Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) Ke-5 baru saja berakhir. Hajatan besar lima tahunan yang diselenggarakan pada 7–9 Mei 2010 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta itu diikuti oleh sekitar 800 tokoh umat Islam dari seluruh Indonesia, baik dari utusan Ormas Islam tingkat Pusat, MUI Pusat dan Daerah maupun dari lembaga dan komponen umat Islam lain. Dibuka oleh Presiden SBY dan ditutup oleh Wapres Boediono, Kongres menghasilkan sejumlah kesepakatan dan rekomendasi yang dituangkan dalam Deklarasi Jakarta 2010, khususnya menyangkut masalah kepemimpinan dan ekonomi umat yang menjadi tema sentral Kongres.
Menyangkut kepemimpinan, peserta Kongres memandang penting kepemimpinan umat sebagai perwujudan perjuangan menerapkan amar makruf nahi mungkar dalam rangka menegakan syariah Islam pada seluruh sendi kehidupan bangsa dan negara (Poin 4 Deklarasi KUII-V). Oleh karena itu, peserta Kongres mendesak Pemerintah dan pihak terkait untuk membuat regulasi (aturan) tentang pengetatan kriteria pimpinan di setiap level yang bersih dari calon pemimpin yang cacat moral (amoral) (Poin 3, Rekomendasi C. Politik Kebangsaan). Akhirnya, Kongres menghimbau umat Islam untuk memilih calon pemimpin di semua tingkatan yang memiliki paradigma, karakter dan visi yang sesuai ajaran Islam (Poin 4, Rekomendasi C. Politik Kebangsaan).
Menyangkut masalah hukum, sejalan dengan perkembangan masyarakat, peserta Kongres menghendaki agar pranata sistem hukum dan perundang-undangan terus diperbarui dengan meninggalkan berbagai produk hukum warisan kolonial Belanda dan lainnya yang bertentangan dengan syariah Islam, serta harus ada usaha untuk menangkal masuknya produk hukum yang mengandung sekularisme, liberalisme dan kapitalisme. Ditegaskan pula bahwa ketentuan perundang-undangan yang bertentangan dengan prinsip keadilan, termasuk di dalamnya keadilan ekonomi, harus direvisi.
++++
Menyadari nilai strategis forum ini, delegasi HTI yang terdiri dari Ustadz Muhammad Rahmat Kurnia dan Ustadz Harist Abu Ulya berusaha mengikuti Kongres ini dengan sebaik-baiknya, dengan cara menyampaikan ide dan pemikiran yang terbaik. Usaha ini dibantu oleh Ustadz Muhammadun, Ustadz Yassin Mutahhar dan Ustadz Rudi yang secara kebetulan masing-masing hadir dalam Kongres ini sebagai anggota delegasi MUI Riau, MUI Babel dan MUI Banten.
Dalam Kongres ini dibentuk 3 Komisi: Komisi A Kepemimpinan, Komisi B Ekonomi dan Komisi C Rekomendasi. Delegasi HTI sesaat setelah menerima draft yang akan dibahas dalam Komisi segera melakukan penelaahan dan dibuatlah usulan yang kemudian diperbanyak dan dibagikan kepada peserta. Hal inilah yang membuat peserta menilai bahwa dalam Kongres ini HTI menjadi delegasi yang paling siap.
Namun, meski sudah berusaha menyampaikan gagasan di setiap kesempatan, ditambah dengan usulan tertulis, toh tidak semua gagasan HTI itu bisa mudah diterima oleh peserta. Untuk gagasan kepemimpinan, misalnya, khususnya bila itu menyangkut ide Khilafah, respon sebagian peserta kurang memuaskan seperti tampak pada diskusi dalam Pleno 4 yang membahas ‘Kepemimpinan Umat untuk Kesejahteraan Bangsa’ dengan pembicara Prof. Dr. Din Syamsuddin dan Prof. Dr. KH. Thalhah Hasan. Mereka tidak menyetujui ide khilafah dengan alasan: (1) bahasan sekarang ini adalah kepemimpinan umat di Indonesia, bukan kepemimpinan negara; (2) yang sedang dikaji adalah kepemimpinan dalam konteks NKRI.
Namun, untuk gagasan mengenai ekonomi, semua usulan delegasi HTI relatif bisa diterima dan masuk dalam rekomendasi.
++++
Keterlibatan intens delegasi HTI dalam KUII Ke-5 itu tentu bertolak belakang dengan kenyataan bahwa sebelumnya HTI sempat diputuskan tidak akan diundang. Berita ini dilansir secara terbuka oleh Ketua Pelaksana Kongres, Pak Ichwan Syam dalam konferensi pers yang diadakan menjelang pelaksanaan Kongres. Dalam kesempatan itu dinyatakan bahwa organisasi yang berpengurus ganda, yang terkena fatwa MUI dan mengundang pro dan kontra tidak akan diundang, diantaranya MMI, FPI dan HTI.
