HTI

Iqtishadiyah

Jamal Harwood: Akhir Sebuah Benua

Pengantar

Eropa saat ini mengalami krisis hebat. Banyak analisis yang menyatakan bahwa krisis yang terjadi di Yunani akan terus merembet ke seluruh Benua Eropa. Jika ini terus berlanjut maka yang terjadi adalah sebuah ‘lubang kehancuran’ bagi Eropa telah mulai terbuka lebar. Uniknya, krisis yang terjadi ternyata bukanlah sekali ini saja, namun telah membuat ritme tersendiri. Terus berulang membuat pola tertentu. Apa penyebab krisis di Eropa ini? Apa alasan mendasar terjadinya krisis ini? Apakah ini cacat bawaan kapitalis? Bagaimana peluang tegaknya Khilafah?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Kontributor Alwaie Riza Aulia telah mewawancarai Jamal Harwood (Aktifis Hizbut Tahrir Inggris) Berikut petikannya.

Kita tahu bahwa Eropa, terutama Yunani, berada dalam krisis keuangan yang mendalam. Faktor apa yang menyebabkan krisis Eropa saat ini? Apa alasan mendasar di balik krisis ekonomi yang tampaknya terjadi tepat pada waktunya ini?

Yunani adalah seperti orang yang sakit dari Eropa. Negeri itu telah mengeluarkan terlalu banyak segala sumberdaya (overspending), kemudian mengalami defisit anggaran yang mengancam keruntuhan seluruh kesatuan moneter Eropa dan mata uang Euro. Negeri itu memiliki hutang lebih dari 300 miliar Euro, sementara pendapatan ekonomi tahunannya hanya bernilai 240 miliar Euro, dan pemerintah memiliki anggaran hanya senilai 91 miliar Euro yang dipakai untuk mendukung bukan hanya untuk belanja publik (seperti kesehatan, pendidikan, dll), tetapi juga untuk pelayanan defisit yang semakin membengkak ini.

Yunani telah menjadi korban suatu budaya mudah dan murahnya mendapat kredit yang terjadi di Eropa dan Barat pada umumnya selama 10 tahun terakhir atau lebih. Ketika negeri itu bergabung dengan Uni Eropa, mereka mengambil keuntungan penuh dari tingkat bunga yang rendah yang dimungkinkan oleh penerapan Euro. Namun, overspending itu tidak menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkepanjangan. Karena itu, pertumbuhan ekonomi yang relatif kecil itu saat ini menghadapi defisit besar-besaran dan ketidakmampuan untuk membayar kembali. Ketidakstabilan pasar global seperti inilah yang telah menambah ketakutan Yunani bangkrut dan tidak mampu membayar hutang. Untuk saat ini saja, negara-negara Eropa lainnya telah mengajukan paket penyelamatan senilai 110 miliar Euro untuk Yunani, sebagai bagian dari paket sebesar 750 miliar Euro, termasuk untuk negara-negara Eropa lainnya yang bermasalah (yang dikenal dengan nama PIIGS yakni Portugal, Italia, Irlandia, Yunani dan Spanyol).

Meskipun ada paket penyelamatan itu, bangsa Yunani (dan kemungkinan ada negara lain yang akan mengikutinya) menghadapi pemotongan yang besar atas pelayanan-pelayanan dasar, dan hal ini telah menimbulkan kerusuhan publik yang luas.

Menurut Anda, apa artinya hal ini bagi masa depan Eropa atau dunia? Apakah hal ini bisa memberikan dampak yang luas kepada masyarakat di seluruh dunia?

