HTI

Jejak Syariah

SM Kartosoewirio: Pejuang Syariah Yang Teguh

Perjuangan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo atau lebih dikenal dengan Kartosoewirjo dianggap ‘kontroversial’. Ibarat sebuah mata uang yang memiliki dua sisi, Kartosoewirjo di satu sisi dianggap ‘pemberontak’ dan di sisi lain justru dianggap sebagai ‘pejuang’.

Pria yang dilahirkan pada tanggal 7 Januari 1907 di Cepu ini sejak tahun 1923, sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB), Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakannya pada agamanya. Melalui dua organisasi inilah dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat terkenal, “Sumpah Pemuda”.1

Pria yang merupakan suami dari Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, Pemimpin PSIHT (Partij Sjarikat Islam Hindia Timur) Malangbong, sangatlah risau dengan kondisi rakyat Indonesia waktu itu. Kerisauannya tampak dalam tulisannya yang dimuat oleh surat kabar Fadjar Asia (12 Februari 1929). Dalam tulisan itu dia bertutur, “Moelai beberapa tahoen jang laloe hingga kini beloem djoega ada berhentinja orang memperbintjangkan tentang soe’al “Punale Sanctie” keadaan perboedakan dan perhambaan, tentang artikel2 jang kita anggap sebagai randjau dalam perdjalanan kita menoedjoe dan mentjapai angan2 kita jang tinggi dan moelia itoe dan akan beberapa fasal lainnja jang mengikat tangan dan kaki kita. Tidak djoega perloe di sini kita terangkan bagaimana djeleknja nasib koeli2 kontrakan, bagaimana nasib kaoem pergerakan jang dalam melakoekan kewadjibannja telah berboelan2 atau bertahoen2 meringkoek di teroengkoe, dan betapa nasib saudara2 kita jang soedah diasingkan dan baroe dalam perdjalanan ke tanah pengasingan. Berpoeloeh2, beratoes2 orang, bahkan beriboe2 orang terpaksa meninggalkan tanah toempah darahnja, roemah halamannja dan ladang-sawahnja, dan bertjerai dan anak bininja, sanak keloearganja, karena …. mendjadi koerban dari peratoeran2 jang berlakoe di atas tanah toempah darah kita Indonesia ini.”2

Pria yang pernah menjadi orang kepercayaan HOS Cokroaminoto yang terkenal itu dan pernah menjabat sekjen Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 19313 ini, tatkala melihat potret buram rakyat Indonesia selanjutnya berpikir, solusi apa yang bisa diberikan untuk menyelesaikan problem yang membelit itu. Dalam tulisannya di surat kabar Fadjar Asia (12 Februari 1929), ia menegaskan bahwa untuk mengubah kondisi masyarakat Indonesia menjadi lebih baik maka solusinya adalah kembali pada syariah Islam. “Dengan singkat dapatlah nasib ra’iat Indonesia di ‘ibaratkan sebagai orang2 jang sedang berlajar di Samoedera jang loeas dan tedoeh, jang terserang oleh ombak2 jang besar dan tinggi dan angin taufan jang hebat, sehingga nasibnja hanjalah tergantoeng kepada Allah Soebhanahoe wa Ta’ala, Jang Mengoeasai sekalian ‘Alam ini. Kita katakan, tjoema kepada Dianjalah nasib Ra’iat Indonesai tergantoeng, sebab tidak ada pertolongan, tidak ada persandaran, melainkan dari Allah (La haoela wa la qoeatta ila billah). Apa dan bagaimana djalannja kita akan mentjari dan memperoleh pertolongan dan persan-daran dari pada Dia itoe, adalah oeroesan lain. Bagi kita ialah menoeroeti perintah2Nja sampai sesempoerna2nja dan mendjaoehkan diri pada segala apa jang dilarangNja, pendek kata melakoekan Agama kita Islam, agama Kebangsaan kita dengan soenggoeh2. Itoelah sjarat jang pertama2 boeat memperbaiki nasib kita.4

Bahkan Kartosoewiryo menegaskan agar dalam memperjuangankan dan mempertahankan wilayah Indonesia dari agresi Belanda saat itu senantiasa bersandar pada spirit Islam. “Kalau hendak mendjadi oemmat jang tinggi deradjatnja dan moelia; oemmat jang sempoerna dan berkoeasa memerintah tanah toempah darah sendiri: Bergeraklah pada djalan Allah. Djalankanlah perintah2 Allah dan djaoehilah larangan-larangannja. Tegoehkanlah Imanmoe dan tebalkanlah Tauhidmoe. Itoelah sjarat2nja.”5

Spirit perjuangan Kartosuwiryo terlukis dalam semboyannya, “Dengan Islam Kita Hidup dan dengan Islam Pula Kita Mati.”

Dengan semboyan inilah Kartosuwiryo selanjutnya menegaskan bahwa setiap orang Islam, atau yang Islam hanya dalam pengakuannya sekalipun, mesti berani bersedia untuk menjadi korban untuk membela agama Allah, agama Islam; untuk menjunjung derajat sebagai umat; untuk memakmurkan tanah tumpah darahnya. Itulah kewajiban orang Islam Indonesia. Itulah kewajiban umat Islam Indonesia. Itulah kewajiban umat Islam sedunia.6 [Gus Uwik]

Catatan kaki:

1 SM Kartosoewirjo: Pemberontak Atau Mujahid?, Redaksi swaramuslim.net, 16 Agustus 2003 dalam http://swaramuslim.net/more.php?id=565_0_1_27_M

2 Rakyat dan Nasibnya, Tulisan SM Kartosoewiryo pada harian Fadjar Asia, 12 Februari 1929 dalam http://www.facebook.com/pages/Sekarmadji-Maridjan-Kartosuwiryo/65525067861?v=app_2347471856)

3 K.H. Firdaus A.N, Jejak Jihad SM Kartosuwiryo, November 11, 2009

4 Rakyat dan Nasibnya, Tulisan SM Kartosoewiryo pada harian Fadjar Asia, 12 Februari 1929 dalam http://www.facebook.com/pages/Sekarmadji-Maridjan-Kartosuwiryo/65525067861?v=app_2347471856)

5 Ibid

6 Islam Terancam Bahaya, Tulisan SM Kartosoewiryo pada harian Fadjar Asia, 9 Februari 1929, dalam http://www.facebook.com/pages/Sekarmadji-Maridjan-Kartosuwiryo/65525067861?v=app_2347471856.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*