Menyoal Gagasan Kesetaraan Gender
Kemunculan gagasan gender equality atau kesetaraan gender, yakni upaya menyetarakan perempuan dengan laki-laki, beranjak dari sebuah asumsi tentang kondisi perempuan. Kaum perempuan diasumsikan berada dalam kenyataan buruk seperti keterkungkungan, kemiskinan, ketertinggalan, ketertindasan dan sebagainya. Kondisi buruk itu terjadi akibat beban-beban yang dipikul kaum perempuan yang menghambat kemandiriannya. Beban-beban berat itu antara lain perannya sebagai ibu: hamil, menyusui, mendidik anak dan mengatur urusan rumah tangga. Lalu kaum perempuan diarahkan untuk meninggalkan kodratnya. Mereka diprovokasi agar berlomba mensejajarkan diri dengan laki-laki yang tidak memiliki beban serupa.
Dengan dalih peduli terhadap nasib perempuan, ‘kemajuan perempuan Barat’ dengan ide kesetaraan gender-nya yang rusak dan asumtif itu dijadikan patron ideal bagi kemajuan perempuan Muslim. Aturan-aturan Islam yang dianggap mengukuhkan ketidakadilan terhadap perempuan—seperti masalah perwalian, nasab, pakaian, waris, kepemimpinan, juga nafkah—menjadi sasaran rekonstruksi gender.
Selanjutnya, atas nama pemberdayaan ekonomi perempuan, kesehatan reproduksi perempuan, peningkatan partisipasi politik perempuan dan program-program ’bermadu’ lainnya, para aktifis gender menyuntikkan pemikiran-pemikiran beracun untuk membius kaum perempuan hingga lupa pada jatidirinya sebagai Muslimah, serta lupa pada komitmennya terhadap keluarga dan tugas mempersiapkan generasi. Kemudian, gagasan-gagasan seputar ’kemandirian dan pembebasan perempuan’ serta isu-isu gender lain ala Barat pun menjadi topik-topik hangat yang diperbincangkan perempuan-perempuan Muslimah di berbagai forum diskusi, seminar-seminar, pengajian-pengajian, bahkan obrolan-obrolan kecil ibu-ibu perumahan. Semakin hari semakin banyak Muslimah yang merasa bangga menjadi pejuang gender dan feminisme.
Pengarusutamaan Ide Gender
Banyaknya pejuang gender ini tentu tak bisa dilepaskan dari peran ’agen misi’ dari kalangan gerakan-gerakan perempuan (feminis) Muslim yang terus berupaya mencuci otak kaum Muslim agar bisa menerima ide kesetaraan gender ini. Upaya penanaman nilai-nilai gender ini dilakukan melaui jalur kultural maupun struktural. Pada jalur kultural, para feminis yang berjejaring dengan berbagai LSM-LSM komprador yang sengaja disponsori foundation kapitalis ‘berjuang’ pada tataran praktis menanamkan mindframe yang mereka inginkan, yakni mindframe feministik dan liberalis yang jauh dari Islam, bahkan tak sedikit yang melawan Islam! Itulah mengapa, hari ini kita bisa melihat, betapa para feminis Muslim dan kaum liberalis yang tergabung dalam LSM-LSM tadi–baik melalui lembaga maupun melalui individu-individu yang mereka blow-up ketokohannya—sangat gigih menyerukan gagasan-gagasan liberal atas nama pembebasan perempuan. Hakikatnya gagasan-gagasan itu menyerukan pembebasan kaum Muslim dari mindframe Islam lewat apa yang mereka namakan gagasan reinterpretasi dan rekonstruksi ajaran Islam. Ajaran-ajaran Islam tentang peran perempuan disudutkan untuk kian menguatkan opini bahwa ide KKG adalah solusi. Sebaliknya, Islam dinilai pengukuh keterbelakangan perempuan sehingga sudah saatnya dipermak, dicampakkan atau dipeti-eskan.
Berbagai konferensi internasional digelar untuk menginternalisasikan nilai-nilai gender secara struktural. Mulanya adalah Konvensi PBB pertama tentang perempuan, yang menekankan integrasi perempuan dalam berbagai bidang pembangunan, dengan fokus produktivitas kerja perempuan atau WID (Women In Development). Program ini kemudian diubah menjadi WAD (Women and Development), karena dianggap lebih memposisikan perempuan sebagai subyek pembangunan. Tahun 1979 dideklarasikanlah Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of all Form of Discrimination Against Women) sebagai pencanangan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Lalu dilanjutkan dengan Konvensi PBB II (1980) di Kopenhagen dan Konvensi III (1985) di Nairobi sebagai bentuk pemantapan dari WAD. Kemudian tahun 1990, pada Konvensi di Vienna, digulirkanlah program GAD (Gender and Development), atau yang dikenal dengan PUG (Pengarus Utamaan Gender).