Pernyataan ini kontan mengundang reaksi. Di antaranya datang dari Ketua Umum DDII (Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia), KH Suhada Bahri sebagaimana dikutip oleh Republika Online (8/4) “HTI, FPI, dan MMI seharusnya diajak karena secara ideologis tidak ada perbedaan, jadi mestinya diikutkan.’’
Suhada bisa memahami bila panitia Kongres tidak mengikutsertakan Ahmadiyah dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Keduanya dinilai memiliki keyakinan menyimpang dibandingkan berbagai ormas lain. Ahmadiyah mengakui adanya nabi setelah Muhammad, sedangkan LDII menganggap umat Islam di luar golongan mereka sebagai kafir.
Alasan lain pentingnya FPI, HTI, dan MMI ikut dalam Kongres, menurut Suhada, karena ketiganya juga memiliki konsep ekonomi yang bisa menjadi masukan bagi kongres, terutama HTI yang memiliki konsep ekonomi Islam cukup radikal yang bisa mewarnai diskusi kongres untuk mengembalikan kejayaan ekonomi umat.
Membaca berita tentang rencana tidak akan diundangnya HTI, saya langsung mengirim SMS mempertanyakan soal itu kepada tiga pimpinan MUI, yakni Pak Din Syamsuddin, Pak Ichwan Syam dan KH Nadzri Adlani. Pak Nadzri langsung merespon, dengan mengatakan hendaknya soal itu ditanyakan langsung kepada Pak Din dan Pak Ichwan. Pak Din belakangan juga merespon bahwa itu memang keputusan panitia, yang dia tidak tahu persis alasannya karena pada saat diambil keputusan ia sedang berada di luar negeri. Ia menyarankan sebaiknya HTI berkirim surat kepada Panitia. Pak Ichwan Syam juga akhirnya memberikan respon, yang intinya meminta HTI bersabar menunggu karena hal itu akan dibicarakan lagi.
Benar, setelah surat dilayangkan, satu hari kemudian soal kesertaan HTI dibicarakan di dalam rapat Panitia SC (Steering Commitee). Intinya, Panitia akhirnya sepakat mengundang HTI, tetapi setelah apa yang mereka sebut proses klarifikasi tentang satu persoalan dilakukan. Untuk hal itu, satu hari kemudian delegasi HTI datang menemui pimpinan MUI, yang diterima oleh Pak Amidhan (Ketua MUI) dan Pak Anwar Abbas (Sekretaris MUI), menyusul kemudian Pak Ichwan Syam. Perkara yang dimintakan klarifikasi ternyata adalah persoalan di seputar Aksi Solidaritas Palestina pada bulan November tahun lalu. Aksi itu dinilai oleh sementara pihak seolah telah dikooptasi oleh HTI.
Dijelaskan bahwa pendapat semacam itu sama sekali tidak benar. HTI sebagai koordinator penyelenggara, sesuai dengan amanah yang diberikan MUI, telah menjalankan seluruh langkah untuk mengadakan aksi itu dengan sebaik-baiknya, mulai dari mengundang ormas-ormas Islam untuk mengirim massanya lengkap dengan atribut, bendera, poster dan spanduk. Juga telah meminta sejumlah tokoh untuk menjadi pembicara. Bahwa pada hari H, yang hadir kebanyakan adalah massa HTI dengan bendera, atribut, poster dan spanduk serta yel-yel khas HTI, dan karenanya tampak seolah itu menjadi aksi HTI, tentu HTI tidak bisa dipersalahkan. Malah mestinya bersyukur, sebab bila massa HTI tidak hadir, bisa jadi aksi itu kering dari peserta yang pada akhirnya akan memberikan penilaian kurang bagus, seolah aksi yang digalang MUI tidak didukung umat. Ringkasnya, penjelasan itu bisa diterima, dengan permintaan dari HTI agar dikemudian hari bila ada masalah dengan Ormas Islam, untuk segera dilakukan tabayun atau klarifikasi langsung kepada pengurus agar tidak berlarut-larut dan cenderung berkembang tidak karuan seperti yang terjadi dalam kasus Aksi Palestina itu.
Di sisi lain, kita tentu juga tidak ingin, bila sampai HTI benar tidak diundang dalam Kongres, ada pihak tertentu yang akan memanfaatkan fakta itu untuk mendiskreditkan HTI seolah HTI tidak menyatu dengan umat.
Ringkas cerita, akhirnya HTI diundang, dan delegasi HTI mengikuti Kongres itu dengan penuh antusiasme.
++++
Usai penutupan acara Kongres, Muhammad Rahmat Kurnia bertemu Pak Ichwan Syam. Kepadanya Pak Ichwan mengatakan, “HTI itu luar biasa. Dikasih impuls sedikit, responnya besar sekali….”[]