HTI

Telaah Kitab (Al Waie)

Bahasa Arab: Bahasa Resmi Negara

Pengantar

Bahasa adalah sesuatu yang digunakan oleh setiap kaum (suku atau bangsa) untuk mengungkapkan maksud dan tujuannya (Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, hlm. 197; Abu Rasytah, Taysîr al-Wushûl ila al-Ushûl, hlm. 115). Menurut Wikipedia Indonesia, bahasa adalah suatu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke dalam pikiran orang lain.

Dengan demikian, keberadaan bahasa sebagai alat komunikasi untuk mengungkapkan maksud dan tujuan hingga terbentuk hubungan saling pengertian di antara sesama manusia, dan sebagai alat menyampaikan suatu konsep (ajaran atau ideologi) untuk kehidupan manusia, merupakan sesuatu yang sangat urgen. Keberadaan bahasa bahkan merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah SWT (Lihat: QS ar-Rum [30]: 22).

Mengingat di dunia ini banyak sekali ragam dan jenis bahasa, bahkan setiap suku, bangsa dan negara memiliki bahasa sendiri-sendiri, seperti bahasa Arab, Inggris, Jerman, Turki, Urdu dan lainnya, maka bahasa mana yang kelak akan dijadikan sebagai satu-satunya bahasa resmi Negara Khilafah—yang insya’ Allah tidak lama lagi akan berdiri.

Untuk menjawabnya, Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 8 yang berbunyi: “Bahasa Arab adalah bahasa Islam dan merupakan satu-satunya bahasa resmi yang digunakan oleh negara.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 36).

Bahasa Arab: Bahasa Islam

Bahasa Arab adalah bahasa Islam. Dalilnya: Pertama, Allah SWT mengutus Nabi Muhammad saw. untuk seluruh manusia (QS al-A’raf [7]: 158) dan al-Quran merupakan seruan bagi seluruh manusia (QS al-Isra’ [17]: 89; ar-Rum [30]: 58).

Allah SWT menurunkan al-Quran dengan bahasa Arab dan menjadikannya berbahasa Arab. Allah SWT berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran sebagai bacaan dengan berbahasa Arab agar kalian memahaminya (QS Yusuf [12]: 2).

Juga firman-Nya:

بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ

dengan bahasa Arab yang jelas (QS asy-Syu’ara [26]: 195).

Dengan demikian, bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa Islam karena bahasa Arab adalah satu-satunya bahasa al-Quran. Karena itu, jika bukan bahasa Arab maka tidak disebut dengan al-Quran (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 37).

Kedua, membaca ungkapan (bacaan) al-Quran merupakan ibadah, bahkan shalat tidak sah tanpa membaca al-Qur’an. Allah SWT berfirman:

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

Karena itu, bacalah apa yang mudah bagi kalian dari al-Quran itu (QS al-Muzammil [73]: 20).

Nabi saw. juga bersabda:

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Tidak ada shalat bagi orang yang (di setiap rakaat) tidak membaca surat al-Fatihah (HR al-Bukhari).

Perintah “membaca al-Quran” dalam kedua nas di atas, artinya adalah membaca kalimat-kalimat dan hal ini tidak bisa diartikan dengan membaca terjemahannya atau tafsirnya. Ini merupakan dalil yang tegas tentang ketidakbolehan membaca surat al-Fatihah di dalam shalat dengan selain bahasa Arab, sekalipun ia belum bisa—mengucapkan dengan baik ungkapan—bahasa Arab. Dengan demikian, bahasa Arab merupakan perkara esensial dalam Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 37-38). Bahkan keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari Islam (Abdullah, Dirâsât fî al-Fikri al-Islâmiy, hlm. 95).

Oleh karena itu, sejak awal abad ke-7 Hijriah, ketika kekuatan bahasa Arab dipisahkan dari kekuatan Islam, maka Dunia Islam pun mengalami kemunduran. Sebab, Islam dan bahasa Arab itu merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan. Pasalnya, ijtihad yang kedudukannya amat penting bagi umat dalam menghantarkan pada sebuah kemajuan tidak mungkin dilaksanakan tanpa terpenuhinya salah satu syarat mendasarnya, yaitu bahasa Arab (An-Nabhani, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, hlm. 3-4).

