Hingga saat ini perempuan belum beranjak dari keterpurukannya. Sistem Kapitalisme telah terbukti menjadi penyebab tragisnya nasib perempuan. Eksploitasi tenaga perempuan demi berputarnya industri dan peningkatan devisa negara menyebabkan nasib kaum ibu ini semakin kritis. Tidak sekadar peran keibuannya menjadi terhempas. Fisik dan mentalnya pun berada dalam tekanan besar. Penderitaan perempuan, depresi hingga penyiksaan anak serta bunuh diri menjadi berita-berita biasa di media massa. Kejahatan sistem Kapitalisme telah membawa malapetaka tidak hanya bagi perempuan, namun juga seluruh manusia.
Makin Menghinakan
Kesadaran terhadap nasib buruk perempuan dalam sistem Kapitalisme sebenarnya telah dimiliki oleh mayoritas kaum perempuan sendiri. Bahkan ketertindasan itulah yang menggelorakan semangat untuk bangkit dan bergerak memperjuangkan hak-haknya. Namun, perjuangan perempuan untuk bangkit sering justru bermuara pada upaya membebaskan diri dari belenggu apapun. Bahkan dalam ranah perjuangan kebebasan, agama dipandang sebagai sebuah belenggu tersendiri. Dalam sebuah aksi para aktivis buruh perempuan memperingati 100 tahun perjuangan pembebasan perempuan, tanggal 8 Maret 2010 di Jakarta, isu sentral yang diangkat adalah “Perempuan Keluar Rumah!”, “Lawan Kapitalisme, Berjuang untuk Kesejahteraan dan Kesetaraan.”
Namun, alih-alih membebaskan perempuan dari jerat Kapitalisme, kenyataannya problem perempuan kian bertambah. Perjuangan pembebasan dan kesetaraan justru menjauhkan perempuan dari kesejahteraan, ketenteraman dan kebahagiaan. Perjuangan kesetaraan semakin menjauhkan fitrah perempuan sebagai manusia yang selayaknya dimuliakan. Perempuan harus bersaing dan berjuang dengan kaum laki-laki demi eksistensi dirinya. Tidak jarang perempuan harus menanggalkan naluri keperempuanannya (sebagai ibu dan istri yang memerlukan perlindungan) untuk meraih pengakuan yang setara dengan kaum pria dalam hal apa saja. Akhirnya, perjuangan kesetaraan hanya membuahkan kehidupan yang merendahkan dan menghinakan kaum perempuan sendiri.
Membawa Kesengsaraan
Sesungguhnya perjuangan pembebasan perempuan yang diusung oleh ide feminisme dan kesetaraan gender semakin membawa perempuan ke jurang kesengsaraan. Ini karena kedua ide tersebut beranjak dari cara pandang yang keliru:
1. Individualisme. Berdasarkan cara berpikir yang memandang masyarakat sebagai individu-individu maka cara pandang terhadap problem perempuan pun hanya bersifat individu. Perempuan sebagai individulah yang harus berjuang mengentaskan dirinya. Perempuan miskin, perempuan buta huruf, perempuan teraniaya, perempuan tereksploitasi, perempuan terpinggirkan dll hanya dipandang sebagai problem individualnya semata. Wajar kalau perjuangannya pun hanya bersifat individualis perspektif perempuan semata. Solusi yang ditawarkan tidak memandang kepentingan keluarganya, masyarakatnya, anak-anaknya atau suaminya. Wajar bila solusi feminisme justru menyebabkan korban di pihak lain. Sebagai contoh: peran ibu bagi pejuang feminisme adalah pilihan, bukan kewajiban. Pilihan ini sering dengan argumentasi bahwa bila peran keibuan dipandang sebagai kewajiban, maka itu berarti membelenggu perempuan dalam lingkungan domestik semata. Dengan demikian, keberhasilan perjuangan perempuan sering diartikan sebagai dominasi kiprah perempuan di sektor publik. Tentu anak-anak menjadi pihak yang paling terabaikan. Ketika peran ibu hanya sebagai pilihan, bukan tugas yang penting dan mulia, maka generasi akan kehilangan kaum ibu dalam makna yang sesungguhnya, yaitu kasih sayang yang optimal, pengasuhan, penyusuan dan pendidikan usia dini.