Konvensi Internasional Kependudukan (International Conference Population and Development-ICPD), September 1994 di Kairo, merupakan batu loncatan penting untuk mencetuskan bahwa “perempuan” adalah kunci bagi penyelesaian masalah ledakan penduduk. Kemudian dihasilkanlah program aksi bertema “Empowerment of Women” (pemberdayaan perempuan). Dengan alasan bahwa perempuan adalah sumberdaya potensial untuk memberantas kemiskinan, meningkatkan kualitas keluarga dan mengendalikan jumlah penduduk, maka perempuan harus mendapat peluang berkiprah lebih besar di berbagai bidang.
Aksi ini dilanjutkan dengan Konferensi Wanita Sedunia IV (Fourth World Conference on Women) di Beijing, Cina September 1995, yang menghasilkan BPFA (Beijing Platform for Action). Sebagai tindak lanjutnya ditetapkanlah aksi yang lebih luas lagi. Pada tahun 1997 Komisi PBB tentang status wanita menetapkan isu “Wanita dalam Kekuasaan dan Penentu Kebijakan”. Tahun 2000 lahirlah konsensus global oleh 189 negara anggota PBB yang dikenal dengan Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDG) yang menekankan kepentingan perjuangan HAM bagi semua orang, termasuk perjuangan perempuan menuju kesetaraan gender serta penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Selanjutnya, berbagai konvensi dan hasil kesepakatan ini kemudian dipaksa untuk diratifikasi/diadopsi oleh seluruh negara-negara di dunia melalui blow up opini, tekanan politik, syarat bantuan dan lain-lain.
Perkembangan terbaru dalam rangkaian program ini adalah adanya Global Meeting For Woman Equality–Musawah pada tanggal 13–17 Februari 2009 di Kuala Lumpur Malaysia, yang diselenggarakan oleh Sisters in Islam Malaysia (LSM Gender di Malaysia). Pertemuan ini digagas oleh 12 orang gender dari 11 negara dan mengikutsertakan kurang lebih 30 negara. Salah satu penggagasnya adalah Komala Chandra Kirana dari Indonesia. Musawah ini dimaksudkan sebagai gerakan global untuk kesetaraan dan keadilan dalam keluarga Muslim menuju terbentuknya keluarga yang “humanis”. Dalam rencana kerjanya, Musawah mengajukan pereformasian Undang-undang Keluarga Islam yang dianggap telah mendiskriminasikan perempuan.
Inti dari semua kesepakatan global yang akhirnya dipaksa untuk diterapkan di negeri-negeri Muslim adalah mengegolkan formalisasi hukum negara yang mengandung spirit pembebasan dari aturan Islam; termasuk merombak pola interaksi, peran dan fungsi perempuan sebagaimana diajarkan Islam sekaligus menghapus kepemimpinan suami. Ujungnya adalah upaya mendesakralisasi lembaga perkawinan sekaligus membuka keran kebebasan atas nama kesetaraan.
Di negeri ini kita bisa melihat beberapa produk UU yang lahir dari spirit konvensi internasional gender. Salah satunya adalah UU PKDRT (UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang merupakan spirit Konvensi CEDAW. UU ini telah mengkriminalisasi peran suami dalam mendidik istri atau anak atas nama penghapusan tindak kekerasan, sekaligus mempublikasi persoalan-persoalan privat yang sebenarnya diberikan solusinya oleh Islam. UU ini juga membuka celah terjadinya disfungsi dan disharmoni peran suami-istri yang lebih jauh akan menggoyahkan keutuhan rumah tangga.
Kerusakan Global Akibat Tatanan Gender
Mainstream kesetaraan gender yang telah dilakukan secara sistemik pada akhirnya telah merusak tatanan rumah tangga tidak hanya di negeri Muslim yang dijadikan target penghancuran. Di negara Barat pengekspor ide gender, yakni Inggris dan AS, perceraian keluarga menjadi obsesi. Hampir semua negara maju memiliki kenaikan angka perceraian yang tinggi. Diduga kesempatan luas yang diberikan kepada perempuan menjadi salah satu penyebabnya. Banyak perempuan memiliki karir dan secara finansial tidak bergantung pada siapapun. Akibatnya, lebih sedikit perempuan yang mau memilih hidup dalam pernikahan yang mengikat.
Data statistik menunjukkan liberalisme dan individualisme yang membidani ide gender telah merapuhkan kehidupan keluarga. Setidaknya itulah yang terlihat dari perbandingan antara dua negara maju di Eropa, yaitu Swedia dan Jerman. Swedia mendifinisikan dirinya sebagai bangsa individu. Tidak ada di sana pemberian uang bagi pasangan menikah, tidak ada potongan pajak bagi anak-anak, serta tidak ada cara untuk menyimpan penghasilan bersama-sama. Realitas yang terjadi, kurang lebih setengah dari jumlah bayi di Swedia lahir dari ibu yang tidak menikah. Angka perceraian di Swedia mencapai 60%, menduduki peringkat pertama di dunia.
