Ada hal menarik yang disampaikan oleh KH Ali Yafie dalam acara taaruf peserta Kongres Umat Islam Indonesia V (KUII V) di Asrama Pondok Haji, Jakarta, 7 Mei 2010. Beliau menyampaikan, “Kini tengah terjadi krisis kepemimpinan dan ekonomi, bukan hanya nasional melainkan global. Almuslimun aktsariyatu fil ‘adad walakin aqalliyatu fil ‘udad. Kaum Muslim mayoritas dalam jumlah, namun minoritas dalam peran.”
Tampak umat Islam yang mulia ini sekarang sedang berada dalam kondisi laksana buih (ka ghutsai assail), seperti diberitakan oleh Rasulullah Muhammad saw. Penyebab semua itu pun jelas, yaitu cinta dunia dan takut mati, hubbud dunya wa karahiyat almaut (HR Muslim dan Ahmad).
Dalam salah satu sidangnya, peserta Kongres menyepakati realitas bahwa masyarakat Indonesia saat ini berada di ujung tubir kepercayaan kepada para pemimpinnya, karena banyak pemimpin di negeri ini tidak menunjukkan keteladanan dalam mengemban amanah yang dipikulnya. Apa yang dikatakan di publik berbeda dengan apa yang dilakukan. Oleh karenanya, kepemimpinan Islam harus mempunyai karakter amanah dan mampu menjadi suri teladan (uswah hasanah).
Ironis memang. Sekadar contoh, saat membuka KUII V Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, “Islam hadir sebagai jalan kehidupan dan keadilan bagi seluruh alam. Islam datang untuk keadilan. Nilai nilai Islam yang merupakan tuntunan al-Quran dan as-Sunnah adalah mata air. Al-Quran dan as-Sunnah adalah pedoman hidup jalan lurus untuk keselamatan dunia akhirat. Islam sebagai rahmat dicontohkan Rasul saat membangun peradaban baru di Makkah dan Madinah, tatanan peradaban yang khairu ummah atas dasar keimanan dan ketakwaan yang kukuh, atas tuntunan al-Quran dan as-Sunnah.”
Namun, kenyataannya al-Quran dan as-Sunnah tidak dijadikan landasan kehidupan. Peradaban yang dicontohkan Rasul itu adalah peradaban Islam yang menerapkan syariah. Di negeri Muslim terbesar ini hukum-hukum Allah SWT dipinggirkan. Demokrasi dijadikan berhala baru. Padahal demokrasi berarti menyerahkan urusan hukum kepada manusia. Berbeda kata dengan perbuatan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ (٢)كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tiada kalian kerjakan (QS ash-Shaff [61]: 2-3).
Pada sisi lain, kehendak umat untuk dihukumi oleh syariah Islam tak akan pernah terbendung. Dalam Deklarasi Jakarta 2005 KUII IV, ditegaskan, “Menjadikan syariat Islam sebagai solusi dalam mengatasi berbagai macam problematika bangsa.”
Hal ini lalu dikukuhkan dalam Deklarasi Jakarta 2010 KUII V, “Peserta Kongres Umat Islam memandang pentingnya kepemimpinan umat sebagai perwujudan perjuangan menerapkan amar makruf nahi mungkar dalam rangka menegakkan syariat Islam pada seluruh sendi kehidupan bangsa dan negara.”
Kenyataan demikian menggambarkan betapa upaya untuk menegakkan hukum Allah SWT tak lekang ditelan zaman.
Hanya saja, kepemimpinan seperti apa, ini yang penting ditegaskan. Kepemimpinan Islam merupakan kepemimpinan untuk menerapkan syariah Islam demi kemaslahatan umat. Kepemimpinan yang ada terdiri dari dua jenis, yakni kepemimpinan umat dan kepemimpinan negara (dawlah). Selama ini kedua jenis kepemimpinan ini terpisah. Padahal sejatinya kepemimpinan umat menyatu dengan kepemimpinan negara agar benar-benar mendatangkan kemaslahatan bagi umat. Karena umat Islam adalah umat yang satu, maka perlu ada satu kepemimpinan umat.
Kemaslahatan umat hanya bisa diwujudkan manakala kepemimpinan negara menerapkan syariah dan menolak segala bentuk penjajahan. Kemaslahatan umat hanya bisa diwujudkan manakala kepemimpinan dijalankan dengan penuh amanah dalam sistem syariah. Kemaslahatan umat dalam satu negara sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh sistem dan konstalasi politik internasional. Umat Islam dalam sebuah negeri sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam di negeri lain. Oleh karenanya, kepemimpinan umat harus diwujudkan pada level global. Hanya bila memiliki kepemimpinan global (internasional), umat akan memiliki kekuatan global yang sangat diperlukan untuk menjawab tantangan global (penjajahan, agresi militer dan sebagainya). Kepemimpinan umat global tidak lain itulah Khilafah. Inti dari Khilafah adalah iqamatuddin (menerapkan syariah dan menjaga akidah) dan tauhidul muslimin (penyatuan umat). Ke sanalah kepemimpinan umat wajib diarahkan. []