2. Kesetaraan yang memunculkan persaingan. Kesetaraan diartikan sebagai peran yang sama antara laki-laki dan perempuan. Tidak ada pembagian tugas domestik dan publik. Tidak ada pembagian peran. Kesetaraan memberikan peluang pertukaran peran. Perempuan berhak menjadi pemimpin rumah tangga, pengambil keputusan dalam keluarga, wali bagi dirinya sendiri dan lain-lain sebagaimana kaum laki-laki. Rumah tangga semacam ini, bila diibaratkan kapal, akan berpeluang besar karam. Siapa yang menjadi nakhoda, siapa yang menjadi asistennya, siapa yang mengurus akomodasi dan siapa yang menjaga kenyamanan dalam perjalanan? Mungkinkah ada dua nakhoda? Bagaimana bila ada perbedaan pendapat? Wajar bila kemudian konsep kesetaraan gender hanya memunculkan persaingan, kekeruhan interaksi dan ketidaknyamanan suasana. Akhirnya, muncul konsep praktis dari ide kesetaraan gender: bagaimana agar perempuan menjadi single parent atau bagaimana menjadi perempuan kepala keluarga.
3. Materi sebagai standar. Perhitungan kemanfaatan senantiasa disandarkan pada materi. Tidak jarang perempuan lebih peduli pada karir dan jabatannya, karena dalam benaknya keduanya menghasilkan materi. Materi selalu menjadi awal penentuan kemanfaatan. Sesudah materi, barulah eksistensi diri. Akibatnya, banyak perempuan yang merasa sayang meninggalkan karir untuk memfokuskan perannya sebagai ibu rumah tangga. Dalam benak perempuan karir, dengan uang ia bisa memberikan pelayanan yang terbaik bagi anak-anaknya. Dia bisa membeli susu formula terbaik, baby sitter berkualitas, fasilitas pendidikan yang memadai dan kenyamanan hidup bagi anak-anaknya. Padahal seorang ibu tidak bisa membeli kasih sayang dan perhatian yang terbaik untuk anaknya. Kasih sayang dan perhatian hanya diberikan oleh ibu secara langsung hanya dengan tangannya sendiri.
4. Bias Perempuan. Dengan pemikiran dasar bahwa hanya perempuan yang mengerti persoalan perempuan dan hanya perempuan yang mampu mengentaskan problemnya sendiri, maka muncul cara pandang yang bias perempuan. Paradigma ini akhirnya memandang budaya didominasi oleh laki-laki. Kepemimpinan laki-laki tidak akan mampu mengakomodasi kepentingan perempuan. Dominasi budaya laki-laki inilah yang dipandang menjadi pemicu ketidakadilan. Agama (Islam) lalu dipandang sebagai biang keladi tertindasnya perempuan. Bias perempuan ini memuncul-kan cara pandang negatif terhadap kaum laki-laki; seolah-olah laki-laki adalah makhluk yang akan memperlakukan perempuan secara buruk. Sebenarnya cara pandang ini juga menumbuhkan perasaan inferior perempuan terhadap dirinya sendiri. Ia merasa inferior sebagai ibu. Ia merasa terpinggirkan menjadi pengelola rumah tangga. Ia merasa malu menjadi istri yang taat suami. Cara berpikir ini tumbuh dan senantiasa dihembuskan di kalangan umat Islam yang telah kosong dari cara berpikir islami. Tidak jarang perempuan Muslim pun membenarkan cara pandang semacam ini.
Pentingnya Kesadaran Islam
Hal yang penting dilakukan untuk menumbuhkan gelombang kebangkitan yang hakiki pada kaum perempuan Muslim adalah dengan menumbuhkan rasa percaya dirinya sebagai seorang Muslimah. Kesadaran yang dimaksud adalah:
1. Meyakini bahwa laki-laki dan perempuan setara dalam peluang meraih ketakwaan.
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa (QS al-Hujurat [49]: 13).
Kesetaraan yang dimaksud adalah dalam hal ketakwaan. Bagi seorang perempuan, ketakwaan yang sesungguhnya adalah menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah dibebankan Allah SWT kepada kaum perempuan, baik sebagai manusia sebagaimana laki-laki atau sebagai seorang perempuan dengan tugas-tugas spesifiknya.