Bahasa Arab: Bahasa Resmi Negara

Bahasa Arab sekaligus merupakan satu-satunya bahasa resmi Negara Khilafah. Dalilnya adalah af’âl (perbuatan) Rasulullah saw. Sebab af’âl (perbuatan) Rasulullah saw. adalah bagian dari hadis atau sunnah yang kita diperintahkan agar mengikutinya. Allah SWT berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa saja yang Rasul bawa kepada kalian, terimalah. Apa saya yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah (QS al-Hasyr [59]: 7).

Rasulullah saw. setelah hijrah dan setelah Negara Islam pertama berdiri di Madinah, mengirim surat kepada Kaisar (penguasa Romawi), Kisra (penguasa Persia), Muqaiqis (penguasa Qibthi, Mesir), para raja dan para pemimpin kabilah, yang berisi seruan kepada mereka agar masuk Islam. Surat beliau itu ditulis dengan bahasa Arab. Padahal bisa saja surat itu diterjemahkan ke dalam bahasa mereka, yakni ke dalam bahasa selain bahasa Arab.

Jadi, ketika Rasulullah saw. tidak menulis suratnya kepada Kaisar, Kisra dan Muqaiqis dengan menggunakan bahasa mereka, padahal mereka bukan bangsa Arab, dan tujuan beliau menulis surat kepada mereka adalah dalam rangka untuk menyampaikan Islam, maka ini menjadi dalil bahwa bahasa Arab adalah satu-satunya bahasa yang digunakan oleh negara dalam menjalankan setiap aktivitas resminya.

Ketika penerjemahan itu sangat dibutuhkan dalam menyampaikan Islam, namun beliau ternyata tidak melakukannya, maka ini menjadi qarînah (indikasi) atas kewajiban negara hanya menggunakan bahasa Arab dalam menyeru manusia, sama saja apakah mereka yang diseru itu bangsa Arab atau bukan. Oleh karena itu, kaum Muslim non-Arab wajib belajar bahasa Arab, sebab apapun aktivitas yang berkaitan dengan negara tidak dibolehkan menggunakan bahasa selain bahasa Arab (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 38).

Negara Tak Memberangus Selain Bahasa Arab

Meskipun bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa resmi Negara Khilafah, Khilafah tidak memberangus keberadaan bahasa selain bahasa Arab. Sebab, bahasa, baik lisan maupun tulisan, itu digunakan, pertama oleh negara terkait aktivitas resminya dan hubungan rakyat dengan negara, dan kedua oleh rakyat terkait aktivitasnya dan hubungannya dengan sesamanya. Yang pertama tidak boleh menggunakan bahasa selain bahasa Arab, termasuk dalam hal ini, proses belajar-mengajar di sekolah-sekolah negeri maupun swasta, baik bahasa itu berasal dari dalam negeri Negara Khilafah maupun dari luar. Sebab, semua sekolah tanpa kecuali wajib terikat dengan program negara.

Adapun untuk yang kedua, maka boleh menggunakan bahasa selain bahasa Arab. Sebab, Rasulullah saw. telah membolehkan penerjemahan selain bahasa Arab ke dalam bahasa Arab, dan mempelajarinya, sebagaiman yang terdapat dalam hadis dari Zaid bin Tsabit:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَتَعَلَّمَ كِتَابَ الْيَهُودِ، حَتَّى كَتَبْتُ لِلنَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُتُبَهُ، وَأَقْرَأْتُهُ كُتُبَهُمْ، إِذَا كَتَبُوا إِلَيْهِ

Sesungguhnya Nabi saw. menyuruhnya untuk belajar tulisan (bahasa) Yahudi hingga aku dapat menuliskan tulisan Yahudi untuk Nabi saw. dan membacakannya ketika mereka menulis surat kepada Nabi saw. (HR al-Bukhari).