Kebanyakan pemerintahan Barat, tidak hanya Yunani, telah mengeluarkan terlalu banyak uang selama 10 tahun terakhir. Dengan kecenderungan menurunnya ekonomi yang tak terhindarkan dan berjalan dengan cepat secara global, hal ini berarti menciptakan periode penghematan yang parah atau bahkan depresi. Hal ini terjadi ketika pemerintah berusaha untuk menyeimbangkan anggaran mereka dalam waktu singkat yang mau tidak mau akan menyebabkan pemotongan pada pelayanan yang penting dan meningkatkan pajak. Ini adalah hal yang lazim terjadi selama krisis keuangan Asia pada pertengahan tahun 1990-an. Kelompok masyarakat yang miskin dan kelas menengah adalah kelompok yang paling parah terkena dampaknya karena pajak dijadikan landasan pendapatan dan konsumsi dan bukannya berorientasi kekayaan. Yang paling diuntungkan dari krisis ini adalah perbankan, sementara industri keuangan jarang terkena dampaknya.

Di Eropa hal ini menciptakan ketegangan yang parah. Negara-negara di Utara Eropa yang lebih bertanggung jawab secara finansial, termasuk Jerman dan Prancis, harus menghadapi kemungkinan pemberlakuan tindakan penyelamatan (bailing out) atas negara-negara Eropa yang lemah, yang sebenarnya negara-negara Utara itu enggan melakukannya. Namun, dengan kemungkinan negara-negara PIIG tadi yang berpotensi bangkrut, ada batas atas apa yang bisa dilakukan. Akibatnya. mata uang Euro telah menurun secara dramatis di pasar mata uang, dan tingkat suku bunga di negara-negara lemah dengan cepat hanya akan memperburuk masalah karena adanya jatuh tempo pembayaran dengan bunga yang lebih tinggi.

Konsep masyarakat ekonomi tunggal dan mata uang kertas tunggal yang didasarkan pada batas anggaran yang ketat telah disetujui oleh negara-negara penanda tangan Uni Eropa. Namun kenyataanya, banyak dari aturan-aturan fiskal terbukti telah gagal, termasuk larangan atas tindakan penyelamatan sebagaimana yang diamati baru-baru ini. Kritik terhadap Uni Eropa telah dibenarkan dalam pandangan mereka sehingga bisa menarik 16 negara secara bersama-sama dalam sistem moneter tunggal. Namun, tanpa adanya suatu koordinasi yang nyata dalam kebijakan fiskal sitem moneter tunggal itu malah bisa menjadi resep mujarab bagi terjadinya ketidakstabilan yang serius. Suatu titik pertemuan yang diharapkan dalam kemakmuran antara negara-negara anggota belum bisa terwujud. Keberlanjutan eksistensi persatuan moneter Eropa sekarang juga menjadi terancam.

Kapan krisis ini berakhir? Ataukah suatu hari hal ini menyebar dan bisa menyeret seluruh benua Eropa atau bahkan seluruh dunia ke dalam krisis yang sama?

Ada perdebatan antara pengikut aliran Keynesian yang percaya bahwa defisit anggaran dapat digunakan secara produktif untuk merangsang pertumbuhan dan kembali ke kemakmuran yang memiliki pendapat berlawanan dengan pengikut aliran yang menyerukan koreksi tajam atas belanja ditambah dengan pajak yang lebih tinggi. Pandangan terakhir ini mungkin akan memperpanjang resesi dengan parah, sementara pandangan yang pertama tidak bisa dijalankan ketika defisit membengkak. Jadi, hal ini jauh dari kesepakatan pikiran tentang cara mengatasi krisis atau kapan krisis ini akan berakhir.

Ketidakmampuan sebuah negara berdaulat seperti Yunani atau negara lain di Eropa untuk membayar hutangnya akan memiliki akibat yang jauh. Sementara itu telah ada negara-negara yang gagal bayar hutang sebelumnya seperti Meksiko (tahun 1995), Rusia (1998) dan Argentina (2001). Bagi sebuah negara anggota Uni Eropa menjadi negara yang gagal bayar adalah hal lain mengingat mereka secara bersama terikat dengan mata uang yang sama, dan Euro akan kehilangan sebagian besar—atau bahkan semua—kredibilitasnya sebagai sebuah mata uang. Suku bunga yang rendah di negara anggota Uni Eropa yang diberlakukan di balik stabilitas yang lebih besar dari negara-negara Eropa yang kuat dan besar seperti Jerman dan Perancis telah disalahgunakan melalui praktik overspending yang kotor oleh negara-negara PIIG. Lalu untuk membuat hal itu lebih buruk lagi, resep yang biasa dilakukan, yakni mendevaluasi mata uang suatu negara untuk merangsang ekspor yang lebih besar, tidak bisa dilakukan kecuali dengan meninggalkan mata uang Euro.

