelakunya disebut murtad (Lathif, Amwâj ar-Riddah wa Shakhrah al-خmân). Dengan demikian, murtad adalah orang yang kafir setelah sebelumnya ia Muslim. Jadi, setiap orang yang kafir setelah sebelumnya ia Muslim adalah murtad (Al-Maliki, Nizhâm al-Uqûbât, hlm. 44).

Penyebab Murtad

Seorang Muslim bisa jatuh kafir (murtad) dengan empat indikasi berikut ini: (1) dengan keyakinan (i’tiqad); (2) dengan keraguan (syakk); (3) dengan perkataan (al-qawl); (4) perbuatan (Al-Maliki, Nizhâm al-Uqûbât, hlm. 44; Abdullah, Dirâsât fi al-Fikr al-Islâmiyah, hlm. 67).

Pertama: dengan keyakinan. Ini bisa dilihat dari dua sisi: (a) Menyakini dengan pasti sesuatu yang berlawanan dengan apa yang diperintah, atau yang dilarang, misalnya menyakini bahwa Allah memiliki sekutu; menyakini bahwa al-Quran bukanlah Kalamullah. (b) Mengingkari sesuatu yang sudah maklum dalam masalah agama, misalnya mengingkari jihad, keharaman khamr, hukum potong tangan dan lain-lain (Al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 44).

Termasuk dalam ketentuan ini adalah menyakini pemikiran yang bertentangan dengan akidah Islam, seperti Teori Darwin, bahwa manusia adalah hasil evolusi dari kera. Ini bertentangan dengan firman Allah, bahwa manusia berasal dari Adam (QS Ali Imran [3]:59); serta menyakini teori evolusi materi menurut Komunisme, bahwa materi berkembang sendiri dengan berevolusi. Jadi dalam hal ini tidak ada yang menciptakannya. Ini bertentangan dengan firman Allah (QS al-Ankabut [29]: 44), bahwa Allah yang menciptakan semua yang di langit dan di bumi (Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl, I/56).

Kedua: keraguan dalam berakidah dan terhadap semua hal yang dalilnya qath’i. Misalnya, ragu bahwa Allah itu satu; ragu bahwa Muhammad saw. adalah Rasulullah; atau ragu tentang sanksi hukum cambuk (jilid) bagi pezina ghayru muhshan (Al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 44).

Ketiga: dengan perkataan yang jelas, tidak perlu ditafsirkan atau ditakwilkan lagi, misalnya seseorang yang mengatakan bahwa ‘Isa adalah anak Allah, Muhammad bukan nabi, dan lain-lain. Adapun perkataan yang masih belum jelas atau masih perlu ditakwilkan tidak memurtadkan pengucapnya (Al-Maliki, Nizhâm al-’Uqûbât, hlm. 44).

Keempat: dengan perbuatan yang jelas tanpa perlu takwil lagi semisal menyembah berhala, melakukan misa di gereja dengan tatacara misa ala gereja, sembahyang di Pura atau Wihara dengan ritual Hindu, dan lain-lain. Adapun perbuatan yang belum jelas, tidak mengkafirkan pelakunya, seperti masuk ke gereja, membaca Injil, dan lain-lain (Al-Maliki, Nizhâm al-Uqûbât, hlm. 44).

Hukuman Orang Murtad

Dalam hal ini, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan. Pertama: hukuman bagi orang murtad. Islam telah menentukan bahwa hukum bagi orang murtad adalah dibunuh. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ بَدََّلَ دِيْنَهُ فَآقْتُلُوهُ

Siapa saja yang mengganti agamanya, bunuhlah! (HR al-Bukhari dari Ibnu Abbas).

Kedua: seseorang tidak serta-merta dibunuh hanya begitu ia murtad. Ada proses yang harus dijalani, yaitu orang yang terbukti murtad ditahan (dipenjara), dan diminta untuk bertobat; jika tidak bertobat maka dibunuh (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 33).

