HTI

Suara Pakar (Al Waie)

Catatan Jubir: Lemah Sejak Cara Berpikir

Apa yang bisa dibaca dari serangan Israel terhadap kapal misi kemanusiaan Freedom Frotilla baru lalu? Pertama: ini adalah bukti kesekian kali dari kebiadaban Israel. Negara Zionis itu bukan hanya memblokade 1,5 juta penduduk Gaza di wilayah seluas kurang lebih 10 x 45 km persegi, tapi juga menghambat semua usaha dari mana pun untuk membantu mereka. Sejak pembuatan tembok pemisah setinggi 8 meter yang mengelilingi batas wilayah Gaza dan penutupan tujuh pintu perbatasan, termasuk yang menuju Mesir di Rafah, praktis wilayah itu terisolasi secara total dari dunia luar karena pantai di wilayah Gaza juga tidak luput dari pengawasan Angkatan Laut Israel. Satu-satunya jalan tinggallah melalui ratusan terowongan yang dibuat menembus wilayah Mesir. Namun, terowongan itu pun kini ditutup paksa oleh pemerintah Mesir dengan cara menanam lempengan baja menghalangi terowongan-terowongan itu di bawah sana. Kejamnya lagi, untuk memastikan terowongan itu tidak lagi digunakan, pemerintah Mesir pernah mengebom sejumlah terowongan dan mengalirkan gas beracun ke dalamnya.

Kedua: hipokrisi negara Barat, khususnya AS, yang dilakukan secara amat telanjang. Satu sisi, AS tak henti menyerukan dunia untuk menghormati HAM. Namun, ketika terjadi pelanggaran HAM yang begitu mencolok di Palestina yang dilakukan Israel, AS diam saja. AS menyerukan dunia untuk memerangi terorisme, tetapi AS juga membiarkan saja terorisme yang dilakukan oleh Israel. AS bahkan melakukan tindakan terorisme dan pelanggaran HAM di Irak dan Afganistan.

Ketiga: ini adalah bukti kelemahan dunia Islam. Umat Islam yang menurut riset Pew Institute berjumlah 1,56 miliar itu ternyata tak berdaya menghadapi sebuah negara kecil yang hanya berpenduduk 6 jutaan. Kelemahan ini terjadi karena dua hal, yakni pengkhianatan penguasa negeri Muslim di Timur Tengah khususnya, lebih khusus lagi penguasa Mesir yang turut membantu Israel menutup akses Gaza, juga karena umat Islam tidak bersatu. Setelah runtuhnya payung Dunia Islam, Daulah Khilafah Utsmani pada 1924, kaum Muslim tercerai-berai ke dalam lebih dari 50 negara; masing-masing lebih mengedepankan kepentingan negaranya sendiri ketimbang kepentingan Islam dan umat Islam secara keseluruhan.

Kelemahan itu bukan hanya dapat dilihat dari ketidakmampuan Dunia Islam dalam menghadapi segala bentuk penindasan seperti yang terjadi pada kasus Palestina, tetapi terjadi sejak dalam memandang persoalan itu sendiri. Ungkapan seperti it’s not about jews nor muslim nor christian. It’s about humanity (Ini bukan masalah Yahudi, Muslim atau Kristen. Ini masalah kemanusiaan) pada poster yang diusung salah satu kelompok pengunjuk rasa di depan Istana Presiden, adalah salah satu contoh. Dengan ungkapan itu seolah ingin ditegaskan bahwa masalah Palestina adalah masalah kemanusiaan, dan tidak berhubungan dengan Islam. Memang, dengan hanya melihat tragedi mutakhir, siapapun akan menilai bahwa ini masalah kemanusiaan. Alasannya, korban serangan Israel pun tak hanya Muslim, tetapi juga non-Muslim.

Selain itu, dalam hiruk-pikuk reaksi umat Islam terhadap tragedi Marvi Marmara, meski kompak mengutuk Israel, tetapi tak terdengar usulan tegas untuk memerangi Israel. Ini aneh. Padahal Israel sendiri telah berulang menegaskan bahwa mereka menyerang konvoi kapal kemanusiaan Freedom Frotilla karena mereka dalam keadaan perang, maka mereka akan menyerang siapa saja yang mendekat. Reaksi Dunia Islam umumnya hanya fokus pada dua hal, yakni pada kutukan dan seruan untuk membuka blokade Gaza serta perlunya dunia internasional meneruskan pengiriman bantuan ke wilayah itu.

Blokade Gaza memang harus dibuka. Pengiriman bantuan juga harus diteruskan. Namun, itu semua menyangkut korban. Lalu bagaimana dengan tindakan yang harus diperbuat terhadap pihak yang menimbulkan korban?!

++++

Beberapa poin penting itulah yang disampaikan oleh delegasi Hizbut Tahrir Indonesia ke Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Senin (7/6) siang di Jakarta. Delegasi yang terdiri dari Ustadz Farid Wajdi, Ustadz Abu Zaid, Ustadz Junaidi, Ustadz Wahyudi al-Maroki dan Ustadz Budi Darmawan yang dipimpin oleh Jubir HTI beserta tiga ulama, yakni Buya Asep Sudrajat (PP Ulil Albab, Bandung), KH Mansyur Muhyidin (PP Kyai Wasith, Cilegon, Banten) dan KH Abah Hideung (PP An-Nizhamiyah, Sukabumi) yang mewakili lebih dari 1000 ulama peserta Majelis Buhuts al-Islamiyyah yang diselenggarakan beberapa bulan lalu, diterima oleh Andri Hadi, Director General for Information and Public Diplomacy beserta staf. Pada kesempatan itu, delegasi HTI menegaskan, bahwa akar persoalan Palestina adalah perampasan tanah Palestina oleh Zionis Israel. Kecaman yang disampaikan pemerintah Indonesia kurang keras, karena tidak pernah mengatakan bahwa Israel adalah penjajah dan teroris.