2. Meyakini kemuliaan peran dan nilai strategis sebagai ibu generasi.
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
Seorang wanita (istri) adalah pemimpin (pengurus) rumah suaminya dan anak-anaknya; ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya (HR Muslim).
Banyak pujian Islam terhadap perempuan shalihah. Hal ini akan menumbuhkan keyakinan Muslimah terhadap kemuliaan perannya. Pemahaman yang mendalam terhadap peran penting perempuan, yakni sebagai ibu generasi, akan menumbuhkan keyakinan terhadap nilai strategis peran keibuannya. Masa depan Islam ada di tangan generasi berikutnya. Kaum ibulah yang melahirkan, mengasuh dan menanamkan karakter dasar bagi generasi ini. Dengan demikian, kualitas generasi masa depan ada di tangan kaum ibu. Inilah yang menyadarkan perempuan tentang kemuliaan perannya.
3. Meyakini kemuliaan peran sebagai istri shalihah bagi suaminya.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari diri kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya… (QS ar-Rum [30]: 21).
Istri shalihah adalah pasangan yang paling didambakan oleh setiap laki-laki Muslim. Penghargaan yang besar terhadap seorang istri shalihah menyebabkan setiap Muslimah menginginkan dirinya menjadi shalihah.
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
Dunia itu perhiasan. Sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda, “Siapa saja yang telah Allah karuniai wanita shalihah berarti Dia telah menolongnya dalam satu bagian agamanya. Oleh karena itu, hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam bagian yang kedua.” (HR al-Hakim).
4. Meyakini bahwa Islam memberikan peluang dan kesempatan bagi Muslimah untuk berkiprah di sektor publik dalam rangka menunaikan kewajiban dan kemubahan.
Selain aktivitas pokok sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, pada saat yang sama perempuan boleh beraktivitas dalam kehidupan umum (publik). Allah SWT telah mewajibkan wanita mengemban dakwah dan menuntut ilmu atas apa yang dilakukannya dalam kehidupan. Allah SWT juga telah membolehkan perempuan untuk bertransaksi jual-beli, perburuhan, perwakilan (wakalah) pertanian, industri, dan lain-lain
Dengan keyakinan ini, maka perempuan Muslim akan bangga dan bahagia dengan peran-peran wajib yang telah dibebankan Islam. Perempuan pun akan senang dengan kebolehan untuk berkiprah dalam aktivitas-aktivitas yang mampu dan boleh digelutinya. Keyakinan dan kesadaran inilah yang akan memunculkan rasa percaya diri pada kaum perempuan untuk memberikan sumbangsih terbaik bagi masyarakatnya.
Khilafah Membebaskan Perempuan
Solusi terhadap persoalan perempuan tidak cukup hanya dengan seruan yang bersifat moral spiritual. Perjuangan perempuan Muslim untuk memperbaiki nasibnya akan menemui jalan buntu ketika terbentur pada dinding-dinding sistem Kapitalisme. Perempuan-perempuan tangguh manapun tidak akan mampu mencapai ketenteraman dan kebahagiaan yang sesungguhnya dalam sebuah sistem yang masih bersifat kapitalistik.
Sistem ekonomi Kapitalisme telah memapankan mekanisme bahwa akan selalu muncul jurang yang dalam antara pemilik kapital dengan rakyat biasa. Pendidikan dan kesehatan akan lebih berorientasi bisnis daripada melayani kebutuhan pokok rakyat. Tidak akan pernah muncul rasa aman dalam sistem Kapitalisme karena sifatnya yang memelihara kebuasan dalam hati manusia. Yang kaya mendominasi yang miskin. Yang kuat menekan yang lemah.
Problem yang menghadang umat saat ini bersifat sistemik yang diakibatkan oleh ideologi Kapitalisme. Dengan demikian, yang mampu membebaskannya hanyalah Islam sebagai sebuah ideologi. Perjuangan mengubah sistem yang rusak menjadi sistem Islam yang bercahaya telah diteladankan oleh Rasulullah saw. Beliau telah mewariskan kepada kaum Muslim sebuah sistem yang paripurna menjadi solusi seluruh persoalan insan, yakni Khilafah Islamiyah. Alhasil, hanya Khilafahlah yang mampu membebaskan kaum perempuan dan seluruh umat manusia dari keterpurukannya. []