Penyerangan terhadap kapal misi kemanusian Mavi Marmara telah menimbulkan kecaman dari berbagai pihak. Di antara penguasa negeri Islam yang sangat keras mengecam adalah pemimpin Turki, Erdogan. Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan melancarkan kecaman keras terhadap negara Yahudi itu, menyebut serangan itu “teror negara”. Turki juga mengatakan lewat wakil PM Bulent Aric, Jumat, Turki akan mengurangi hubungan ekonomi dan pertahanannya dengan Israel “pada tingkat minimum.”
Serangan 31 Mei 2010 terhadap armada kapal yang membawa bantuan kemanusiaan, yang menewaskan sembilan aktivis Turki, mengakibatkan hubungan kedua negara semakin tegang. Turki memanggil pulang duta besarnya dari Tel Aviv dan membatalkan latihan militer gabungan.
Sikap pemerintahan Erdogan ini memang cukup menarik simpati banyak pihak di Dunia Islam. Hal ini kemudian memunculkan harapan beberapa pihak, Turki di bawah pimpinan Erdogan menjadi simbol kebangkitan Dunia Islam dan membebaskan umat Islam, termasuk Palestina dari penindasan.
Penyesatan Politik
Keberadaan negara penjajah Israel di Palestina yang telah mengusir dan membunuh umat Islam telah melukai hati umat. Hal ini sangat disadari oleh para penguasa negeri Islam. Namun, keberadaan para penguasa itu yang di bawah kontrol Amerika Serikat dan negara imperialis lainnya membuat mereka tidak sungguh-sungguh membebaskan Palestina. Krisis Palestina sering kemudian menjadi sekadar isu yang digunakan untuk kepentingan para penguasa itu. Mereka seakan-akan hirau terhadap persoalan Palestina, padahal mereka tidak berbuat hal yang kongkret. Penyambutan hangat relawan Kapal Mavi Marmara oleh para penguasa negeri Islam telah digunakan untuk menarik simpati umat Islam.
Selain itu, yang tampak dari penguasa negeri Islam sekadar kecaman dan ancaman. Iran di bawah Ahmadi Nejad, misalnya, berulang-ulang mengecam negara Yahudi itu, bahkan pernah mengatakan negara Yahudi itu harus dihapuskan dari peta bumi. Erdogan juga tidak jauh beda. Namun, mereka tidak melakukan hal apapun untuk menyelesaikan persoalan Palestina. Kalau Iran dan Turki sungguh-sungguh, seharusnya yang mereka lakukan bukanlah sekadar mengirim bantuan obat-obatan, menyambut para relawan, atau mengecam, tetapi mengumumkan perang terhadap Zionis Israel dengan mengirim pasukan perang. Hal ini justru tidak dilakukan.
Tawaran solusi mereka tetap saja dalam kerangka agenda negara-negara imperialis seperti lewat jalur diplomasi, hukum internasional, atau PBB. Padahal jelas-jelas hal itu tidak bisa diharapkan. Sebab, perdamaian mensyaratkan pengakuan terhadap negara Zionis Yahudi itu yang justru menjadi pangkal persoalan.
Pengiriman pasukan perang dengan bersandar pada PBB jelas tidak mungkin. Jangankan mengirim pasukan, resolusi yang sekadar mengecam negara Zionis itu sudah diveto oleh Amerika Serikat. Karena itu, tidak mengirim pasukan dengan alasan bergantung pada PBB adalah alasan yang dicari-cari untuk menutupi ketidakmauan penguasa negeri Islam membebaskan Palestina.
Seharusnya serangan brutal negara Zionis itu telah cukup bagi Erdogan untuk mengumumkan perang, apalagi dia telah menyatakan tindakan Israel sebagai terorisme negara. Bukankah hal yang pantas dilakukan terhadap teroris adalah memeranginya?
Wakil Perdana Menteri Bulent Aric dengan tegas mengatakan solusi yang dilakukan Turki tetap dalam koridor hak dan diplomasi, termasuk menegaskan Turki tidak akan memerangi Israel dan menganggapnya sebagai perkara mustahil “Tidak semestinya seorang pun menunggu keluarnya pengumuman perang dari kami terhadap Israel. Hal itu adalah tidak mungkin. Pengumuman perang itu mustahil dan tidak benar,” ujarnya.
Walhasil, yang dilakukan Erdogan sekadar memainkan perasaan umat Islam dan melakukan penyesatan politik dengan memanfaatkan slogan-slogan “Undang-undang Internasional” dan “Jalan Diplomasi”. Hal ini juga sekaligus memalingkan opini umat Islam tentang kewajiban berjihad fi sabilillah melawan penjajah Yahudi.
Kebangkitan Turki?
Sebuah negara dikatakan bangkit dan berperan nyata dalam hubungan internasional kalau negara itu merupakan negara adidaya. Negara ‘pembebek’ dan lemah tidak bisa dikatakan bangkit apalagi dikatakan berperan penting dan nyata dalam hubungan internasional. Negara Sekular Turki jelas bukanlah negara adidaya yang memimpin dunia. Politik luar negeri Turki tetap berada dalam hegemoni AS atau negara-negara imperialis lainnya seperti Inggris. Artinya, kalaupun ada manuver politik luar negeri dari Turki tetap saja ‘under control’ negara adidaya AS atau Inggris.