Hal ini sesuai dengan hadis dari Anas bin Malik ra. yang menuturkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab berkata, Wahai Anas, apa yang dilakukan terhadap enam orang dari Bani Bakar bin Wail yang mereka murtad dari Islam dan musyrik?” Jawab Anas, “ Amirul Mukminin, mereka dibunuh di lapangan. Umar menggeleng.” Aku bertanya, “Adakah jalan lain bagi mereka?” Umar menjawab, “Ya, engkau menawarkan Islam kepada mereka; jika mereka menolak, masukkan penjara.” (HR al-Baihaqi).

Ada juga hadis riwayat Jabir ra.:

أَنََّ امْرَأَةً هِيَ أُمُّ مَرْوَانَ ارْتَدَّتْ، فَأَمَرَ النَّبِِيَُّ صلى الله عليه وسلم بِأَنْ يُعْرَضَ عَلَيْهَاالإِسْلاَمَ فَإِنْ تَابَتْ، وَإِلا قُتِلَتْ

Ada seorang perempuan, yaitu Umu Marwan, murtad. Lalu Nabi saw. memerintahkan untuk menawarkan Islam kepadanya. Jika ia bertobat (maka diterima tobatnya). Namun, jika tidak bertobat maka dibunuh.” (HR ad-Daruquthni dan al-Baihaqi).

Hadis ini dipakai sebagai argumentasi oleh mayoritas fuqaha’ (ahli fikih) semisal: Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, al-Mawardi dalam al-Hâwi al-Kabîr dan al-Ahkâm as-Sulthâniyah, Abu Ishaq asy-Syairazi dalam Al-Muhadzab, ar-Rafi’i dalam Asy-Syarhil Kabîr, al-Baghawi dalam At-Tahdzîb dan Ibnu Jauzi dalam At-Tahqîq. Hadis ini tergolong hasan sehingga dapat diamalkan, yakni orang murtad diminta untuk bertobat sebelum dibunuhnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 33).

Ketiga: berapa lama orang murtad diberi kesempatan untuk bertobat. Menurut pendapat yang kuat, orang murtad diberi waktu tiga hari untuk bertobat. Ada riwayat lain, orang murtad diberi waktu satu bulan untuk bertobat. Namun, ketentuan pastinya diserahkan kepada yang memiliki wewenang dalam hal ini (Khalifah atau Qadhi yang diangkatnya). Jika telah habis waktunya, namun ia belum juga bertobat, maka ia dibunuh (Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl, I/57).

Keempat: eksekusi mati tidak boleh dilakukan dengan cara dibakar. Sebab, cara itu dilarang. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya tidak boleh mengazab dengan api, kecuali Rabb-nya api (Allah).” (HR Abu Dawud).

Hadis ini menunjukkan dengan jelas bahwa hukuman bagi orang-orang yang murtad adalah dibunuh, bukan dibakar. Sebab, Rasulullah saw melarang mengadzab seseorang dengan ‘adzab Allah, yakni dibakar.

Kelima: laki-laki atau perempuan murtad hukumnya sama, yaitu dibunuh. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Ada sebagian ulama yang berpendapat sebaliknya, di antaranya, Abu Hanifah (Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtâj, IV/133). Dalilnya adalah larangan membunuh perempuan. Dalil ini kurang tepat, sebab hadisnya berbunyi, “Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah” (HR al-Bukhari dari Ibnu Abbas). Huruf man (barangsiapa) di sini berlaku umum untuk laki-laki maupun wanita yang murtad (http://www.hayatulislam.net/hukuman-mati-bagi-orang-yang-murtad.html).

Apalagi ada hadis yang memerintahkan untuk membunuh perempuan murtad jika tidak bertobat, seperti hadis riwayat Jabir ra. di atas (HR ad-Daruquthni dan al-Baihaqi).

