Soal:
Ada sebagian orang menuduh Muawiyah telah mengubah sistem Khilafah menjadi kerajaan (monarki). Bagaimana sebenarnya kita mendudukkan masalah ini?
Jawab:
Sebagian orang berkesimpulan seperti itu karena ada isyarat yang dinyatakan dalam hadis riwayat Ahmad:
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
An-Nu’man bin Basyir berkata: Kami pernah duduk-duduk di dalam masjid bersama Rasulullah saw., kemudian Basyir menahan pembacaan hadisnya. Lalu datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyani dan berkata, “Wahai Basyir bin Sa’d, apakah kamu hapal hadis Rasulullah saw. berkenaan dengan Umara’. (para pemimpin)?” Kemudian Hudzaifah berkata, “Aku hapal khutbah beliau.” Abu Tsa’labah pun duduk, kemudian Hudzaifah berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Akan berlangsung nubuwwah (kenabian) di tengah-tengah kalian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya (berakhir) bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung Kekhilafahan menurut sistem Kenabian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung kerajaan yang bengis selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung pemerintahan yang menindas (diktator) selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian akan berelangsung kembali Kekahalifahan menurut sistem Kenabian. Kemudian beliau berhenti.’”
Dari pernyataan Nabi saw. yang menyatakan akan adanya mulkan ‘addhan (kerajaan yang bengis), mereka berkesimpulan, bahwa periode ini berlangsung sejak Muawiyah berkuasa. Hadis ini pula yang dijadikan sebagai justifikasi, bahwa Muawiyahlah yang mengubah sistem Khilafah menjadi sistem kerajaan (monarchi). Pertanyaannya, apakah memang benar demikian?
Tentu tidak demikian. Sebab, apa yang dinyatakan dalam hadis-hadis tersebut sebenarnya tidak bertentangan dengan status Khilafah tetap sebagai sistem pemerintahan hingga akhir Kekhilafahan Utsmani. Muawiyah sendiri dibaiat untuk menduduki jabatan khalifah sebagaimana khalifah yang lain. Meski tetap tidak bisa dipungkiri, bahwa peristiwa Perang Shiffin, hingga naiknya Muawiyyah adalah fase abnormal, karena status pemerintahannya merupakan hukm at-tasalluth (pemerintah yang diperoleh melalui kudeta). Dari segi fakta, bahwa ini merupakan kesalahan, jelas. Karenanya, pada fase ini, status pemerintahannya tidak sah, memang benar.
Namun, setelah peristiwa ‘Am al-Jama’ah (Tahun Rekonsiliasi), yaitu ketika Sayidina Hasan bin Ali ra. menyatakan mundur dari jabatannya sebagai khalifah pada 25 Rabiul Awwal 41 H, atau 6 bulan setelah wafatnya Imam Ali kw., maka status hukumnya berbeda. Peristiwa ‘Am al-Jama’ah adalah peristiwa saat Sayidina Hasan menyerahkan kekuasaan (Khilafah) kepada Muawiyah. Dengan begitu terjadilah rekonsialisasi (ishlah) dan kekuasaan Muawiyah yang asalnya tidak sah pun akhirnya menjadi sah. Setelah peristiwa itu, Muawiyah secara resmi menjadi khalifah kaum Muslim yang kelima, yang dibaiat dengan baiat yang sah, yaitu bi ar-ridha wa al-ikhtiyar (dengan sukarela).
Karena itu, al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyimpulkan, bahwa Muawiyah adalah khalifah yang dibaiat sebagaimana pembaiatan Abu Bakar as-Shiddiq. Demikian juga penunjukkan yang dilakukan oleh Muawiyah kepada anaknya, Yazid, menurut beliau, sebenarnya sama dengan penunjukan yang dilakukan oleh Abu Bakar kepada Umar. Meski tidak sama persis, keduanya sama-sama melakukan penunjukan. Hal yang sama kemudian dilakukan oleh para khalifah setelahnya, yaitu melakukan penunjukan putra mahkota, kemudian setelahnya dibaiat.
Bedanya, mekanisme dan tatacara penunjukan dan baiatnya tidak tepat. Abu Bakar menunjuk Umar bukan karena faktor kekerabatan, tetapi karena, dalam pandangan Khalifah Abu Bakar, beliaulah orang yang paling layak dan tepat untuk memimpin kaum Muslim. Setelah itu, beliau pun menyampaikan pandangan beliau kepada kaum Muslim. Baru kemudian beliau ditunjuk setelah mayoritas kaum Muslim setuju dengan pandangan beliau. Dengan begitu, status penunjukan beliau kepada Umar ini sama dengan praktik pencalonan dan pemilihan. Setelah itu, mereka pun dibiarkan memilih dan membaiat Umar dengan sukarela, tidak ada paksaan dari siapapun.
Namun, Muawiyah menunjuk anaknya, Yazid, sebagai putra mahkota, sedangkan para khalifah setelahnya menunjuk kerabatnya sebagai putra mahkota. Pada saat yang sama, Yazid pun mengambil baiat dari kaum Muslim bukan dengan sukarela, melainkan dengan kekuatan senjata dan paksaan, sehingga disebut oleh ahli sejarah dengan bai’at bi as-sayf wa al-mal (baiat yang diambil dengan pedang dan uang). Tidak sedikit Khalifah setelahnya mengambil baiat untuk diri mereka sendiri dengan kekuatan kekuasaan yang dimilikinya.
Karena itu, jika pertanyaannya, apakah sistem ini masih layak disebut sistem Khilafah? Jawabnya, tetap layak, karena tidak ada yang berubah dalam sistem tersebut. Kesalahan-kesalahan dalam praktik penunjukan dan baiat tersebut tidak bisa mengubah status sistem Khilafah menjadi sistem kerajaan atau yang lain. Juga harus dipahami, bahwa kesalahan-kesalahan seperti ini juga lazim terjadi dalam praktik sistem apapun, tetapi tetap tidak mengubah status sistem itu. Sebab, di sana ada faktor manusia; pelaksana sistem tersebut adalah manusia, bukan malaikat. Karena itu, negara Khilafah adalah negara manusia (dawlah basyariyyah), bukan dawlah uluhiyyah (negara teokrasi), yakni para penguasanya adalah manusia, bukan malaikat, bukan wakil tuhan atau dalam bahasa kekaisaran disebut titisan dewa. Dengan demikian, sistem pemerintahan dalam sepanjang sejarah Islam tetap merupakan sistem Khilafah. Itulah fakta hukum dan sejarah yang harus dipahami oleh kaum Muslim.1
Adapun apa yang dituduhkan oleh kaum kafir penjajah yang bekerjasama dengan para orientalis, bahwa sistem Khilafah itu telah berakhir pada zaman Sayidina Ali, itu menunjukkan ketidakpahaman mereka tentang fakta sistem pemerintahan Islam yang sesungguhnya. Celakanya, ada orang yang diklaim sebagai intelektual Muslim berpandangan dangkal seperti mereka. []
Catatan kaki:
1 Pandangan ini tertuang dalam nasyrah yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir pada awal dekade tujuh puluhan, ketika al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani masih menjadi Amir Hizb, sebelum beliau wafat pada tahun 1977 M.