Dari perspektif global, masalah ini tidak terbatas hanya pada negara-negara PIIG saja. Amerika dan Inggris memiliki defisit sangat besar yang setiap hari tumbuh menjadi lebih besar. Sangat menarik bahwa kebijakan yang mereka miliki selalu dengan cara mendorong Dunia Ketiga melalui kriteria pinjaman IMF atau Bank Dunia, dengan memotong pengeluaran dan meningkatkan pajak untuk menyeimbangkan anggaran mereka. Kebijakan ini adalah suatu hal yang hipokrit karena negara-negara itu tidak mampu atau tidak tertarik untuk memaksakan kebijakan itu pada ekonomi dalam negeri mereka sendiri.

Krisis demi krisis terjadi dari waktu ke waktu. Namun, mengapa masyarakat dunia masih tidak berubah untuk kembali ke sistem yang baru, seperti sistem Islam yang memiliki Khilafah?

Sebenarnya dunia ini benar-benar menangis untuk mencari jalan keluar alternatif atas sistem yang tidak adil dan tidak stabil ini. Karena itu, kaum Muslim harus menunjukkan munculnya kepemimpinan yang diperlukan itu. Perubahan tidak akan terjadi dengan sendirinya. Untuk itulah, umat Islam harus mendirikan kembali Khilafah Islam dan kemudian di situlah akan ada daya tarik luar biasa pada Islam yang membawa solusi untuk masalah-masalah seperti ini. Negara-negara miskin perlu melihat Islam diterapkan bukannya hanya mendengarkan diskusi atas suatu teori belaka.

Di bawah ini adalah beberapa hal yang menonjol dari sistem ekonomi Islam di bawah Khilafah yang akan dengan mudah meredakan krisis ini: Pertama: Standar bimetal (emas/perak) akan memastikan bahwa mata uang akan menjadi stabil dalam jangka panjang. Sebab, emas/perak memiliki nilai intrinsik yang melekat pada dirinya dan tidak dapat didevaluasi hanya dengan mencetak mata uang kertas lebih banyak lagi, dan tidak tunduk pada serangan spekulatif sebagai-mana yang dialami mata uang Euro saat ini.

Kedua: kesatuan Islam dalam negara Khilafah adalah sebuah kesatuan politik nyata (satu umat), bukan kesatuan ekonomi yang sangat terbatas/terikat mata uang. Jerman, misalnya, tidak senang karena mem-bailout negara tetangganya karena mereka sebenarnya pertama kali melihat kepentingan mereka sendiri dulu.

Ketiga: perpajakan Islam ditujukan pada kekayaan dan bukannya dijadikan sebagai pendapatan atau pajak barang konsumsi. Jadi, beban akan jatuh kepada orang-orang yang memang mampu membayar, bukan kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang berpendapatan rendah. Selanjutnya, semua bunga dan banyak inovasi perbankan dilarang. Daulah Islam tidak akan memotong bantuan dasar bagi masayarakat yang paling miskin.

Keempat: Etos seluruh pengeluaran atas apa yang tidak dimiliki seseorang ada dalam Islam. Seseorang dapat meminjam uang untuk kebutuhan jangka pendek (tanpa bunga) yang menempatkan tanggung jawab kepada peminjam untuk bisa melunasinya dengan cepat. Pasalnya, ia tidak perlu mengembalikan uang kepada pemberi pinjaman di atas nilai pinjaman, atau warga negara/negara melakukan perdagangan, atau perjanjian dibentuk untuk berbagi risiko dan manfaat bisnis. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*