Politik ‘geo-strategis’ Turki tidaklah independen. Turki telah dimanfaatkan Barat untuk mencegah pengaruh Rusia. Turki menganjurkan adanya proyek-proyek energi Eropa, seperti Nabucco, yang menghindari jaringan Rusia.
Manuver politik Partai AKP juga tidak bisa dilepaskan dari kepentingan Amerika Serikat di kawasan itu, terutama menggeser pengaruh Inggris dalam angkatan bersenjatan Turki. Abdullah Gul dan Erdogan meninggalkan Partai Kebaikan (Virtue Party) dan membentuk Partai Keadilan dan Pembangunan (Justice and Development Party) di bawah kepemimpinan Erdogan, yang mulai menerapkan kebijakan untuk menyambung hubungan dengan Amerika dalam rangka menghilangkan pengaruh Inggris dan hubungannya dengan Angkatan Darat.
Strategi utama yang dilakukan Partai AKP adalah meraih dukungan dari umat Islam Turki lewat isu-isu Islam seperti kerudung dan Palestina. Harapannya, rakyat kemudian semakin kehilangan kepercayaan terhadap Angkatan Bersenjata Turki yang dikenal sebagai penjaga negara sekular Turki yang anti Islam.
Keberadaan pemerintahan Erdogan di bawah hegemoni AS tampak dalam Shared Vision Document (Dokumen Visi Bersama) yang ditandatangani antara pemerintah Turki dan Amerika oleh Abdullah Gul dan Condoleezza Rice pada tanggal 5 Juli, 2006. Dokumen ini membuktikan bahwa global manuver Turki tidaklah Islam atau independen, tetapi untuk melayani kepentingan Amerika Serikat.
Tak Ada Kebangkitan Tanpa Ideologi
Sebuah negara akan bangkit kalau negara itu meletakkan ideologi yang jelas. Negara Eropa dan AS bangkit dengan ideologi Kapitalismenya. Soviet pernah bangkit dengan ideologi Komunisme meskipun kemudian runtuh. Dunia Islam juga bangkit dengan ideologi Islamnya, seperti yang dilakukan Rasulullah saw. dan para khalifah. Turki juga akan kembali bangkit kalau berdasarkan ideologi Islam dengan negara Khilafahnya. Namun sayang, pemerintah Erdogan malah menangkapi para pejuang Islam yang memperjuangkan Khilafah. Tidak hanya itu Partai AKP juga menolak untuk dikatakan sebagai partai Islam. Dalam kunjungannya ke Amerika Serikat, tepatnya di Johns Hopkins University, Erdogan mengumumkan bahwa pintu partainya terbuka untuk menyambut keinginan siapapun, namun partai Keadilan dan Pembangunan Turki bukanlah partai Islam. “Partai kami tidak pernah menjadi partai Islam, sebab tidak mungkin melakukan hal yang kurang memberikan rasa hormat terhadap agama kami seperti ini. Partai ini juga tidak mungkin berupa partai agama,” ujarnya.
Dia menambahkan, “Partai kami adalah sebuah partai konservatif dan demokratis. Bahkan kami bertekad untuk terus mempertahankan identitas ini.”
Erdogan menolak mentah-mentah sebutan Utsmaniyin baru atas politik luar negeri Turki. Dia mengatakan bahwa “tidak dapat diterima pendekatan semacam itu.”(al-aqsa.org, 15/12/2009).
Erdogan juga pernah menegaskan komitmennya mendukung negara sekular Turki. Saat berbicara dengan anggota Partai Keadilan dan Pembangunan Turki (17/4/2007), Erdogan mengingatkan kaum sekular yang takut soal pencalonannya kembali saat itu. “Demokrasi, sekularisme dan kekuasaan negara yang diatur oleh undang-undang adalah prinsip utama dalam sebuah negara republik. Jika ada salah satunya yang hilang maka pilar bangunan negara akan runtuh. Tidak ada kelompok manapun yang meresahkan pilar-pilar itu. Dengan keinginan masyarakat, maka pilar-pilar itu akan hidup selamanya.”
Erdogan yang kini menjabat sebagai PM Turki mengatakan bahwa sudah seharusnya pemerintah, siapapun, komitmen dengan sistem sekular Turki, sebagaimana dalam perkataannya, “Pemerintah harus komitmen untuk memelihara undang-undang dasar negara dan harus terus mempertahankannya.”
Kebangkitan Turki di bawah Erdogan juga dipertanyakan mengingat Erdogan tidak benar-benar memiliki kekuasaan di Turki. Erdogan tetap di bawah ancaman kudeta militer yang dikenal sekular. Kungkungan militer ini membuat Erdogan tidak bisa berbuat banyak, kecuali dengan mempertimbangkan pandangan militer. Kalau lepas dari kungkungan militernya sendiri tidak bisa, bagaimana mungkin Erdogan dengan partai AKP-nya bisa membangkitkan umat Islam dunia dan membebaskan Palestina? [Farid Wadjdi]