Hadis ini menjadi dalil atas kebolehan berbicara dan menulis dengan selain bahasa Arab. Pada masa Sahabat banyak orang berbicara dengan selain bahasa Arab dan mereka tidak dipaksa untuk belajar bahasa Arab (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 40). Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa seorang hakim (penguasa) harus didampingi seorang penerjemah. Abu Jamrah berkata, “Aku telah menjadi penerjemah antara Ibnu Abbas dan masyarakat.” (Al-Asqalani, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, 15/94).

Berdasarkan hal itu, maka Negara membolehkan penerbitan buku, surat kabar dan majalah dengan selain bahasa Arab. Bahkan dalam menerbitkannya tidak perlu menunggu izin dari Negara, karena itu termasuk perkara yang mubah. Negara juga membolehkan pembuatan program-progran tidak berbahasa Arab di televisi jika itu milik individu atau komunitas tertentu. Yang dilarang adalah jika ditayangkan di radio atau televisi milik pemerintah. Sebab, apapun yang berkaitan dengan negara, harus menggunakan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa. Adapun yang terkait dengan individu rakyat dengan sesamanya, maka mereka dibolehkan menggunakan selain bahasa Arab dalam segala hal, kecuali jika ada sesuatu di antara sesuatu yang mubah ini, yang mengakibatkan bahaya, maka sesuatu itu saja yang dilarang, sementara yang lain tetap dalam kemubahannya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 41).

Pandangan Ulama

Para ulama sangat peduli dan perhatian terhadap bahasa Arab. Sebab, mereka percaya bahwa bahasa Arab merupakan kekuatan yang mampu menjaga dan menyempurnakan pelaksanaan Islam hingga terwujud rahmatan lil ’alamin. Umar bin al-Khaththab ra. berkata:

تَعَلَّمُوْا اْلعَرَبِيَّةَ فَإِنَّهَا تَثْبُتُ اْلعَقْلَ وَتَزِيْدُ فِي الْمُرُوْءَةِ

Belajarlah bahasa Arab karena bahasa Arab itu memperkuat akal (kecerdasan) dan menambah keberanian.” (Al-Baihaqi, Syu’ab al-Imân, 2/256).

Imam Syafii berkata, “Allah SWT mewajibkan atas semua umat belajar bahasa Arab sebagai konsekuensi mereka yang diseru dengan al-Quran dan beribadah dengannya.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 38).

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ulama salaf tidak senang terjadi perubahan dalam syiar Arab, sekalipun itu dalam hal muamalah, yaitu berbicara dengan selain bahasa Arab kecuali ada keperluan. Seperti itulah pendapat Imam Malik, asy-Syafii dan Ahmad. Bahkan Imam Malik berkata, ’Siapa saja yang berbicara dengan selain bahasa Arab di dalam masjid kami, hendaklah pergi darinya.’ Padahal tidak ada larangan berbicara dengan selain bahasa Arab. Namun, itu ketika berbicara dengan selain bahasa Arab dibutuhkan, dan mereka tetap tidak menyukainya ketika tidak diperlukan. Hal itu dilakukan demi menjaga syiar Islam.” (Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, 32/255).

Dengan adanya ketetapan UUD tentang kedudukan bahasa Arab, maka bahasa Arab sebagai kekuatan esensial yang tidak dapat dipisahkan dari Islam akan tetap menjadi sebuah kekuatan umat yang akan menghantarkannya meraih kemajuan dalam segala hal. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Daftar Bacaan:

Abdullah, Muhammad Husain, Dirâsât fî al-Fikr al-Islâmi, (Beirut: Dar al-Bayariq), Cetakan I, 1990.

Abu Rasytah, Atha’ bin Khalil, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl Dirâsât fi Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Ummah), Cetakan II, 2000.

Al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Muhammad al-Kanani Ibu Hajar, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, (Beirut: Dar Al-Fikr), 1993.

Al-Baihaqi, Ahmad bin al-Husain bin Ali Abu Bakar, Syu’ab al-Imân, (Beirut: Dar Al-Fikr), tanpa tahun.

http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa

Al-Jurjani, Asy-Syarif Ali bin Muhammad, Kitâb At-Ta’rîfât, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), 1988.

An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mûjibah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2001.

Ibnu Taimiyah, Abdussalam bin Abdullah bin Ali, Majmû’ al-Fatâwâ, (Dar Alam al-Kutub), tanpa tahun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*