Israel memang penjajah biadab. Film dokumenter Sejarah Palestina yang selalu diputar berulang-ulang oleh Televisi al-Manar milik Hizbullah yang bisa ditangkap melalui saluran satelit (tapi sekarang tidak bisa lagi diakses di Saudi Arabia mungkin sudah diacak) memberikan gambaran yang sangat bagus bagaimana penjajahan itu dimulai, dan kebiadaban itu berlangsung sejak periode yang sangat dini dalam proses pembentukan negara Israel. Di situ digambarkan bagaimana gelombang pertama orang-orang Yahudi dari Eropa mendarat di pelabuhan Haifa. Digambarkan juga bagaimana sejak saat itu mereka mulai membeli bahkan merebut dan memagari paksa tanah Palestina. Dengan berbagai dalih, di antaranya penelitian Arkeologi, mereka mengusir penduduk Palestina. Semua itu tentu menimbulkan reaksi. Bentrok dengan penduduk asli berulang terjadi. Namun, Israel tak bergeming. Semua dilakukan demi sebuah cita-cita terbentuknya sebuah negara: Israel Raya. Tak peduli bila itu menyakiti sesama. Puncaknya adalah Sidang Umum PBB pada tahun 1948 yang membagi wilayah Palestina menjadi tujuh bagian. Dua bagian untuk Israel, dua bagian untuk Palestina dan tiga bagian menjadi wilayah internasional yang kelak diberikan juga kepada Israel. Ini menjadi pertanda berdirinya negara Israel. Jadi, jelas sekali sejarah Israel adalah sejarah penjajahan dan kebiadaban yang ditopang oleh negara besar dan diabsahkan oleh lembaga internasional.

Fakta bahwa Israel adalah penjajah sekarang ini makin kabur, apalagi setelah adanya kampanye gencar “two state solution (solusi dua negara)”. Meski tampak adil, solusi ini mengandung kemungkaran besar. Mengapa? Ditegaskan oleh delegasi bahwa Palestina adalah tanah kharajiyah milik kaum Muslim. Tanah ini berhubungan erat dengan akidah Islam. Di tanah ini berdiri al-Quds, lambang kebesaran umat, kiblat pertama kaum Muslim dan tempat Rasulullah di isra’ dan dari sana dimi’rajkan oleh Allah SWT. Setelah dikuasai umat Islam sekian abad hingga masa Kekhilafahan Abbasiyah, pada tahun 1099 al-Quds direbut tentara Salib. Mereka membantai sekitar 30.000 warga al-Quds dengan sadis tanpa pandang bulu (wanita, anak-anak dan orang tua). Setelah dikuasai pasukan Salib selama 87 tahun (1099–1187), akhirnya pada tahun 1187, Salahuddin al-Ayyubi sebagai komandan pasukan Islam berhasil membebaskan kembali al-Quds.

Oleh karena itu, ditegaskan oleh Delegasi HTI, pemerintah Indonesia harus menolak tegas solusi ini, karena ini berarti membolehkan perampasan tanah Palestina dan mengabsahkan perampasan itu. Untuk itu, harus ada usaha sungguh-sungguh untuk menghentikan kebiadaban Israel. Indonesia harus mengambil prakarsa penting untuk menggalang pasukan jihad untuk dikirim guna menghadapi Israel. Bila masing-masing negara mengirim 1000 pasukan saja, maka dari 57 negara OKI akan terhimpun 57 ribu pasukan yang diyakini cukup efektif untuk menghukum Israel. Disamping itu, diperlukan perjuangan total untuk merebut kembali tanah Palestina. Namun, itu hanya bisa dilakukan bila umat Islam memiliki kekuatan. Itu akan terwujud bila umat bersatu di bawah naungan Khilafah Islam. Itulah mengapa Hizbut Tahrir menyeru umat ke sana.

++++

Soal usulan pengiriman pasukan, ditanggapi bahwa Indonesia taat pada aturan internasional, bahwa pengiriman pasukan harus di bawah bendera PBB, dan itu pun untuk tujuan menjaga perdamaian. Jadi, pengiriman pasukan jihad dari negeri-negeri Islam seperti yang disampaikan oleh delegasi HTI, itu tidak mungkin dilakukan. Padahal kalau PBB memang menjadi penghalang bagi kita untuk menyelamatkan saudara kita sendiri, mengapa kita harus terikat dengan PBB?

Ya, memang kita lemah. Sangat lemah, bahkan sekadar untuk berpikir tentang perang melawan Zionis Israel yang jelas-jelas telah memerangi kita pun kita tidak mampu, apalagi perang sungguhan. Jadi, bersiaplah menyaksikan kebiadaban mereka terus berlanjut. Menyedihkan. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*