Gender: Merusak Tatanan Keluarga Muslim
Tidak berbeda jauh dari negeri-negeri Barat, setelah bergulirnya ide KKG, juga pemberlakuan UU KDRT, fakta menunjukkan kehidupan keluarga di negeri ini tidak semakin baik. Angka perceraian semakin hari semakin meningkat. Perceraian para selebriti yang mewakili satu komunitas masyarakat di Indonesia setiap hari bisa kita saksikan di televisi. Perzinaan bukan masalah yang tabu lagi. Perselingkuhan juga menjadi kabar keseharian. Perkawinan dengan sesama Muslim bukan sesuatu yang harus dipegang teguh. Para ibu didorong keluar rumah untuk berlomba mendapatkan kesempatan beraktivitas di segala bidang. Beraktivitas dalam rumah tangga oleh para aktifis perempuan dianggap mensubordinasikan perempuan dan secara ekonomi tidak menghasilkan apa-apa. Untuk itu, mereka memprovokasi para wanita untuk meninggalkan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga demi mengejar kesetaraan dengan laki-laki, bekerja dan beraktivitas di luar rumah. Jadilah anak-anak yang merasakan dampaknya. Anak dibiarkan hidup dengan miskin bimbingan dan arahan. Banyak anak yang kesepian, tidak bahagia, sehingga melakukan kompensasi yang salah, dengan mengkonsumsi obat-obatan terlarang, pergaulan bebas, konsumen situs porno di internet, pelaku kejahatan dan sebagainya. Generasi seperti itukah yang diharapkan akan memimpin negara?
Tidak hanya anak yang kehilangan harapan terhadap ibu dan keluarganya. Para suami pun merasa kehilangan manager rumah tangganya. Para bapak yang tidak kuat iman akan melakukan pelampiasan dengan minuman keras, memiliki WIL atau memilih seks jalanan karena kurang terpenuhi di rumah-rumah mereka. Keutuhan keluarga terancam, bahkan bisa bubar, dan yang paling menderita adalah anak.
Menurut tafsir gender, perempuan bisa menjadi kepala keluarga manakala bisa menghidupi keluarga. Akibatnya, perempuan berambisi untuk mendapatkan kekayaan walau harus bersaing keras dengan laki-laki. Tugas utama sebagai ibu dan pengatur rumah tangga terabaikan. Dalam benaknya terpikir, toh ketika materi sudah didapat melebihi milik suaminya, peran tersebut bisa dilimpahkan kepada suaminya karena dia bisa menggantikan peran suaminya sebagai kepala keluarga. Lalu apa yang akan terjadi? Ketidakharmonisan keluarga.
Gagasan kesetaraan gender bak pil pahit bersalut gula. Setelah gulanya habis tinggal pahitnya saja tentunya. Sekilas kelihatan manis, tetapi sebenarnya berbahaya, karena merugikan perempuan, keluarga dan generasi, seperti yang terjadi di negara asalnya. Akankah hal ini dipertahankan? Kalau iya, tampaknya bisa dipastikan Indonesia juga akan mengalami kehancuran tatanan keluarga dan generasi. Hal ini sudah dan sedang menggejala di tengah masyarakat. Ironisnya, sejauh ini biang keladi penyebab kehancurannya, yaitu ide-ide gender bukannya dihilangkan, tetapi malah gencar disosialisasikan. Anehnya, juga dilakukan oleh departemen yang seharusnya memelihara nilai-nilai sakral agama, yaitu Departemen Agama. Hal ini tidak hanya menimpa Indonesia, tetapi negeri-negeri Islam pada umumnya. Sebab, demikianlah yang diharapkan negara-negara Barat yang selalu memusuhi Islam untuk menghancurkan Islam dan masyarakatnya.
Saatnya Mencampakkan Ide Rusak
Ide-ide kesetaraan gender secara empiris telah merapuhkan dan bisa meruntuhkan bangunan keluarga, juga merusak perempuan dan generasi. Sebagai seorang Muslim kita harus selalu waspada terhadap ide-ide tersebut agar tidak terbius untuk meyakininya dan tersangkut sebagai pengembannya. Bahkan sudah sepatutnya kita mencampakkan pemikiran rusak dan merusak itu dari benak kaum Muslim. Kita harus meyakini bahwa aturan-aturan Allahlah yang benar dan harus senantiasa dipegang teguh, karena dengan itulah kita akan mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
WaLlâhu a’lam bi ash-shawâb. []