Status Anak Orang Murtad

Adapun status hukum bagi anak orang murtad maka ketentuannya sebagai berikut: Pertama, anak orang murtad yang lahir sebelum orangtuanya murtad dihukumi sebagai Muslim. Jika anak tersebut kemudian murtad mengikuti orangtuanya maka ia dihukumi sebagai orang murtad (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 34).

Kedua, jika anak tersebut lahir setelah orangtuanya murtad dari istri kafir atau istri murtad, maka ia diperlakukan sebagai orang kafir, bukan murtad. Ia diperlakukan sesuai dengan agama pada saat ia dilahirkan. Jika Yahudi maka ia dihukumi sebagai Yahudi; jika Nasrani maka ia dihukumi sebagai Nasrani; dan jika musyrik maka ia dihukumi sebagai musyrik (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 34).

Ketiga, mereka yang murtad dari Islam, kemudian menjadi sekte (kelompok) di luar Islam, seperti Druze, Bahaiyah dan Qadianiyah, maka anak mereka tidak diperlakukan sebagai murtad. Sebab, bukan mereka yang murtad, melainkan orangtuanya. Karena mereka tidak murtad ke dalam agama Ahlul Kitab (Nashrani dan Yahudi) maka mereka diperlakukan sebagai musyrik sehingga dilarang memakan sembelihan mereka dan perempuannya tidak boleh dinikahi. Sebab, status bagi non-Muslim hanya dua, tidak ada ketiganya; kalau tidak kafir, ya musyrik (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 35).

Keempat, keturunan dari orang yang murtad dari Islam, dan kemudian menjadi Nasrani, sebagaimana kasus di Lebanon, seperti keluarga Shihab. Orangtua mereka Muslim, kemudian murtad menjadi Nasrani sehingga keturunannya menganut agama Nasrani. Mereka dan yang sepertinya diperlakukan sebagai Ahlul Kitab (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 35). WalLâhu a’lam bish-shawâb. []

Daftar Bacaan:

Abdullah, Muhammad Husin, Dirâsât fi al-Fikr al-Islâmiyah, (Beirut: Dar al-Bayariq), Cetakan I, 1990.

Al-Bahuti, Manshur bin Yunus bin Shalahuddin bin Hasan bin Idris, Kasysyâf al-Qanâ’ ’an Matnil Iqnâ’, (Dar Alamul Kutub), 1997.

Ad-Dardiri, Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-Adwi Abul Barkat, Asy-Syarhush Shaghîr ‘ala Aqrab al-Masâlik, (Darul Ma’arif Mesir), 1992.

Haikal, Dr. Muhammad Khair, Al-Jihâd wal Qitâl fi as-Siyâsah asy-Syar’iyah jilid I, (Beirut: Dar al-Bayariq), Setakan II, 1996.

“Hukum Mati Bagi Orang Yang Murtad”, (http://www.hayatulislam.net/hukuman-mati-bagi-orang-yang-murtad.html)

Al-Kasani, Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad Alauddin, Badâi’ ash-Shanâi’, (Beirut: Darul Kutub al-Arabi), 1996.

Lathif, Dr. Abdul Aziz Al Abdul, Amwâj ar-Riddah wa shakhrah al-خmân ar-Riddah Mafhûmuhâ wa Asbâbuhâ fi al-Aqîdah wa asy-Syarî’ah, (http://www.saaid.net/arabic/ar29.htm)

An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009..

Al-Maliki, Abdurrahman, Nizhâm al-Uqûbât, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 1990.

Ar-Raghib, al-Husain bin Muhammad al-Mufadhal al-Ashfahani, Mufradât Alfâdz al-Qurân al-Karîm, (Damaskus: Dar al-Qalam), tanpa tahun.

Asy-Syarbini, Muhammad bin Ahmad Syamsuddin, Mughni al-Muhtâj Ila Ma’rifah Ma’âni Alfâdz al-Minhâj, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), 2000.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*